Minggu, 24 Februari 2013

Rumah Tuhan


Rumah Tuhan :
Tuhan itu Satu atau Banyak?
Sarlito Wirawan Sarwono  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 24 Februari 2013


Pada 2009 atau 2010, ketika Wali Kota New York berencana mendirikan Pusat Islam (Islamic Center) di bekas tempat Menara Kembar (Twin Tower) yang hancur dalam peristiwa 11 September 2011 (biasa disebut: Ground Zero), banyak orang Amerika yang protes. 

Mereka tidak ikhlas bahwa Ground Zero Mosque didirikan pas di tempat teroris muslim melakukan aksinya. Itu sama juga menghormati teroris dan melupakan ribuan korban tak berdosa akibat kapal terbang yang ditabrakkan dengan sengaja ke gedung-gedung pencakar langit itu. Untunglah mayoritas orang Amerika bersikap biasa-biasa saja dan tidak mempermasalahkan Masjid Ground Zero tersebut. 

Maka akhirnya Pusat Islam (bukan masjid) itu pun diresmikan pada tahun 2011 dan diberi nama Park51 (sesuai dengan nama jalan dan nomor jalan yang bersangkutan). Dalam Pusat Islam yang terletak dua blok dari Ground Zero (jadi tidak pas di atas Ground Zero) itu ada fasilitas masjid yang bisa menampung seribuan jamaah (atau mungkin lebih, saya sendiri belum pernah ke sana) serta pusat studi dan budaya Islam, tetapi di situ juga ada kolam renang, ruang gym, restoran, serta pertokoan. Jadi Park51 memang bukan masjid. 

Namun, awalnya memang bangunan pencakar langit itu mau diberi nama Cordoba House sebagai pengingat masa antara abad kedelapan hingga ke-11 SM di Provinsi Cordoba (Spanyol) di mana pada waktu itu umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan secara damai. Tapi nama Cordoba masih dianggap sensitif karena masih berbau-bau agama. Karena itu dipilih nama Park51 yang dianggap netral. 

Namun yang menjadikan peristiwa Ground Zero Mosque ini menarik adalah bahwa orang (Amerika) marah, tidak setuju, protes ketika akan didirikan sebuah masjid di Ground Zero. Salah satu poster yang diacung-acungkan berbunyi, “Kalian boleh membangun masjid di Ground Zero kalau kami sudah bisa mendirikan sinagog (“masjid” orang Yahudi) di Mekkah.” Suatu ekspresi yang sangat dipenuhi prasangka. 

Padahal, kata umat Islam, masjid adalah rumah Tuhan, sementara orang Yahudi menyebut sinagog juga sebagai rumah Tuhan. Di Indonesia banyak terjadi kasus pelarangan pendirian gereja atau pelarangan penggunaan gereja untuk tempat ibadah karena lingkungan tempat itu adalah lingkungan muslim. 

Padahal gereja juga rumah Tuhan buat kaum Nasrani. Kan aneh kalau para umat itu saling melarang membuat rumah Tuhan seolah-olah setiap agama punya Tuhan sendiri: TI (Tuhannya Islam), TY (Tuhannya Yahudi), dan TK (Tuhannya orang Kristen). Padahal kita semua percaya bahwa Tuhan itu hanya satu, yang berlaku untuk semua. Loh, bagaimana ini? Tuhan itu satu apa banyak? 

Kalau satu, mengapa rumahnya bermacam-macam dan tiap umat saling melarang membuat rumah Tuhan orang lain di wilayah tempat tinggal masing-masing? Inilah yang namanya paradoks. Tapi kalau Tuhan itu banyak, bukankah kita percaya pada sila pertama dari Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”? Founding fathers Republik Indonesia, sebelum Proklamasi dipidatokan pada 17 Agustus 1945, telah sepakat bahwa sila pertama dari Pancasila, dasar negara Indonesia, haruslah berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Mereka yakin benar bahwa kalau salah memilih dasar negara yang pertama, tidak akan terjadi persatuan dan kesatuan Indonesia. Bayangkan jika sila pertama itu berbunyi “Tiada Tuhan selain Allah”, sudah pasti semua yang menamai Tuhannya dengan istilah lain selain Allah akan protes dan sudah sejak 1945 negara ini pecah jadi beberapa negara kecil, yaitu Negara Islam Indonesia (NII), Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” memang sengaja dipilih karena Tuhan adalah istilah generik untuk semua.

Dengan demikian semua pihak bisa menerima kata Tuhan. Termasuk penganut Buddha yang tidak punya konsep Tuhan seperti yang diyakini umat agama Barat (Yahudi, Kristen, dan Islam). Tapi ketika masuk ke dalam jalur praktik seharihari, di sinilah timbul masalah.

Pada sekitar tahun 1985, saya pernah mengikuti sebuah kongres internasional psikologi yang diselenggarakan sebuah universitas Katolik di San Fransisco. Karena namanya juga universitas Katolik, saya membayangkan agak sulit mencari tempat salat di kampus itu. Tapi saya lihat ada mahasiswa-mahasiswa yang berseliweran yangbertampang Timur Tengah. Maka saya sapa mereka dan memang mereka mahasiswa dari sana.

Ada yang dari Mesir, Suriah, dan Qatar atau Bahrain (saya lupa persisnya). Kemudian saya tanya,di mana tempatnya kalau mau salat dan mereka menunjuk ke sebuah gereja besar yang terletak di depan kampus. Maka saya pun menuju ke gereja itu, yang dari luar tampak seperti gereja-gereja lain di seluruh dunia.

Tapi di lantai dasar (lantai satu) ada petunjuk bertuliskan “mosque” dan saya mengikuti petunjuk serta masuk ke suatu ruangan luas yang sudah dipermak menjadi masjid, persis seperti masjid-masjid lain di seluruh dunia. Karpet digelar untuk salat, ada mimbar, rak-rak buku berisi Alquran dan tempat wudu. 

Ada beberapa mahasiswa Timur Tengah di sana yang juga selesai salat zuhur, maka kami pun ngobrol basa-basi. Inilah barangkali yang disebut “rumah Tuhan” yang sesungguhnya di mana Tuhan membolehkan siapa saja untuk mengunjungi rumahnya. Di kesempatan lain, saya pernah diundang berceramah di rumah Tuhan yang lain, di sebuah gereja HKBP dan di sebuah Wihara Buddha Niciren. 

Dalam dua kesempatan itu hadirin menjalani ritual keagamaan mereka dan saya dipersilakan duduk dulu sambil menyaksikan mereka berdoa. Di kesempatan lain lagi, salah seorang teman yang Katolik meminta saya menemaninya bermain saksofon di gerejanya dalam suatu perayaan Paskah. Maka kami memainkan sebuah lagu sesudah pastor selesai berkhotbah. Sebelum dan sesudahnya saya duduk manis saja. 

Pengalaman-pengalaman berinteraksi dengan umat agama lain membuat saya percaya bahwa tempat ibadah adalah rumah Tuhan dalam arti sebenarnya, yaitu Tuhan seluruh manusia, makhluk, dan seisi alam semesta. Karena itu saya bermimpi bahwa masjid pun bisa menjadi rumah Tuhan untuk siapa saja. Kalau gerejanya Paus di Roma bisa dikunjungi turis kapan saja, dari agama campursari yang mana saja, mengapa masjid-masjid tidak bisa? 

Presiden Obama dan istrinya ketika sedang di Jakarta pernah mengunjungi Masjid Istiqlal. Bisakah masjid-masjid lain seperti itu? Sayang sekali saya punya kesan bahwa masjid-masjid di Indonesia belum seterbuka itu. Di kampus-kampus, beberapa musala dikuasai perkumpulan-perkumpulan mahasiswa muslim tertentu. Hanya teman-teman sendiri yang selalu ngumpul-ngumpul di situ. 

Mahasiswa lain enggan untuk masuk karena pernah seorang mahasiswa hendak salat, tetapi disuruh keluar oleh mahasiswa penguasa musala lantaran ruang musala itu akan digunakan untuk rapat mereka. Di masjid lain, kalau ada orang asing, yang tidak tahu-menahu asalnya dari mana, kemudian salat di situ, sesudah orang itu pergi, bekas tempat salatnya dibersihkan supaya steril dari dosa-dosa, katanya. 

Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa dalam praktiknya sulit ditegakkan. Perang dan kerusuhan antaragama sudah teramat sering terjadi di negara-bangsa yang konon dulu di zaman Belanda sangat ramah-tamah. Kalau kita tidak bisa bersatu pendapat dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bagaimana bangsa ini diajak untuk bersatu dalam hal Persatuan Indonesia? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar