Selasa, 26 Februari 2013

Wacana di Balik Siasat Parpol


Wacana di Balik Siasat Parpol
Jede Kuncoro Ketua Umum Lembaga Pengawas Kebijakan Publik
(LPKaP) Semarang
SUARA MERDEKA, 25 Februari 2013


TAHUN 2014 sebagai tahun pertarungan politik telah di ambang pintu, wajar bila partai politik makin giat merancang berbagai jurus, demi menjala sebanyak mungkin kursi parlemen karena itulah cetak biru terpenting mereka. 

Beberapa waktu lalu, seorang petinggi partai politik besar mewacanakan kembali perlunya mengkaji Pasal 215 Ayat a UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yaitu calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Ia sengaja menggulirkan bola wacana itu guna menguji dukungan publik, apakah setuju atau tidak. Pemerhati politik tentu mahfum, sesungguhnya ada kegalauan pada petinggi partai terhadap sistem proporsional daftar terbuka, yang notabene hasil karya mereka sendiri. Realitas itu justru memperlemah otoritas elite terhadap anggota, khususnya anggota legislatif. 

Tatkala ruang pendapatan partai menyempit, di tengah kegencaran spirit pemberantasan korupsi, mau tak mau partai politik harus kembali mengandalkan anggota sebagai ’’mesin uang’’ partai. Dalam konteks ini, sistem proporsional daftar terbuka justru menghambat maksud tersebut. 

Seribu satu argumen tentu harus didalilkan guna menampik sinyalemen bahwa kegalauan mereka bersumber pada isu tersebut, demi citra partai. Bagi petinggi partai, memiliki power adalah persyaratan agar mampu mengendalikan anggota, karena itu berbanding lurus dengan efektivitas pengelolaan partai. Power juga diperlukan untuk melanggengkan status quo. 

Pembelokan Argumentasi

Untuk memenangkan argumennya, elite parpol tentu paham bahwa wacana yang dikemukakan tidak boleh selugas tujuan di baliknya. Alasan sebenarnya harus disembunyikan agar opini berbelok sesuai harapan, dan seolah-olah masuk akal. Wacana yang kemudian sering kita dengar adalah tingginya biaya politik itu akibat dari sistem proporsional daftar terbuka, biang kerok dari perilaku korup. 

Inilah wacana mainstream yang akhir-akhir ini sering mengemuka. Gayung pun bersambut, berbagai pihak mulai percaya bahwa biang kerok itu harus dilenyapkan. Padahal, perilaku korup tidak bisa dipandang semata-mata sebagai akibat dari tingginya biaya politik. Nikmat korupsi jauh lebih memesona, ketimbang sekadar motif mengganti biaya politik yang telah dikeluarkan. 

Bahkan ancaman penjara sekalipun tidak menakutkan para koruptor. Itu karena sistem hukum (rule of law), proses hukum (due process of law), dan penegakan hukum (law enforcement) kita masih menyisakan banyak celah, sehingga praktis mudah ditaklukkan. 

Fenomena mafia peradilan, mafia anggaran. dan sebagainya tumbuh subur bukan karena high cost of politics melainkan karena ada peluang yang tercipta dari kelemahan sistem hukum kita. Biaya politik tinggi juga tidak semata-mata merupakan andil dari sistem proporsional terbuka tetapi karena kebanyakan caleg lebih suka meraih suara secara instan. 

Pekerjaan lapangan seperti menyerap aspirasi rakyat, memperjuangkan kepentingan konstituen, mendampingi dan melakukan advokasi terhadap rakyat, kalah pamor dari pekerjaan gedongan, seperti pengawasan, legislasi, dan penganggaran. Wajar, bila lomba baliho, jor-joran iklan, bahkan politik uang yang notabene berbiaya tinggi, menjadi pilihan standar para caleg. Akibatnya jelas, biaya politik otomatis menjadi mahal. 

Tapi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menjadi bukti bahwa memenangi pilkada tidak selalu harus mahal. ’’Model Jokowi’’ inilah yang sejatinya dilakukan guna menekan biaya politik, bukan kembali kepada sistem proporsional daftar tertutup. 

Terbuka dan Tertutup

Perbedaan penting antara sistem proporsional daftar terbuka dan tertutup dari aspek ekonomi adalah, model terbuka akan mengalirkan biaya politik ke rakyat, sementara model tertutup lebih mengalirkan biaya politik ke petinggi partai. Tentu mudah ditebak, model manakah yang bakal dipilih petinggi partai. 

Ditinjau dari aspek pembangunan ekonomi, tentu model terbuka lebih berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Riuh-rendah kampanye pasti seiring dengan kemenderasan duit mengalir ke rakyat, kepada pembuat baliho, produsen kaos, spanduk, leaflet, dan sebagainya. 

Maka jelas model proporsional terbuka lebih dirasakan manfaatnya oleh rakyat, ketimbang model proporsional tertutup. Masalahnya, kegalauan petinggi partai tidak melulu pada aspek finansial mengingat model terbuka disinyalir dapat mempertajam kompetisi internal, dan berisiko memecah belah-partai. 

Menurut hemat penulis justru sebaliknya, proses kompetisi internal dapat menjadi tolok ukur, sejauh mana sebuah parpol telah dewasa secara politik. Apakah benar-benar siap menyambut elan demokrasi? Apakah telah menempa diri untuk memasuki kultur baru yang membutuhkan paradigma baru berpolitik? Apabila jawaban atas beberapa pertanyaan itu adalah belum maka model proporsional terbuka seolah-olah destruktif bagi parpol. 

Sudah menjadi tugas parpol untuk mendidik para kader menyongsong asas demokrasi yang telah dipilih oleh rakyat. Siap atau tidak siap, partai harus menempa diri supaya makin dewasa dan lebih akrab dengan demokrasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar