Senin, 25 Februari 2013

Pemimpin sebagai Leader


Pemimpin sebagai Leader
Benny Susetyo  Pemerhati Sosial, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI 
SINDO, 25 Februari 2013


Masa reformasi Indonesia belum menghasilkan pemimpin otentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.
Masa reformasi Indonesia belum menghasilkan pemimpin otentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.

Indonesia membutuhkan pemimpin yang sungguh-sungguh berperan sebagai leader, bukan dealer. Pemimpin yang memiliki karakter transformasional daripada melulu transaksional. Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan dealer layaknya seorang pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru seringkali melahirkan kebijakan- kebijakan yang menyakitkan.

Tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan daripada kepentingan kemakmuran rakyat semesta. Karakter kepemimpinan justru banyak diwarnai dengan politik barter. Seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, pemimpin menilai kelanggengan kekuasaannya sebagai hal yang utama daripada visi memajukan Indonesia sebagai bangsa. Karena demikian, pola bekerja para pemimpin kita lebih cenderung pada upaya pengamanan kursi kekuasaan daripada menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk memajukan negeri.

Para pemimpin tidak menganut prinsip moral bird eye view (pandangan mata burung) dalam tindakan-tindakan kepemimpinannya. Justru yang kerap diperlihatkan adalah pandangan mata kuda, hanya memajukan golongan dan kepentingannya. Indonesia membutuhkan sosok pemimpin transformasional yang menganut pandangan mata burung– sebagaimana burung terbang yang mampu melihat ke seluruh sisi di bawahnya.

Dia melihat rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, antargolongan, gender, dan kelas mana dia berasal. Pemimpin yang bertipe seperti ini akan memprioritaskan yang terpenting buat rakyat, bukan untuk kepentingan golongannya sendiri. Dengan pandangan mata burung, pemimpin seperti ini akan melahirkan kebijakan yang berguna bagi seluruh rakyat tanpa melihat mereka berasal dari kelas borjuis atau proletar,dari kelompok merah, putih, biru, atau hijau.

Wawasannya sangat luas, berjangka panjang, dan menghindari pementingan kebijakan buat segolongan kecil kelompok dengan cara merugikan segolongan besar kelompok— sebagaimana sering terjadi pada masa lalu. Selama ini sebagian besar pemimpin kita lebih banyak menggunakan kacamata kuda, yang hanya mampu melihat ke kiri dan ke kanan, ke arah kelompok yang menguntungkan dirinya belaka.

Ia sulit melihat ke segenap sisi dan hanya terpaku pada dua sisi saja secara kaku. Pemimpin seperti ini hanya mementingkan kelompoknya atau segolongan kecil rakyat yang menguntungkan kelompoknya. Selebihnya, mereka yang berjumlah amat besar,yang umumnya golongan menderita dan miskin, tidak mendapatkan prioritas.

Hal ini terjadi karena sang pemimpin sangat kaku dan selalu memalingkan wajahnya ketika menghadapi soal-soal krusial rakyat. Indonesia berharap memiliki sebanyak mungkin model kepemimpinan yang tidak membeda-bedakan rakyat. Kepada mereka perlu diingatkan bahwa kendatipun mereka dipilih rakyat secara demokratis, ada sebagian besar rakyat yang tidak memilihnya karena berbagai alasan.

Negeri Para Calo 

Kita bisa melihat praktik di negara yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan nasionalnya ini adalah bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual. Tanpa mengesampingkan prestasi yang telah diraih, sejauh ini lebih banyak didominasi kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama yang bernama bangsa. “Kebangsaan” kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku.

Banyak fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering terseok-seok di tengah jalan. Kekayaan sumber daya alam melimpah tak kunjung bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, alih-alih dikuasai kepentingan golongan tertentu. Konflik sumber daya alam pada tahun-tahun terakhir justru terjadi sangat mengkhawatirkan.

Sumber daya alam yang melimpah belum benarbenar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta. Lahirlah kenyataan apa yang sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker). Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan. Kepentingan pemilik modal adalah untuk melestarikan bisnis-bisnis yang korup. Bisnis yang membesar hanya bila didukung dengan kebijakan yang menguntungkan secara khusus kepada mereka.

Kegagalan Partai 

Menjadi pemimpin adalah panggilan. Berpolitik juga merupakan panggilan untuk menyejahterakan masyarakat. Namun, partai politik kita justru gagal menciptakan situasi kondusif untuk kesejahteraan rakyat. Partai politik gagal menata keadaban politiknya dan memberikan pelayanan terbaik untuk rakyat. Kini saatnya partai melakukan perubahan mendasar dalam dirinya agar ia kembali diterima.

Partai politik diharapkan lebih aktif untuk mencari figur pemimpin yang memiliki keutamaan. Pemimpin yang memiliki keutamaan akan melayani rakyatnya karena itu panggilan nurani. Kita membutuhkan pemimpin yang tulus mengabdi untuk kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri.

Ketulusan menjadi dasar seseorang untuk mengantarkan bangsa ini kepada masa depan yang dicitakan. Sikap tulus ini tentu harus disertai dengan kecerdasan dalam mengoordinasikan tujuan dan target yang ingin dicapai.Tujuan yang ingin dicapai harus membebaskan masyarakat dari politik adu domba yang kerap dipicu oleh perilaku politik-kekuasaan.

Negara justru seharusnya memfasilitasi pertumbuhan nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam peradaban para aparaturnya. Aparatur yang beradab selalu mengutamakan tertib sosial dan hukum. Setiap pemimpin yang terpilih selalu dicita-citakan sebagai pemimpin bangsa masa depan. Karena itu, mereka harus berani menegakkan keadilan tanpa melupakan kebenaran.

Kebenaran tanpa keadilan tidak akan menciptakan tata dunia baru. Tata dunia baru tercipta bila hukum memiliki kedaulatan di atas kepentingan politik. Politik harus tunduk pada moralitas. Inilah zaman yang diharapkan di mana lembaran baru tercipta demi terwujudnya cita-cita para pendiri bangsa ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar