Senin, 25 Februari 2013

Suara Rakyat ya Suara Rakyat


Suara Rakyat ya Suara Rakyat
Mohamad Sobary  Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 25 Februari 2013


Suara rakyat ya suara rakyat. Titik. Jangan lagi sebut suara rakyat suara Tuhan. Tak perlu kita membawa-bawa nama Tuhan ke dalam politik. Dunia politik kita tak percaya kepada Tuhan. 

Banyak politikus kita yang bersumpah demi Tuhan, dengan suara lembut, yang—maaf—mulutnya dimenyong-menyongkan, tapi hakikatnya melawan Tuhan, disaksikan para hamba Tuhan yang lain, yang tak akan membiarkan manipulasi keji macam itu dibiarkan berlangsung terus-menerus untuk merusak pendidikan politik bagi seluruh rakyat. Rakyat—kita ini pada umumnya—percaya bahwa jika orang bersumpah demi Tuhan dan tampaknya membela agama, hal itu sudah dianggap kebenaran. 

Rakyat mudah dikecoh oleh sumpah yang kelihatannya suci. Apalagi sumpah itu datang dari tokoh, yang juga anggota suatu jamaah kaum terpelajar, yang memakai nama agama. Suara rakyat ya suara rakyat. Ini berbeda dari suara kaum elite politik.Suara rakyat meneriakkan kebenaran, meminta keadilan ditegakkan. Kaum elite berteriak tentang penyelamatan dan gigih melakukan konspirasi—dengan berbagai cara—untuk menyelamatkan kawan kita. 

Kesetiaan buta terhadap kawan tidak sehat. Tapi, bagi mereka, hal itu kelihatannya penting sekali. Adil dan tidak adil bukan isu politik penting. Adil tapi tak menjamin keselamatan, bagi kaum elite, merpakan keadilan terkutuk. Keselamatan diri, keselamatan kawan, keselamatan nama organisasi di atas segalanya. Inilah semangat “golonganisme” yang begitu dahsyat mencampuri perdebatan publik. Dan mungkin bahkan mengarahkan ke jurusan mana perdebatan itu harus berakhir. Golonganisme macam itu merusak orientasi nilai kita. 

Dengan tertatih-tatih kita mencoba menemukan kiblat yang lebih sehat: kita memihak pada kepentingan nilai, bukan kepentingan kawan, bukan kepentingan adik, bukan kepentingan abang, bukan pula kepentingan golongan. Betul, tiap orang punya kelompok, punya kawan, punya golongan untuk memperjuangkan suatu cita-cita. Tapi kelompok kita, golongan kita, organisasi kita—betapapun besarnya—hanya satu dari sekian ribu golongan lain yang berkembang di seluruh Tanah Air. 

Mungkin organisasi kita besar, karena bertaraf nasional, tapi kita kecil di hadapan begitu banyak golongan di dalam masyarakat. Lagipula, organisasi kita dibentuk untuk suatu cita-cita luhur, membangun sikap politik yang sehat, yang mencampakkan watak primordial kita untuk membentuk wawasan modern tentang keindonesiaan.

Kita lahir dari pergolakan politik untuk membangun orientasi yang sehat dan adil, untuk melakukan pendidikan politik bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi makin besar dan makin kuat membuat kita mudah mengobral secara murahan sentimen kelompok yang mengukuhkan semangat golonganisme tadi. 

Dalam kasus-kasus hukum— yang statusnya diubah cepat menjadi kasus politik— tokoh-tokoh, yang mengatasnamakan masa depan organisasi, masa depan seorang anak muda yang mereka anggap “potensial”,“ berbakat”, atau disebut “menjanjikan”, bahkan mereka juga berbicara masa depan bangsa, mudah membuat kita sampai pada kata sepakat untuk menyelamatkan anak tersebut. Ini penyimpangan dari prin-sip keadilan, yang berlangsung cepat, tanpa memerlukan perdebatan. Pokoknya anak itu harus selamat.

Selamat nama dan citra sosialnya. Selamat keluarga dan karier politiknya. Selamat juga organisasinya. Tapi di balik penyelamatan itu,ada orang yang diam-diam memiliki perhitungan politik, demi kepentingan politik, dan menumpang program penyelamatan itu. Suatu kepentingan besar, didukung orang-orang besar, dari partai-partai besar, sepakat untuk meraih target kecil: membela orang,bukan nilai. 

Pertama-tama, dia harus pindah dari suatu partai politik ke suatu partai politik lainnya sehingga kasus hukum yang diubah menjadi kasus politik tadi dilihat oleh umum, oleh rakyat Indonesia seluruhnya, sebagai suatu perkara kecil yang layak dilupakan. Maka, dengan tenang tokoh ini memasuki suatu dunia baru, dengan permainan lama, di bawah pimpinan baru, yang pada hakikatnya bermain dengan cara-cara yang sudah lama dikenalnya. 

Dia tahu bahwa dia diselamatkan. Dia tahu bahwa cara penyelamatan ini melawan keadilan. Dan dia tahu bahwa dia harus berperan pura-pura benar dalam segenap kepalsuannya. Di negeri kita ini, kepalsuan tetap laku dan orang masih selalu percaya bahwa apa yang palsu itu benar jika ditempeli nama Tuhan dan agama. Kesalehan palsu larisnya minta ampun. Para tokoh pun makin berani bersumpah atas nama Tuhan dan agama. 

Masyarakat kita, yang jiwanya mudah kagum pada sebutan Tuhan dan agama itu, menjadi masyarakat yang rentan penipuan. Secara kejiwaan, sosial maupun politik, masyarakat kita merupakan onggokan sifat naif yang agak memalukan. Selebihnya, kenaifan ini juga membuat kita menjadi begitu permisif terhadap berbagai keburukan. Media, yang tak kalah naif dan permisif itu, mudah mengutuk habis-habisan siapa saja yang dianggap layak menjadi si terkutuk.

Tapi, besoknya, ketika “angin” reda, si terkutuk itu bisa saja—apa salahnya—menjadi tokoh pujaan. Ini merupakan suatu tata kehidupan edan dalam arti sebenarnya. Masyarakat dibuat tak punya pegangan tentang baik-buruk, salah-benar, atau mulia-hina. Kita kehilangan wawasan tentang keluhuran- bebusukan atau kemuliaan-kehinaan. Sesudah suatu kasus korupsi yang membakar emosi rakyat ditetapkan sebagai perkara pidana korupsi menurut dan oleh para penegak hukum, dukungan yang berbau golonganisme itu muncul, tanpa malu-malu. 

Golongan, yang besar orientasinya itu, dikorbankan untuk satu orang. Organisasi dijual murah. Fakta mengenai penyimpangannya yang sudah berlangsung lama, kekayaannya yang mendadak bertumpuk-tumpuk— padahal dia bukan keturunan Nabi Sulaiman, bukan trah Qorun—dianggap lumrah. Tak ada jiwa yang terusik memikirkan dari mana datangnya kekayaan yang tak layak macam itu. Tokoh hukum yang selayaknya bicara hati-hati, agar tak menyinggung rasa keadilan rakyat, omongannya nyerocos begitu saja menetes-netes lewat media seperti ember bocor. 

Ini watak permisif, yang memperlihatkan pembelaan pada sesuatu yang tak layak dibela. Tokoh politik senior memperlihatkan pemihakan serupa dan memberi contoh bahwa dirinya sendiri dulu mengalami hal yang sama. Keduanya cermin semangat golonganisme yang naif dan berteriak tentang penyelamatan demi solidaritas buta. Saya lain. Bagi saya, suara rakyat ya suara rakyat, yang gigih berjuang agar keadilan ditegakkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar