Selasa, 26 Februari 2013

Reposisi Otonomi Daerah


Reposisi Otonomi Daerah
Miftah Thoha  Guru Besar Ilmu Administrasi Publik UGM
KOMPAS, 26 Februari 2013


Sering kali otonomi daerah dilakukan dan diucapkan bersamaan pelaksanaan desentralisasi pemerintahan. Atau, pelaksanaan desentralisasi selalu disamakan dengan pemberian otonomi kepada daerah.

Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah sejak era reformasi ini, yakni UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004, acapkali disebut UU tentang Otonomi Daerah. Penyebutan itu tak seluruhnya salah. Sebab, pelaksanaan desentralisasi ke pemerintah daerah itu diharapkan bisa mendorong daerah bisa otonom melaksanakan urusan tugas pokok menyejahterakan masyarakat secara mandiri.

Mandiri ini bukan maksudnya jadi kuat, lalu melakukan gerakan sentrifugal dari pemerintah pusat. Mandiri bukan pula lalu jadi cengeng, senantiasa mengandalkan besarnya jatah alokasi perimbangan keuangan dan dana dekonsentrasi. Mandiri di sini lebih dimaksudkan kreatif mengembangkan dan mengelola sumber daya ekonomi dan sumber-sumber potensial daerah untuk kepentingan masyarakat.

Otonom mempunyai diskresi dan kemandirian untuk mengatasi masalah-masalah masyarakatnya sesuai kemampuan dan kebutuhan masing-masing. Kemandirian yang sesuai dengan daerah yang berbeda-beda, tetapi seikat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dahulu, pada masa Orde Baru, UU Pemerintahan Daerah yang paling lama berlaku adalah UU No 5 Tahun 1974. Dalam UU itu, pemahaman pemerintahan yang otonom itu jika salah satunya pemerintah daerah punya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena mampu membuat peraturan daerah untuk mengatasi masalah-masalah daerahnya.

Otonomi Daerah

Dalam arti yang murni, otonomi ada yang mengartikan mendorong mewujudkan suatu pemerintahan yang merdeka dari ikatan-ikatan induknya (sentrifugal). Immanuel Kant dalam Eric Nordlinger (1981) menyatakan, individu yang otonom itu yang mempunyai kebebasan berkeinginan. Otonomi dari suatu masyarakat menunjukkan adanya korespondensi antara preferensi dan tindakannya.

Totalitas otonomi bisa terjadi jika timbulnya keseluruhan, atau sebagian tindakan merupakan pilihan untuk dilakukan dan bukan karena preferensinya mengiyakan atau tidak mengiyakan. Otonomi suatu negara bisa diartikan jika kebijakan preferensinya dilakukan dalam tindakan yang otoritatif. Dengan demikian, negara dikatakan otonom jika kebijakan publiknya, yang dilakukan oleh public official-nya, selaras dengan dan bersumber pada preferensinya (Eric A Nordlinger, 1981).

Otonomi bisa mendorong timbulnya gerakan pemisahan pemerintahan jika preferensinya selaras dan sebangun. Pengertian ini tersirat, banyak dikhawatirkan di awal reformasi, ketika akan meletakkan titik berat otonomi di kabupaten/kota atau di provinsi. Tendensi pemisahan atau disintegrasi sangat besar kemungkinannya karena preferensi perbedaan dan sokongan daerah memungkinkan untuk itu. Karena itu, dipilih titik berat otonomi di kabupaten/kota karena lebih kecil bahaya pemisahannya ketimbang kalau otonomi diletakkan di provinsi.

Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi dalam negara kesatuan jangan disejajarkan dengan pemberian otonomi yang ekstrem seperti itu. Itulah sebabnya tulisan ini menyatakan reposisi daerah otonomi karena kita sebenarnya—ketika menyusun UU Pemerintahan Daerah di awal 1998-1999—tidak mengenal daerah otonom. Adapun yang kita kenal adalah melaksanakan desentralisasi ke daerah, tidak seperti ketika Pemerintahan Orde Baru yang melakukan sentralisasi kewenangan dan kekuasaan pemerintahan.

Reposisi otonomi yang sejajar dengan desentralisasi itu harus dimaknai bahwa peranan daerah dalam menyejahterakan masyarakat dilakukan secara asimetris, tidak cenderung mengarah pada sentralisasi yang uniform.

Kepentingan Nasional

Indonesia semenjak awal merdeka mengikuti sistem negara kesatuan yang pemerintahannya dijalankan berdasarkan sistem presidensial. Dalam negara kesatuan itu, pelaksanaan desentralisasi ke pemerintah daerah dilakukan berdasarkan prinsip bahwa seluruh kewenangan pemerintah pusat itu harus berada pada seluruh wilayah negara dan tatanan pemerintahan.

Kewenangan dan kepentingan pemerintah pusat itu dilakukan sendiri atau diwakilkan kepada semua tingkatan struktur pemerintah dari pusat sampai daerah. Peranan kepentingan dan kewenangan pemerintah pusat yang tidak bisa dihilangkan atau dibatasi hanya terjadi sampai pada tingkat tatanan pemerintah atau level hierarki tertentu. Kewenangan dan kepentingan itu membentang dan meliputi seluruh tingkatan pemerintahan dari kewenangan di tingkat atas sampai tingkat bawah.

Selama ini, khususnya UU No 32 Tahun 2004, tatanan kewenangan pemerintah pusat dalam pelaksanaannya hanya diletakkan dan diwakili sampai pada jabatan gubernur dan kantor wilayah kementerian yang belum dihapus di daerah. Sementara kabupaten dan kota tidak merasa jadi wakil kewenangan pemerintah pusat. Akibatnya, kabupaten dan kota merasa terputus jalur komando kewenangan dalam konstruksi negara kesatuan.

Tata hubungan antara gubernur dan bupati/wali kota sampai sekarang dirasakan masih menyisakan persoalan. Bupati/wali kota merasa sebagai kepala daerah. Mereka juga merasa orang daerah wakil dari partai politik atau gabungan partai politik yang mengusungnya.

Sekarang saja kartu nama bupati/wali kota tidak pernah mencantumkan letak provinsinya. Lebih-lebih nanti jika ada rencana gubernur dipilih oleh DPRD provinsi, sedangkan bupati/wali kota dipilih langsung. Bobot kewibawaan gubernur akan merosot di hadapan bupati/wali kota.

Oleh karena itu, reposisi otonomi harus dilakukan dalam wujud sebagai daerahnya suatu negara kesatuan. Hubungan kewenangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak terputus sampai gubernur. Ada baiknya digunakan titelatur gubernur kepala daerah, bupati kepala daerah, dan wali kota kepala daerah seperti sebutan di UU No 5 Tahun 1974.

Titelatur gubernur, bupati, dan wali kota sebagai wujud pejabat wakil pemerintah pusat, sedangkan kepala daerah sebagai wujud orang daerah. Dengan demikian, sebutan wakil pemerintah tidak hanya berhenti di jabatan gubernur kepala daerah provinsi, tetapi juga pada jabatan bupati kepala daerah kabupaten dan wali kota kepala daerah pemerintah kota.

Desentralisasi yang terjadi di suatu negara kesatuan sama sekali tak menghilangkan peranan kepentingan pemerintah pusat di daerah, baik struktural maupun sistemik. Daerah bukanlah otonomi dalam hubungannya dengan pemerintah pusat.

Daerah dalam perspektif desentralisasi punya peranan yang longgar (diskresi) dalam membuat kebijakan, mengatur, melaksanakan, dan mengontrol urusan yang menjadi urusan daerahnya masing-masing. Itulah reposisi otonomi daerah dalam kesatuan sistem di NKRI. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar