Kamis, 28 Februari 2013

Politik…Ooh Pulitik…


Politik…Ooh Pulitik…
Rizqullah Mantan Dirut BNI Syariah 
REPUBLIKA, 25 Februari 2013

Masyarakat di daerah saya--Serang, Banten-- sering memelesetkan istilah politik dengan `pulitik' sebagai akronim dari `kumpul diitik-itik', yang artinya sekelompok orang yang berkumpul dan kemudian orang-orang tersebut saling menggelitiki. Gerakan tubuh yang geli dalam bahasa "politik" bisa diartikan sebagai tanda kehidupan atau dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang bisa berkonotasi negatif atau positif.

Tulisan ini dibuat sebagai ungkapan kegundahan seorang yang sangat awam tentang politik karena tidak memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman politik, tetapi setiap hari disuguhi berita politik yang semakin membingungkan.

Berita politik yang sedang hangat saat ini adalah tentang penetapan oleh KPK terhadap 
Anas Urbaningrum (AU) sebagai tersangka kasus proyek Hambalang. Dalam beberapa hari terakhir ini berbagai media online selalu mengupdate hampir setiap menitnya perkembangan kasus AU tersebut. Sebagai seorang awam politik, saya tergerak menulis ini hanya karena kebingungan tadi dan karena saya pernah berkesempatan sekali makan siang bertiga dengan AU jauh sebelum beliau menjadi ketua umum Partai Demokrat, tetapi pertemuan tersebut tidak ada tindak lanjutnya hingga saat ini. 

Saat itu saya memahami pertemuan dengannya hanya sekadar silaturahim dan sebagai sesama kader HMI, tetapi saya tidak tahu dia sendiri memahaminya bagaimana. Kesan yang saya dapatkan adalah AU seorang yang berpembawaan tenang, santun, cerdas, dan karakter inilah yang sepertinya membawanya terpilih sebagai ketum Partai Demokrat. 

Sebagai seorang aktivis organisasi kemahasiswaan HMI dengan jaringan tokoh alumninya yang tersebar diberbagai partai dan lembaga pemerintahan, AU tentunya memiliki bekal pengetahuan, strategi, dan jaringan yang baik. Dia tidak hanya dapat memimpin sebuah partai, tetapi memiliki potensi besar untuk memimpin bangsa ini suatu hari, mengingat usianya saat ini yang masih relatif muda. 

Namun demikian, AU tentu sangat memahami bahwa untuk menjadi seorang ketum partai saja harus menghadapi berbagai persoalan besar dan kompleks, yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Keputusannya untuk berhenti tentu tidak terlepas dari berbagai manuver "pulitik" yang mendera partainya selama sekitar dua tahun. 

Sebagai ketum, AU tentu bertanggung jawab atas semua persoalan yang dihadapi partainya, tetapi yang patut dipertanyakan adalah bagaimana persoalan-persoalan itu terjadi dan berkembang hingga tidak pembina partai, yang notabene adalah presiden, turun tangan. Sebagai seorang awam politik, saya dan mungkin sebagian besar masyarakat kita, mengalami kebingungan tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di republik ini. 

Kebingungan tersebut muncul karena terjadi banyak anomali pada perpolitikan di republik ini. Sekadar beberapa contoh: Pertama, Presiden SBY telah memberikan arahan kepada para menterinya untuk fokus kepada tugas pemerintahannya, tetapi presiden sendiri yang justru kemudian melibatkan diri dalam pengurusan partai. Sebuah media bahkan mengatakan presiden bagaikan menelan ludahnya sendiri. 

Kedua, seorang menteri yang berbaju dinas dengan lambang kenegaraan di dadanya berbicara di media tentang kegiatan partainya, seolah-olah tidak mengetahui bahwa baju yang dikenakannya dibiayai oleh negara dengan uang rakyat. Ketiga, KPK sebagai lembaga superbody dan independen yang merupakan satu-satunya tumpuan harapan untuk memperbaiki kondisi bangsa ini dari berbagai keterpurukan, ternyata tidak kebal terhadap permainan politik/pulitik dan tragisnya patut diduga bermain mata dengan istana dengan adanya sprindik KPK yang bocor di tangan istana. 

Betul apa yang dikatakan oleh AU bahwa tidak diperlukan pencermatan yang terlalu canggih untuk memahami rangkaian berbagai peristiwa yang menghubungkan KPK, istana, dan Partai Demokrat. Masyarakat tentu menuntut transparansi dan kejujuran KPK dalam mengungkap kasus tersebut sebenarnya karena kebocoran sprindik yang terkesan teknis dan administratif, tetapi telah mencoreng wajah KPK. 

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 sudah di depan mata, tetapi masing-masing partai peserta pemilu hingga saat ini masih memiliki persoalan internal dan belum memiliki kader yang dianggap layak menjadi presiden. Bersamaan itu muncul individu-individu yang bukan merupakan kader partai tetapi didukung oleh masyarakat, seperti Rhoma Irama, Jokowi, Dahlan Iskan, dan lainnya. Para tokoh lansia juga tergoda syahwat politiknya untuk meramaikan bursa calon presiden tersebut dengan berbagai pertimbangan dan alasan. 

Menurut sebagian kalangan awam, Pilpres 2014 adalah pilpres yang sangat penting bagi perjalanan bangsa ini ke depan dalam menghadapi era persaingan global yang semakin protektif, implementasi MP3EI, kemungkinan dampak krisis Eropa yang belum jelas solusinya.

Sementara itu, persoalan di dalam negeri juga tidak kalah pentingnya, seperti masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin bangsa yang bersih, jujur, cerdas, berani, dan cepat mengambil keputusan strategis dan diperlukan anggota legislatif yang mampu bekerja secara mandiri atau tanpa bantuan tenaga ahli.

Seorang anggota legislatif seharusnya memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam merumuskan berbagai persoalan bangsa menjadi perundang-undangan dan memiliki kemampuan untuk bekerja sama dengan pemerintah dan sekaligus mengawasi pelaksanaan program-programnya. 

Sekali seseorang menjadi presiden, ia harus terbebas dari persoalan partai dan seluruh tenaga, waktu, dan pikirannya difokuskan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa. Idealnya, seorang presiden yang Muslim sudah berniat mewakafkan diri dan keluarganya, setidaknya selama menjabat, untuk sepenuhnya memikirkan dan mengurusi bangsa ini semata. Demikian pula halnya bagi para pejabat yang lain.

Semoga berbagai kasus yang ada di republik saat ini menjadi pelajaran berharga untuk menyongsong hari depan yang lebih baik bagi warga masyarakat yang awam politik/pulitik. Orang ini kesehariannya masih memikirkan bagaimana besok makannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar