Minggu, 31 Maret 2013

Melawan Aksi Kekerasan


Melawan Aksi Kekerasan
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2013


BERBAGAI aksi kekerasan yang diduga dilakukan preman dan kelompok bersenjata di beberapa kota besar semakin menghantui rakyat. Tidak lagi memilah apakah masyarakat kelas bawah atau kelas atas, kantor polisi pun ikut jadi sasaran kekerasan dan perusakan, bahkan tahanan yang dalam perlindungan negara ikut diberondong peluru. Sepertinya tak ada lagi ruang aman. Gereja, sekolah, bahkan rumah tinggal juga dilempari bom molotov (bom botol) seperti yang terjadi di Kota Makassar dua bulan terakhir, tetapi belum ada pelaku yang ditangkap polisi.

Masyarakat semakin resah, mulai perkampungan hingga pusat keramaian di kota-kota besar. Bentrok antarkampung di perdesaan atau antarlorong di kota besar kerap terjadi dengan mengerahkan massa, menggunakan senjata tajam dan senjata api rakitan. Mereka mempraktikkan ‘hukum rimba’, melakukan tindakan main hakim sendiri dengan mengabaikan nilai-nilai hukum yang berlaku. Begitu banyak tindakan main hakim sendiri dipertontonkan kelompok massa terhadap orang lain yang tidak punya kekuatan. Celakanya, hukum rimba juga mewabahi kalangan penegak hukum dan pemelihara keamanan yang memiliki senjata api yang dapat digunakan kapan saja.

Peristiwa terakhir yang menyita perhatian publik ialah penyerangan oleh sekelompok bersenjata yang diduga terlatih ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, pada Sabtu (23/3) malam. Para sipir tidak berdaya dan terpaksa menyerahkan kunci blok tahanan kepada penyerang yang diduga mengemban misi. Mereka membantai empat orang tersangka kasus pembunuhan salah seorang anggota TNI di salah satu kafe di Yogyakarta. Keempatnya mendekam di LP Cebongan sebagai tahanan titipan Polda Yogyakarta.

Kehidupan masyarakat terancam oleh ketidakmampuan negara menjaga dan menjamin rasa aman masyarakat. Dengan berkaca pada realitas selama ini, salah satu penyebab maraknya hukum rimba ialah merosotnya kewibawaan negara dan penegak hukum. Hukum tak berkutik melawan aksi kekerasan, baik yang dilakukan preman pasar, preman berdasi, maupun kelompok bersenjata.

Kelompok Bersenjata

Peristiwa berdarah di LP Cebongan setidaknya menyentak rasa kemanusiaan kita, bahkan dunia internasional turut prihatin. Sorotan dunia internasional membuktikan peristiwa keji itu bukan sekadar kejahatan kemanusiaan, melainkan juga sebuah aksi yang mencoreng wibawa negara karena korban berada dalam perlindungan negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), melalui Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparringa, menyatakan selain menghasilkan ancaman serius terhadap rasa aman publik, serangan itu memorak-porandakan kepercayaan umum terhadap supremasi hukum di negeri ini.

Tentu kita mengapresiasi keprihatinan presiden dan berbagai kalangan. Namun, pernyataan dan kecaman sekeras apa pun tidak akan berarti apa-apa tanpa ada aksi konkret dan serius untuk mengusut, mengungkap motif, dan menangkap pelakunya. Apakah itu dari kelompok terlatih yang ada kaitannya dengan penganiayaan yang menyebabkan meninggalnya seorang anggota TNI, pemerintah melalui aparat hukumnya harus berani membongkarnya.

Menyingkap tabir gelap siapa pelaku sebenarnya merupakan tugas negara. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok bersenjata sekalipun terlatih dan dari kelompok mana pun mereka berasal. Jangan hanya berani mengobrak-abrik teroris yang memiliki senjata dan rangkaian bom, sebab pengalaman telah menuntun kita pada kenyataan pahit. Pengusutan sejumlah aksi kejahatan yang melibatkan kelompok bersenjata di luar teroris kerap tidak tuntas dan menyisakan rangkaian persoalan baru.

Polisi sebagai pemegang otoritas dalam mengusut berbagai aksi kekerasan bersenjata tidak boleh gentar. Polisi ialah alat negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum dengan melakukan penyelidikan yang tidak boleh setengah hati. Apalagi kasus penyerangan LP Cebongan, menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, merupakan kekerasan luar biasa sehingga proses penanganannya pun tidak boleh dengan cara biasa-biasa saja.

Untuk memotivasi polisi agar lebih berani melawan dan bertindak tegas, SBY perlu turun tangan langsung. Bila perlu, membentuk tim investigasi independen seperti yang disarankan berbagai kalangan dan bersinergi dengan kepolisian yang berada langsung di bawah kendali presiden. Tujuannya untuk memastikan kasus penyerangan LP Cebongan tidak mendapat tekanan dan perlawanan dari kelompok tertentu.

Negeri ini tidak boleh kembali terjebak ke masa kelam era otoriter Orde Baru. Ketika ada kelompok terlatih yang merasa punya kekuatan melakukan kekerasan, semuanya diatur agar tidak ada institusi tertentu dipojokkan meskipun aksinya menimbulkan korban jiwa bagi rakyat. Jika pola itu kembali terjadi, bukan cuma rasa aman masyarakat yang tercabik, malahan kredibilitas negara selaku pelindung rakyat dipertaruhkan.

Preman Berdasi

Fenomena premanisme tumbuh subur di kota-kota besar, bahkan di perdesaan. Kita patut mengapresiasi polisi yang berhasil menangkap Hercules yang dikenal pentolan preman bersama puluhan anak buahnya dalam sebuah operasi oleh aparat Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu. Akan tetapi, pertanyaan juga muncul, kenapa selalu terlambat diantisipasi? Adakah momentum strategis bagi kepolisian dalam penangkapan Hercules dan kelompoknya?

Padahal, premanisme sudah sangat lama mencekam kehidupan masyarakat. Begitu beragam modus mereka, mulai memeras, meminta jasa keamanan bagi pelaku usaha dan kompleks perumahan, sampai memalak warga masyarakat dengan ancaman. Seiring dengan perkembangan zaman, perilaku premanisme juga semakin berkembang, bukan hanya hidup di lapis masyarakat bawah, melainkan telah menjangkau hampir semua segmen kehidupan sosial.

Meminta uang dengan ancaman sudah merasuki kehidupan masyarakat dengan cara bargaining yang tentu saja tidak berimbang. Pihak penekan merasa memiliki kekuatan dengan mengancam korban nya dan itu bisa terjadi dalam wilayah elite melalui permainan politik-kekuasaan. Itulah yang sering disebar dengan beragam simbol untuk menciptakan rasa takut yang biasa disebut ‘preman berdasi’.

Penyakit sosial itu sudah merambah elite politik dengan pola kerja yang tak jauh beda dengan preman pasar meski lebih canggih. Itu bisa dilihat dari bobroknya penentuan anggaran pendapatan dan belanja negara/daerah (APBN/APBD) oleh preman berdasi. Begitu banyak oknum Badan Anggaran DPR/DPRD ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena meminta dan memeras pengusaha hitam yang ingin tendernya dalam suatu proyek dimenangkan.

Pola kerja para preman berdasi tidak jauh beda dengan preman pasar. Mereka juga melakukan tekanan agar proyek yang sedang dibicarakan di DPR bisa dimenangkan. Para pengusaha hitam dipalak agar membayar ‘uang pelicin atau sogok’, padahal anggarannya belum turun. Terjadi transaksi yang tidak berimbang karena korban pemalakan tidak punya pilihan jika ingin perusahaannya ditunjuk melaksanakan proyek. Maka itu, aksi kekerasan, baik yang dilakukan preman pasar, preman berdasi, maupun kelompok bersenjata, harus dilawan agar tidak berkembang lebih jauh. ●

Paskah dan Akhir Logika Kekerasan


Paskah dan Akhir Logika Kekerasan
Paul Budi Kleden ;  Rohaniwan Katolik, Berkarya di Roma
MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2013


YANG bangkit ialah yang disalibkan. Identitas itu merupakan inti iman orang-orang Kristen. Yang dirayakan pada hari saat Paskah tidak dapat dilepaskan dari permenungan tentang kematian pada Jumat Agung. Hanya selama identitas itu terjamin, kepercayaan akan kebangkitan Kristus memiliki makna. Sebenarnya, identitas tersebut mematahkan mata rantai kekerasan.
Namun, tidak selalu demikian dalam sejarah kekristenan.

Teori Keseimbangan yang Fatal

Tradisi pemikiran kristiani mengenal teori satisfikasi, teori pemuasan demi keseimbangan. Gagasan itu dilansir Anselmus (1033-1109), Uskup Canterbury, dalam bukunya Cur Deus Homo? (Mengapa Allah Menjadi Manusia?). Menurut Anselmus, dunia merupakan satu tatanan hukum yang diciptakan Tuhan, tetapi tatanan itu dirusak pelanggaran manusia. Allah pun dibuat tersinggung berat karena karya-Nya sebagai pencipta tanpa batas dihancurkan manusia yang serbaterbatas. Akibat paling radikal dari dosa ialah kematian.

Anselmus melihat kematian dari sang Allah-manusia sebagai langkah paling logis untuk pemulihan. Kematian baginya bukanlah akibat dosa karena dia memang tidak berdosa. Namun, itu bukan kematian alamiah karena pemulihan hanya mempunyai makna kalau kematian itu merupakan korban diri secara bebas. Hanya dengan tindakan pemberian diri dari seorang manusia yang serentak Allah, manusia tanpa salah, kehancuran ciptaan dapat diatasi.

Dengan itu, Anselmus menjawab pertanyaan kenapa Allah menjadi manusia dan mati secara kejam di salib. Allah yang tersinggung dipuaskan korban anak-Nya sendiri. Teori satisfikasi yang digagas Anselmus itu membingkai pemikiran sakrifisial dalam sejarah kekristenan. Allah memerlukan korban berdarah dari Allah untuk memberikan kehidupan baru kepada manusia. Dengan itu, kekerasan sakral dilegitimasi. Praktik menjatuhkan korban untuk memuaskan Allah dan menyeimbangkan rasa tersinggung dibenarkan.

Demitologisasi Salib

Tafsir kematian Kristus dalam bingkai teori satisfikasi Anselmus perlu didemitologisasi. Salib harus dibebaskan dari lingkaran kekerasan dalam diri Allah sendiri dan ditempatkan kembali sebagai bagian dari sejarah perlakuan dan kelakuan manusia. Dalam pandangan kristiani, kehancuran manusia sebenarnya bertolak dari kecurigaan terhadap Allah, seolah Allah ialah Tuhan yang haus darah, yang menghendaki kehancuran manusia dan menanti setiap saat agar amarah-Nya diredakan.

Kehilangan kepercayaan pada Allah membuat manusia pun saling mencurigai. Karena saling mencurigai, orang saling mengeksklusi dan malah membunuh. Orang yang hidup dalam kecurigaan mudah membayang-bayangkan musuh. Tidak butuh banyak alasan untuk mengubah musuh bayangan menjadi lawan yang harus dihancurkan.

Kepercayaan Kristus yang total kepada Allah menjadikannya tempat Allah hadir sepenuhnya dan mewahyukan diri secara istimewa. Transparansi yang penuh menjadikannya tempat Allah menjadi transparan bagi dunia. Pergaulan dan khotbahnya dialami sebagai kehadiran Tuhan yang merangkul dan mengayomi semua, juga mereka yang terlampau gampang dinyatakan tidak lolos seleksi keagamaan yang berkriteriakan kepatuhan. Sebab itu, kematiannya di salib diimani sebagai pernyataan diri Allah yang mencari manusia sampai rela mengorbankan dirinya. Allah memberikan segalanya untuk meyakinkan manusia akan hati-Nya yang luas untuk mengampuni. Dia bukan Allah yang tersinggung dan perlu dirayu manusia dengan korban berdarah.

Dengan itu, salib bukanlah tanda Allah yang haus darah dan menuntut korban.
Sebaliknya, salib ialah akibat perilaku manusia yang ditandai kecurigaan, yang tega menggunakan kekerasan untuk menghancurkan semua orang dicurigai, semua yang berbeda dengannya. Pada salib, menjadi nyata penolakan penuh kekerasan terhadap model kehidupan baru dalam suasana saling percaya bahwa Yesus menempuh jalan kepada salib sebagai satu-satunya kemungkinan untuk Menyingkapkan Cinta Tanpa Kekerasan.

Melawan Kekerasan

Tentang itu, René Girard menulis, ‘Memasukkan kembali kekerasan ke dalam ke-Tuhan-an tidak terjadi tanpa konsekuensi atas seluruh sistem, sebab dengan demikian orang membebaskan manusia dari sebagian dari tanggung jawab yang seharusnya satu dan sama untuk semua'. Tentu saja, proses seperti itu dapat pula dijumpai dalam agama-agama lain, juga di tengah bangsa kita. Ketika Allah dianggap tersinggung karena perilaku manusia, orang-orang beragama mendapat legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang berpandangan dan berperilaku lain. Rumah ibadat mereka dihancurkan dan para pengikutnya diintimidasi.

Perayaan Paskah menggarisbawahi keyakinan bahwa Allah tidak menghendaki kekerasan. Kekerasan pun bukan kata terakhir dan tidak boleh menjadi bahasa yang diterima begitu saja oleh manusia. Kebangkitan Tuhan menunjukkan manusia tidak menyelesaikan apa pun dengan kekerasan. Sejarah korban tidak selesai ketika orang membunuhnya melalui penembakan atau membuangnya entah ke mana. Paskah sebagai perayaan kebangkitan korban menggarisbawahi keyakinan dasar manusiawi bahwa suara korban akan terus berteriak, juga puluhan tahun setelah hilang dentuman senjata yang membunuhnya.

Jika sejarah korban belum selesai, pelaku pun tidak mempunyai alasan untuk merasa tenang. Paskah membawa kembali gambaran dia yang disalib, dan dengan demikian pertanyaan tentang mereka yang menyalibkan dan alasan penyaliban dibuka lagi. Merayakan Paskah berarti mendengar dan memperdengarkan gugatan bagi para pelaku kekerasan dan dorongan untuk membongkar motif kekerasan itu. Kelicikan menggunakan topeng dan kelihaian membongkar perangkat CCTV serta pernyataan perlindungan dari siapa pun bukan jaminan bagi para pelaku kekerasan untuk boleh merasa aman.

Pelaku kekerasan mesti dicari, bukan untuk kemudian menghukumnya secara keji secara keji sebagaimana sudah dilakukannya sendiri. Salib Kristus bukanlah undangan untuk menggandakan salib bagi yang lain. Sebaliknya, dia bertujuan mengakhiri logika kekerasan. Maka, mencari dan menemukan kekerasan dalam semangat Paskah berarti memberinya peluang untuk menyadari dan mengakui kesalahannya. Lebih lanjut, pembongkaran itu membantunya supaya keluar dari penjara kecurigaan yang sudah membuatnya gagal menerima kehadiran orang lain yang berbeda darinya.

Di tengah bangsa yang semakin ditandai ketidakamanan karena tindak kekerasan, Paskah ialah undangan bagi semua untuk menjadi umat dan warga yang pantang kekerasan. Apabila ada kekerasan, apalagi ketika itu dilakukan terhadap orang-orang tidak berdaya seperti para tahanan, proses mesti dilancarkan dan usaha perlu digalang untuk mengetahui wajah siapa di balik topeng dan suara siapa yang terekam dalam peralatan keamanan yang dibongkar. Paskah pun menjadi ajakan untuk melepaskan diri dari penjara kecurigaan kolektif, yang sering membuat orang mengangguk mengerti dan setuju ketika sejumlah orang dari kelompok tertentu menjadi korban kekerasan. ●

Polri dan Perjudian


Polri dan Perjudian
Budi Hatees ;  Peneliti di Matakata Institute
TEMPO.CO, 30 Maret 2013


Pada periode awal reformasi pecah di negeri ini, ada euforia kebebasan yang melanda rakyat. Saat itu, entah kenapa, setiap orang gampang tersulut emosinya. Mereka cepat marah, lalu main hakim sendiri. Membunuh orang atas nama kebersamaan (massa), menjarah harta benda perusahaan-perusahaan yang dinilai sebagai milik kerabat elite pada rezim Orde Baru, dan membakar fasilitas-fasilitas negara atas nama ketidaksenangan.

Di Provinsi Lampung, di tempat penulis pernah tinggal, kantor Polsek Jabung dan Polsek Sukadana—keduanya di wilayah Kabupaten Lampung Timur—hangus dibakar massa. Aksi itu dipicu oleh ulah polisi menangkap warga setempat yang diduga terlibat dalam kasus kriminal berupa pembegalan dan penadahan hasil begal.

Sebetulnya, polisi tak salah. Sebab, pada saat itu marak kasus pembegalan yang dipicu buruknya situasi perekonomian rakyat pasca-reformasi. Berbagai sektor usaha rakyat, seperti pertanian dan perkebunan, tidak memberi hasil maksimal akibat kurang bagusnya tata niaga berbagai komoditas pertanian dan perkebunan. Pemerintah daerah sendiri malah sibuk membenahi dan menata sistem birokrasi untuk daerah-daerah yang baru dimekarkan. Rakyat jadi malas berusaha dan memilih melakukan tindak kriminal berupa pembegalan.

Aksi ini diketahui semua lapisan masyarakat, karena hasil kejahatan berupa kendaraan bermotor dijual dengan sistem tebus. Mereka yang menjadi korban boleh menebus sepeda motornya yang berhasil dibawa pembegal, dan transaksi berlangsung secara terbuka, bahkan acap disaksikan oleh para tokoh masyarakat. Polisi sendiri mengetahui persoalan ini, dan memilih untuk mendiamkannya.

Namun, ketika ada kebijakan dari pimpinan polisi untuk memberantas kejahatan pembegalan karena sangat meresahkan, situasi menjadi berubah. Kebijakan pimpinan polisi itu diaplikasikan dengan strategi membentuk kompi-kompi polisi berpatroli sepeda motor yang disebut Kompi Walet yang dipimpin langsung oleh seorang perwira menengah, dan efektif menghentikan aksi pembegalan di sejumlah tempat yang diduga rawan. Tidak sedikit pembegal yang terkapar karena ditembak, sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku laiknya. Banyak juga jaringan yang ditangkap, termasuk para tokoh masyarakat, yang kemudian dititipkan di polsek-polsek di wilayah di mana pelaku tertangkap.

Pembakaran kantor Polsek Jabung dan Polsek Sukadana dipicu oleh penangkapan tokoh masyarakat yang diduga sebagai pelaku begal. Masyarakat setempat marah, lalu merangsek ke dalam markas polisi untuk membebaskan tokoh mereka. Aksi massa berhenti bersamaan dengan hangusnya markas polisi. Kasus itu pun berlanjut dengan penangkapan tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat dalam provokasi massa. Sejak itu, kasus pembegalan mulai berkurang di kawasan Kabupaten Lampung Timur. Para pelaku tindak kriminal di daerah itu memutuskan merantau, meskipun tetap menjadi pelaku tindak kejahatan.

Kemarahan massa menjadi hal yang wajar pada era awal reformasi bergulir di negeri ini. Euforia kebebasan membuat semua orang mendefinisikan reformasi sebagai laku bebas untuk merayakan kemerdekaan atas segala hal setelah puluhan tahun dikekang rezim Orde Baru. Tapi, sekitar sewindu sesudah reformasi, perlahan-lahan rakyat mulai kembali pada posisi sebagai warga bangsa yang tidak boleh memanjakan emosi.

Pemahaman rakyat tentang reformasi menjadi lebih dewasa, seiring dengan semakin terbukanya peluang bagi setiap warga bangsa untuk mengekspresikan diri di era otonomi daerah. Meskipun demikian, yang diperoleh rakyat tidak lebih bagus dari yang diharapkan, karena otonomi daerah dipahami secara keliru oleh para elite daerah sebagai momentum untuk menjadi penguasa yang lalim. Akibatnya, perhatian terhadap kebutuhan masyarakat menjadi terabaikan, karena setiap elite sibuk membangun jaringan sendiri bersama kolega-koleganya untuk menguasai sumber-sumber penghasilan yang ada.

Satu-satunya sumber keuangan di daerah hanyalah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), muara dari sumber pembiayaan proyek-proyek fisik yang peruntukannya untuk fasilitas publik. Namun, lantaran pembangunan-pembangun proyek fisik itu dikuasai oleh jaringan pemegang kekuasaan pemerintah daerah, korupsi pun merajalela seperti yang terjadi akhir-akhir ini. Kualitas fasilitas-fasilitas publik menurun, sehingga peruntukannya tidak seperti yang diharapkan. Pada akhirnya, situasi ini mempengaruhi sistem ekonomi di daerah, yang implikasinya merusak sumber-sumber perekonomian masyarakat.

Berbagai sektor usaha masyarakat, seperti pertanian dan perkebunan, tidak bisa tumbuh seperti yang diharapkan, karena pasar dari komoditas yang dihasilkan sangat terbatas. Petani menjadi produsen komoditas yang berada di bawah kendali asosiasi-asosiasi yang dibentuk para pemilik modal, sehingga hasil kerja petani tidak terbayar dengan hasil panennya. Sedangkan harga berbagai komoditas sehari-hari terus melonjak, belum lagi biaya-biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak terkendali pertumbuhannya, sehingga rakyat semakin terpojok dan bertambah melarat.

Akibatnya, rakyat tidak terlalu mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan, lalu memanjakan diri dengan mimpi-mimpi dapat hidup makmur dengan cara cepat dengan menghalalkan segala macam cara. Situasinya kembali ke periode awal reformasi, ketika rakyat memilih jalan sesat untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan cara membudayakan berjudi dalam hidup. Patah semangat karena hasil kerja tidak kunjung menggembirakan, rakyat kemudian memilih bermimpi cepat menjadi kaya.

Mimpi rakyat terkabul dengan hadirnya ragam jenis permainan judi. Permainan ini sudah lama ada, tapi kemudian menjadi sangat menarik bagi rakyat, sehingga pertumbuhannya begitu pesat. Nilai rupiah yang berputar dalam permainan judi sangat tinggi, yang kemudian menyedot perhatian banyak kalangan karena dalam permainan itu ada keuntungan yang bisa dibagi-bagi.

Bukan rahasia lagi, judi yang berkembang di lingkungan masyarakat, seperti toto gelap (togel), adalah 
permainan yang tak akan pernah langgeng bila aparat penegak hukum benar-benar melarangnya. Judi togel berlangsung kasatmata di lingkungan masyarakat, menjadi percakapan sehari-hari, dilakukan rakyat sesering mereka bernapas. Tapi aparat penegak hukum, seperti polisi, melakukan pembiaran.
Judi jenis togel menjadi keseharian masyarakat di negeri ini. Tindak kejahatan ini berlangsung masif, dan mustahil jajaran penegak hukum tidak mengetahuinya.

Mungkin juga polisi memang tak mengetahuinya, karena persoalan judi sebagai tindak kriminal hampir tidak pernah menjadi pembicaraan serius di lingkungan Polri. Saat rapat pimpinan Polri digelar di auditorium PTIK, Jakarta Selatan, Kamis, 31 Januari 2013, hanya ada tiga persoalan krusial yang menjadi prioritas kerja Polri pada tahun ini. Ketiga persoalan itu adalah korupsi, terorisme, dan konflik sosial.

Perjudian, sebagai tindak kejahatan yang memiliki dampak sosial tinggi, juga bisa berimplikasi terhadap terjadinya tindak kriminal dan konflik sosial, tidak ada dalam prioritas kerja Polri. Ini menunjukkan bahwa Polri tak terlalu risau oleh perjudian yang marak di lingkungan masyarakat, sehingga tidak perlu penanganan serius.

Jika benar begitu, berarti betul bahwa Polri memang melakukan pembiaran terhadap maraknya perjudian di negeri ini. Tapi semoga saja asumsi ini keliru, sehingga dampak perjudian yang begitu parah seperti yang menewaskan Kepala Polsek Dolok Pardamean, AKP Andar Siahaan, tidak lagi terulang. ●

Paskah dan Derita Kaum Tersalib


Paskah dan Derita Kaum Tersalib
Benny Susetyo ;  Rohaniwan
SINAR HARAPAN, 30 Maret 2013

  
Keadilan merupakan persoalan sepanjang zaman karena dimensinya tidak mudah dipahami secara nalar. Adil bukan sekadar sama rata dan sama kedudukan. Sikap adil sulit dipahami karena menyangkut dimensi batin manusia.

Jika menyangkut batin manusia, yang paling memungkinkan kita memahami keadilan adalah mengukurnya sejauh mana manusia mencintai kehidupan bersama. Cinta akan kehidupan bersama memberi dimensi batin ke luar dari perasaan ke-aku-an.

Egoisme bukan ukuran keadilan karena sikap ini sering hanya berkaitan dengan tetek bengek seputar harga diri dan keuntungan bendawi. Demi harga diri itulah manusia tak jarang mengejar sesuatu yang hampa. Kehampaan, tanpa kita sadari, telah menjadi ciri khas manusia modern. Manusia yang dibentuk dari piranti-piranti serba instan, kembali menghasilkan manusia sebagai instrumen belaka.
Ini zaman politik pencitraan. Seseorang dipoles menjadi bintang dan perilakunya diatur dengan cermat untuk menunjukkan dia baik, dia bijak, dia santun, dia berwibawa, atau dia pro rakyat.
Penampilan mudah sekali dimanipulasi karena permainan teknologi yang membuat nalar kita sulit memberikan penilaian. Padahal semuanya musang berbulu domba.

Ini zaman yang katanya membawa perubahan, namun nyatanya belum juga membawa kebahagiaan bagi mereka yang miskin, papa dan terkapar. Zaman yang tidak pernah bergerak memperbarui diri dan memberi hati kepada mereka yang selama selalu kalah dalam pertarungan politik global.

Derita Kaum Tersalib

“Dari jurang yang paling dalam kami mengeluh pada-Mu, Ya Allah. Mengapa Engkau meninggalkan kami dalam ketidakberdayaan ini?” Begitu doa rakyat miskin di negeri yang subur ini.

Jeritan ketidakberdayaan kaum tertindas menghiasi berbagai ranah publik. Sekali lagi mereka dikecewakan oleh hantu bernama “elite politik”. Demi kepentingan kekuasaan, nasib rakyat miskin dibuat tak berdaya. Mereka selalu dikalahkan sistem yang penuh dengan kelicikan dan akal busuk.
Politik akal busuk memperdaya masyarakat marjinal yang hidup tergantung pada kebaikan orang lain. Perubahan tak pernah menyentuh mereka karena kaum miskin dianggap sebagai orang yang tak punya daya kuasa untuk menjadi dirinya sendiri. Kaum miskin tetap tersalib oleh sistem hidup yang tak mengenal belas kasih.

Dia tersalib karena kaum miskin hanya dijadikan tumbal dalam proses pembangunan. Tenaganya dieksploitasi, hatinya dipenuhi bermacam-macam janji perubahan oleh penguasa, tapi sampai sekarang belum ada realisasinya.

Hidup mereka menjadi berat karena harga kebutuhan sehari-hari naik luar biasa–jangan berpikir pendapatan mereka juga akan bertambah. Hidup mereka semakin susah karena para pemangku zaman yang tidak mau berpihak kepada mereka.

Kehidupan mereka hanya digantungkan kepada “Bapak Nasib”. Kalau Pak Nasib lagi baik, mereka bisa makan, kalau Pak Nasib lagi jahat ya, mereka buntung. Kerja keras tak kenal waktu dan lelah hanya untuk berebut kemujuran yang ditawarkan si Nasib tersebut.

Kaum miskin diakalbulusi kebijakan yang orientasinya hanya menguntungkan orang kaya dan pejabat. Mereka ditipu bahwa sebuah kebijakan seolah-olah logis, tetapi di lain pihak mematikan daya hidupnya. Kapitalisme yang ada sekarang ini, di negeri ini, ketika berbaur dengan kekuatan pengambil kebijakan, tidak pernah berpihak kepada mereka.

Para pemilik modal berkuasa karena mereka mampu membeli segalanya. Birokrat di negeri ini hanya menjadi perpanjangan tangan pengusaha hitam yang orientasinya semata-mata demi mencari untung. Elite politik sendiri sering mengaku tak kuasa menahan derasnya desakan kekuatan modal, yang ujung-ujungnya menjelma menjadi kuasa politik tersendiri. Persekutuan politik dan modal inilah yang membuat tata kehidupan menjadi kehilangan keseimbangan.

Keadaban publik hancur karena poros masyarakat sebagai pemilik kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya tidak lagi berdaulat. Kehidupan ini tergantung dari kekuatan modal yang menjelma dalam berbagai kekuatan. Lewat media perilaku dibentuk dengan mengedepankan hal-hal yang menyenangkan panca inderawi belaka.

Paskah Sejati

Situasi tersalib itulah membuat yang mata hati kehilangan kejernihan dalam melihat masalah mendasar yang ada saat ini. Elite politik telah buta dan tuli mendengar tangisan rakyatnya. Mereka pura-pura memiliki empati tetapi sejatinya hanya bualan belaka. Derita kaum miskin tidak lagi menjadi pilihan mereka untuk benar-benar mau berbagi dengan kesusahan mereka.

Ketersaliban inilah yang membuat cara berpikir, berperilaku, dan merasa menjadi reaktif dalam menghadapi masalah. Lalu kehidupan kita hanya didasari hal-hal yang menipu mata hati. Hilangnya mata hati itulah yang menyilaukan kehadiran Tuhan di sekitar kita.

Tuhan menjadi jauh dengan kita karena mereka menyalib kaum miskin. Tuhan menjadi jauh dengan kita karena kita tidak punya hati terhadap kaum miskin yang jumlahnya setiap saat bertambah.
Kita menjauh dari Tuhan karena tangan kita menindas kaum miskin. Mata kita menyingkirkan kehadiran mereka. Bukankah Dia yang tersalib adalah Dia yang menderita karena dosa kita yang menyalibkan mereka yang tak berdaya? Dia tersalib karena dosa kita membiarkan kaum miskin kelaparan, kehausan, dan kehilangan tempat tinggal.

Dia tersalib karena dosa kita yang membiarkan tanah mereka digusur dijadikan lapangan golf dan perumahan mewah. Dia tersalib karena kita diam dengan persekutuan kaum pemodal dan elite politik. Dia yang tersalib ada bersama mereka yang berjuang untuk tegaknya keadilan di bumi ini.

Paskah sejati adalah kemauan untuk merenungkan dan kembali membela kaum tergusur. Itulah Paskah sejati yang ada dalam diri mereka yang haus keadilan. Haus kebenaran dan haus cinta kepada mereka yang miskin dan papa. Itulah Paskah yang membebaskan manusia dari kuasa kerakusan akan harta dan jabatan. Paskah berarti dia harus berani melewati lorong gelap seorang diri.

Kalau moralitas tetap tidak dijadikan acuan hidup bersama karena kuasa uang dijadikan acuan kehidupan publik, itu tanda kita tak pernah mengakui adanya Tuhan di sekitar kita, dalam jiwa kita. Kehidupan publik menjadi hancur karena kuasa kegelapan menjelma menjadi monster yang siap menerkam dengan kuasa uang dan kuasa bedil. Kuasa itulah yang membuat nilai-nilai kemanusiaan menjadi rapuh karena telah memasuki tubir dosa struktural.

Dosa struktural ini telah membuat manusia terkecoh. Mereka mencari roti yang hanya mengenyangkan belaka. Mereka lupa akan Roti Surgawi. Padahal Dia mengatakan, “Carilah Roti Surga maka yang lain akan datang.”

Paskah seharusnya membuat nilai-nilai kemanusiaan kita diperbarui dalam kehidupan ini. Mari kita rayakan Paskah bersama dengan merindukan datangnya Sang Fajar sejati.  ●

Ekonomi Kreatif dalam Kurikulum 2013


Ekonomi Kreatif dalam Kurikulum 2013
Ririn Handayani ;  Alumnus Pascasarjana Universitas Airlangga
SUARA KARYA, 30 Maret 2013


Perubahan dan tantangan global yang terus bergerak dinamis mengharuskan kita melakukan sejumlah penyesuaian dan penyempurnaan dalam rangka memaksimalkan persiapan. Termasuk dalam bidang pendidikan, salah satu sektor yang paling menentukan kemajuan sebuah bangsa dan negara. Terkait hal ini, pemerintah akan segera mengimplementasikan Kurikulum 2013 mulai Tahun Ajaran 2013/2014 di semua jenjang pendidikan mulai SD, SMP, hingga SMA atau sederajat.

Perubahan kurikulum dimaksudkan untuk mempersiapkan peserta didik kita agar lebih siap dalam menghadapi tantangan-tantangan di masa depan melalui pengetahuan, keterampilan, sikap dan keahlian untuk beradaptasi serta bisa bertahan hidup dalam lingkungan yang senantiasa berubah.

Terlepas dari berbagai pro dan kontra yang menyertainya, salah satu substansi penting dalam Kurikulum 2013 yang sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini adalah materi pembelajaran mengenai ekonomi kreatif terutama dalam mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya. Sejumlah kondisi riil yang membuat materi ini menjadi penting dan genting untuk segera direalisasikan, antara lain tren ekonomi global yang tengah berkembang, upaya untuk melestarikan budaya bangsa yang kian kritis, meningkatkan daya saing sekaligus sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan semangat kewirausahaan sejak dini pada peserta didik. Modal inilah yang kita butuhkan untuk mempersiapkan generasi emas dalam rangka menyongsong satu abad Indonesia merdeka tahun 2045 nanti.

Semangat perubahan yang patut kita apresiasi dalam Kurikulum 2013, salah satunya adalah upaya untuk menjawab persaingan global yang kian ketat. Hanya mereka yang kreatif dan kompeten di bidangnya yang akan keluar sebagai pemenang. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan salah satu breeding ground (tempat perkecambahan) yang utama bagi tumbuh dan berkembangnya insan-insan kreatif dan berdaya saing tinggi di kemudian hari. Ada banyak manfaat yang akan kita peroleh dengan memberikan porsi yang lebih besar mengenai ekonomi kreatif dalam kurikulum baru kita.

Pertama, ini sejalan dengan tren ekonomi global saat ini, yakni ekonomi kreatif. Tren ekonomi ini kini menjadi primadona banyak negara sehingga mereka berlomba-lomba mengembangkan berbagai potensi ekonomi kreatifnya. Sangat disayangkan jika Indonesia dengan potensi sangat besar di bidang ini, melewatkannya begitu saja.

Kedua, materi pembelajaran mengenai ekonomi kreatif juga sangat terkait erat dengan upaya pelestarikan budaya bangsa yang semakin kritis terutama di kalangan generasi muda. Porsi yang kurang dalam kurikulum kita selama ini membuat upaya pelestarian budaya bangsa kian terpinggirkan. Generasi muda kita semakin asing dan tidak tertarik dengan budayanya sendiri. Sementara banyak orang dari negara lain justru memberikan perhatian yang besar bahkan dengan tekun mempelajari budaya kita hingga mahir.

Bangsa yang lupa pada budayanya sendiri akan sangat merugi di kemudian hari. Banyak budaya bangsa yang akan dipatenkan oleh negara lain karena mereka lebih memperhatikan dan secara nyata melestarikan budaya kita. Jika ini terus dibiarkan, kerugian yang akan kita dapati akan sangat besar tidak hanya secara ekonomi namun juga secara nilai dan identitas yang nilainya tak bisa diukur dengan materi.

Ketiga, materi pembelajaran ekonomi kreatif juga sangat kondusif dalam menumbuhkembangkan semangat kewirausahaan pada generasi muda. Semangat dan kemampuan ini akan membuat mereka lebih siap menghadapi persaingan di masa depan yang pastinya akan semakin sengit.
Dengan berbagai manfaat ini, tidaklah berlebihan jika Kurikulum 2013 bisa dijadikan momentum untuk membangkitkan ekonomi kreatif secara formal melalui lembaga pendidikan.

Berharga Mahal

Tak bisa dipungkiri, perubahan kurikulum berarti mengeluarkan banyak biaya. Mulai perumusan konsep, sosialisasi kepada masyarakat hingga penyediaan perangkat dan infrastruktur serta pelatihan bagi guru agar bisa mengimplementasikan kurikulum dengan baik. Para guru inilah yang akan menjadi ujung tombak perubahan kurikulum di lapangan. Terlebih, untuk materi pembelajaran mengenai ekonomi kreatif yang membutuhkan tenaga pengajar yang mumpuni di bidangnya.

Ketersediaan SDM ekonomi kreatif yang berkecimpung di dunia pendidikan masih sangat minim sehingga dibutuhkan insentif terutama bagi para guru dan calon guru agar termotivasi mendalami bidang-bidang ekonomi kreatif. Insentif dapat berupa beasiswa untuk melanjutkan studi di bidang ekonomi kreatif.

Pembelajaran mengenai ekonomi kreatif juga membutuhkan bahan dan sarana praktik yang tidak murah harganya agar siswa tidak hanya berteori. Pelajaran yang langsung dipraktikkan juga cenderung lebih menyenangkan. Semua ini jelas membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sebuah harga mahal yang harus kita bayar untuk membeli masa depan yang gemilang. Namun harga yang harus kita bayar sekarang menjadi tidak seberapa jika dibandingkan dengan kerugian yang harus kita tanggung di masa yang akan datang jika mengabaikannya. Saat banyak budaya kita dipatenkan oleh negara lain sehingga kita harus membayar untuk bisa menikmati sesuatu yang mulanya adalah miliki kita sendiri.

Kerugian tidak sedikit baik secara materi maupun harga diri juga akan kita alami saat Indonesia diserbu oleh pekerja asing dan menempati berbagai posisi strategis sementara anak bangsa sendiri hanya bisa menempati posisi bawahan. Bisa-bisa kita menjadi pesuruh di rumah sendiri. Sebelum semua ini terjadi, inilah saatnya kita memantapkan langkah untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin. Dan Kurikulum 2013 memungkinkan kita untuk mewujudkan harapan ini.  ●

SMK, Sekolah Masyarakat Kekinian


SMK, Sekolah Masyarakat Kekinian
Junaidi Abdul Munif ;  Peneliti El-Wahid Center,
Universitas Wahid Hasyim Semarang
SUARA KARYA, 30 Maret 2013


Banyaknya pengangguran di usia produktif menjadi masalah pelik bangsa ini. Lulusan sekolah menengah atas (SMA, SMK, MA) dan sarjana menjadi 'penyumbang' pengangguran terbesar. Untuk menekan pengangguran itu, wacana pendidikan kewirausahaan pun ramai menjadi isu nasional, terutama di perguruan tinggi, hingga dirasa perlu ada mata kuliah kewirausahaan.

Dunia kerja yang menuntut keterampilan yang mumpuni menjadi titik ironi bagi sengkarut ketenagakerjaan di Indonesia. Di sisi lain, budaya wiraswasta (entrepeneurship) masih menjadi masalah yang turut menyumbang angka pengangguran. Paradigma bahwa uang hanya bisa dicari dengan bekerja masih kuat di masyarakat kita. Mereka yang berpikir untuk menciptakan pekerjaan masih terbilang sedikit.

Pendidikan ditengarai turut bertanggung jawab atas fenomena yang menyesakkan tersebut. Di tengah gejala konsumerisme dan kapitalisme, pekerjaan dituntut untuk dimiliki oleh mereka yang tergolong usia produktif agar mampu mandiri secara ekonomi. Keterampilan dan pekerjaan juga menjadi bekal untuk bersaing secara nasional dan global.

Belakangan ini, SMK kembali ramai diperbincangkan sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu memenuhi tanggung jawab sosial demi mencetak generasi bangsa yang terampil sebagai bekal untuk bekerja. Kemendiknas (dulu) cukup serius mengupayakan SMK sebagai kawah candradimuka untuk membekali siswa dengan keterampilan khusus. Izin pendirian SMK lebih diprioritaskan daripada SMA atau MA. Dhus, 'latahisme' pun terjadi, yakni banyak yayasan ramai-ramai mendirikan SMK meski secara SDM dan infrastruktur kurang mendukung. Dalam hal ini, Kemendikbud perlu melakukan seleksi secara ketat.

Sebetulnya cukup banyak SMK yang ada di Indonesia. Namun, kita cukup lama terjebak pada dikotomi bahwa SMK adalah sekolah kelas dua dan buangan bagi anak-anak yang tak diterima di sekolah negeri. Paradigma ini seolah menemukan pembenaran di lapangan karena terbukti dari segi kecakapan mata pelajaran, siswa SMK masih di bawah rata-rata anak SMA.

Kemendiknas mendorong agar di setiap provinsi dan kabupaten harus memiliki sekolah unggulan dan RSBI, termasuk SMK. Tahun 2009 tercatat di 33 provinsi, ada 182 SMK RSBI. (Dirjen SMK, 2009) Ini masih kurang jika dibandingkan jumlah SMA unggulan.
SMK masih menjadi harapan bagi keluarga menengah ke bawah untuk menyekolahkan anaknya. 

Melanjutkan ke perguruan tinggi serasa berat di tengah himpitan ekonomi. Namun, masalah klasik selalu menghantui SMK.

Pertama, karena sekolah ini adalah kejuruan yang menitikberatkan praktik daripada teori, biaya menjadi lebih mahal. Alasan untuk membeli alat praktikum menjadi alibi bagi sekolah (terutama swasta) untuk memungut biaya tambahan kepada wali murid.

Kedua, SMK cenderung dihuni oleh siswa yang bergender homogen. Jurusan mesin, otomotif, dan bangunan lebih banyak dihuni oleh siswa laki-laki, sementara jurusan tata boga atau tata busana cenderung dihuni oleh perempuan. Di usia muda seperti itu, jurusan SMK yang dihuni para siswa laki-laki cenderung lebih 'susah diatur' dan muncul semacam kekompakan untuk melanggar peraturan sekolah.

Itikad pemerintah untuk menjadikan SMK sebagai pencetak tenaga kerja siap pakai harus seimbang antara sekolah SMK negeri dan swasta. Kebanyakan mereka yang kurang mampu cenderung menyekolahkan anaknya ke SMK swasta pinggiran karena biaya lebih murah daripada SMK negeri. Lebih bijak misalnya, jika pemerintah lebih memerhatikan sekolah swasta yang kekurangan alat praktik untuk meminimalisir kesenjangan antara ketersediaan fasilitas dan jumlah siswa. Faktor fasilitas turut memengaruhi tingkat penguasaan siswa terhadap materi praktik. Intensitas melakukan praktik dapat menjadi sebab penguasaan materi praktik peserta didik.

Tahun 2020-2025, Indonesia menargetkan jumlah SMK dan SMA adalah 70:30. Artinya, ke depan, Indonesia berusaha menciptakan generasi muda yang siap kerja. Namun, penyiapan tenaga kerja yang masis dapat menjadi blunder jika hanya berhenti pada tataran skill-praktis. Ketersediaan guru SMK yang sesuai kompetensi masih minim. Padahal, guru dalam SMK menjadi penting karena dia sekaligus sebagai trainer.

Kurikulum merupakan salah satu aspek penting yang menentukan mutu kualitas lulusan lembaga kejuruan. Karena posisinya yang penting, kurikulum pendidikan di sekolah menengah tentu berbeda. Perbandingan teori dan praktik idealnya adalah 30 teori, 70 praktik.

Balitbang Jateng (2008) memberi rekomendasi dalam soal kurikulum. Pertama, sekolah harus bekerja sama dengan dunia indsutri untuk menyusun kurikulum, agar didapat kesepahaman apa yang dibutuhkan oleh dunia industri. Kedua, untuk sekolah, teori kejuruan dan praktik dasar diberikan di semester awal agar semester selanjutnya bisa lebih fokus mematangkan keterampilan siswa dalam bidang keahlian tertentu.

Yang perlu diberikan (diselipkan) dalam kurikulum adalah nilai-nilai filsosofis kerja. Ini penting agar lulusan SMK ke depan tidak hanya memahami tujuan kerja dari sisi pragmatis (gaji), namun juga idealisme dan tujuan jangka penjang kerja untuk merawat kemanusiaan dan peradaban. 

Kemendikbud mesti berperan untuk menyinergikan pendidikan dan kebudayaan, termasuk di SMK.
Pendidikan di SMK harus pula diarahkan pada pendidikan kewirausahaan. Ini untuk mengantisipasi jika pendidikan keterampilan di SMK berhasil (semoga), kita justru kelebihan stok tenaga terampil, sementara perusahaan yang ada tak lagi mampu menampung mereka. Peran SMK dengan demikian, bukan semata mencetak tenaga siap kerja, tapi juga para lulusan yang mampu menciptakan pekerjaan. SMK akan menjadi solusi dari tiga masalah sekaligus; pengangguran, minimnya wirausahawan, dan pekerjaan yang berbudaya.  ●

Sabtu, 30 Maret 2013

Bangsa Penonton


Bangsa Penonton
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 30 Maret 2013

  
Beberapa hari terakhir, media massa sering memberitakan soal ”pasal santet” yang bikin heboh. Padahal, ini hanya salah satu dari ratusan pasal yang sedang dalam proses penyusunan RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Ketentuan Pasal 293 Ayat (1) RUU KUHAP menyebutkan, ”Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang....”
Jadi, tidak ada kata ”santet”. Yang ada hanya kata ”kekuatan gaib”. Namun, kita keburu histeris karena terkesan DPR membahas santet, urusan yang mengada-ada, alias tidak substantif.
Terlebih lagi, Komisi III DPR akan melakukan studi banding ke Rusia, Inggris, Perancis, dan Belanda untuk belajar santet. Menurut pernyataan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, studi banding itu menghabiskan uang negara sekitar Rp 6,5 miliar.
Tidak heran sebagian dari kita gusar. Seperti biasa, DPR kembali menjadi sasaran kritik dan cemooh dari delapan penjuru mata angin.
Padahal, kalau saja mau sedikit memahami, kedua RUU itu diajukan pemerintah kepada DPR, dan persoalan santet atau kekuatan gaib itu bukanlah isu baru. Sesungguhnya, pemerintah sekitar 20 tahun lalu berupaya memasukkan pasal ini ke DPR. Keinginan itu bersumber dari keresahan masyarakat yang marah terhadap praktik-praktik kekuatan gaib yang ditawarkan dukun-dukun.
Dukun-dukun itu sering menjadi korban main hakim sendiri.
Jadi, bukan kekuatan gaibnya yang merupakan subyek hukum, melainkan dukun-dukun itu yang menyalahgunakan kekuatan gaib.
Setelah sekitar 20 tahun, pembahasan diajukan lagi oleh pemerintah kepada DPR. Berhubung kita masyarakat ”main pukul rata”, DPR menjadi sasaran kembali alias menjadi kambing hitam.
Contoh kekeliruan persepsi dapat dilihat juga dari fenomena fanatisme publik terhadap tim nasional sepak bola. Dalam pertandingan babak penyisihan Piala Asia melawan Arab Saudi akhir pekan lalu, GBK dipadati puluhan ribu penonton.
Nah, sebagian pemain timnas melakukan tindakan kurang senonoh ketika menolak berlatih di bawah asuhan Pelatih Luis Manuel Blanco. Padahal, pelatih asal Argentina ini salah satu buah kerja sama bilateral Indonesia-Argentina.
Ulah pemain-pemain itu jelas menampar wajah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta bantuan kepelatihan dari Presiden Argentina Cristina de Kirchner. Tidak ada yang ribut saat Rahmad Darmawan muncul sebagai ”pahlawan”.
Jangan lupa, sebagian dari pemain ini menolak dipanggil masuk timnas asuhan Pelatih Nil Maizar. Berbeda dengan Bambang Pamungkas yang berani menentang klubnya memenuhi panggilan timnas.
Padahal, di sejumlah negara Barat, nasionalisme pemain digugat cuma karena tidak menyanyikan lagu kebangsaan saat akan bertanding. Di sini, lambang Garuda dan Merah-Putih dilecehkan.
Akan tetapi, sebagian besar penggemar tak peduli. Nasionalisme sebagian besar pencinta sepak bola kita memang masih bersifat ”flag-waving”.
Mispersepsi terhadap pasal santet dan timnas memprihatinkan. Hal itu menunjukkan karakter masyarakat yang hidup dalam kebimbangan.
Pada dasarnya, masyarakat memang naif. Mungkin saja karena mereka kurang well-informed atau cuma memedulikan urusan masing-masing.
Namun, apatisme merupakan penyebab utama rasa bimbang yang berkepanjangan itu. Sikap masa bodoh pada sejumlah kalangan kini tampak dalam skala yang cukup massal dan bersifat sistemik.
Ternyata, Reformasi 1998 dapat dikatakan gagal karena demokrasi kita berubah menjadi ”democrazy”. Demokrasi menjadi ajang untuk ngomong dan berbuat seenaknya saja oleh siapa saja.
Ciri utama ”sukses” demokratisasi ala Reformasi 1998 tak lain adalah perilaku korupsi. Sama seperti sikap masa bodoh, korupsi berlangsung cukup massal dan bersifat sistemik.
Bayangkan saja, sekitar sepertiga dari gubernur diperiksa KPK. Sekitar seperempat dari hampir 500 pemimpin daerah idem dito.
Sama seperti sikap masa bodoh dan korupsi, kecurangan dalam pilkada juga berlangsung dalam skala cukup massal dan bersifat sistemik. Lebih dari tiga perempat dari 500-an pilkada selama beberapa tahun terakhir disengketakan.
Kalau ada partai/politisi yang menggugat hasil pilkada, hampir dipastikan mereka dituduh ngambek. Jika petahana mengerahkan dana dan aparatnya untuk menang kembali, itu hal biasa.
Rasa bimbang berkepanjangan yang disebabkan oleh apatisme itu masih berlangsung sampai saat ini. Kita tidak tahu lagi mau memercayai siapa yang memiliki otoritas informasi-informasi vital setiap kali ada masalah berskala nasional.
Itu terjadi ketika negeri agraris ini dilanda krisis kelangkaan komoditas, mulai dari kacang kedelai sampai bawang. Sungguh menyeramkan menyimak siapa gerangan yang bertanggung jawab atas serangan terhadap LP Cebongan.
Mungkin salah satu krisis laten yang membuat kita mundur sebagai bangsa: kian tampaknya fenomena ”too dumb to be governed and too dumb to govern”. Ibaratnya, ini mempertanyakan mana yang lebih dulu: ayam atau telur?
Kita berharap krisis laten ini berakhir ketika ada perubahan baru pada tahun 2014 setelah Pemilu-Pilpres 2014. Di satu pihak, masih banyak yang pesimistis dan mungkin lebih memilih golput, di lain pihak tetap ada yang berharap masih ada sinar di ujung terowongan sana.
Untuk sementara, kita masih ”bangsa penonton” (a nation of spectators) saja. Kita masih belum lulus menjadi ”bangsa pemaham” demokrasi, apalagi ”bangsa penikmat” demokrasi.  ●

Salah Persepsi Otonomi Perguruan Tinggi


Salah Persepsi Otonomi Perguruan Tinggi
Herry Suhardiyanto ;  Rektor Institut Pertanian Bogor; Sekretaris Jenderal Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI)
KOMPAS, 30 Maret 2013

  
Opini Thee Kian Wie di Kompas (21/3) menyebutkan keberatan Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro dan Prof Sofian Efendi terhadap RUU yang menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Sebetulnya keberatan mereka adalah ketika RUU tersebut belum mengakomodasi kebutuhan otonomi perguruan tinggi badan hukum. Setelah RUU tersebut disempurnakan dan disahkan oleh DPR menjadi UU yang mencantumkan opsi Perguruan Tinggi Negeri badan hukum (PTN bh) justru mereka sangat mendukung UU tersebut.
Sebetulnya, Kompas (6/3) tepat menurunkan Tajuk Rencana tentang otonomi perguruan tinggi dengan mengusulkan agar UU tersebut tidak dibatalkan. Memang opini tentang otonomi perguruan tinggi sedang menghangat, tetapi sering diwarnai dengan persepsi yang salah.
Kesalahan Persepsi
Mengapa otonomi perguruan tinggi dipersoalkan? Jawabannya adalah karena salah persepsi tentang otonomi perguruan tinggi. Salah persepsi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat, tetapi juga pimpinan PTN. Masyarakat mengira implementasi otonomi perguruan tinggi mengakibatkan semakin besarnya dana pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Adapun beberapa pimpinan PTN menganggap otonomi perguruan tinggi sebagai kesempatan menutupi kebutuhan dana peningkatan mutu dengan menggalang dana dari mahasiswa.
Otonomi bukanlah komersialisasi. Karena itu, hal-hal yang dapat membuat masyarakat salah paham, seperti formulir kesanggupan menyumbang, harus ditiadakan. Orangtua
mencantumkan kesanggupan membayar yang lebih besar karena beranggapan bisa membuka peluang lebih besar agar anaknya diterima sebagai mahasiswa baru.
Calon mahasiswa yang tidak diterima pun bisa berpersepsi bahwa angka sumbangan yang diisikan dalam formulir terlalu kecil. Padahal, sangat boleh jadi dia tidak diterima memang karena nilai ujiannya tidak masuk nilai persyaratan terendah program studi pada PTN yang bersangkutan.
Kebijakan pemerintah tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) merupakan jawaban atas persoalan ini. Dengan UKT, tidak ada lagi uang pangkal atau sebutan lain yang harus dibayar mahasiswa pada proses penerimaan mahasiswa baru. Kebijakan ini menentukan bahwa jumlah dana pendidikan yang harus ditanggung mahasiswa setiap semester adalah sama selama studi.
Akses dan Mutu
Mengenai akses dan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, bangsa kita dapat memilih satu dari empat pilihan, yaitu (1) akses sempit dan mutu rendah, (2) akses luas dan mutu rendah, (3) akses sempit dan mutu tinggi, dan (4) akses luas dan mutu tinggi. Pilihan 1, 2, dan 3 tidak sesuai dengan UUD 1945.
Pilihan 2, yaitu membuka akses yang seluas-luasnya tanpa peningkatan mutu pendidikan, merupakan pilihan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini menghasilkan lulusan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak kompeten. Pilihan 3, mencapai mutu tinggi dengan cara menggantungkan pendanaan dari mahasiswa, mempersempit akses pendidikan. Pilihan ini akan mengakibatkan pendidikan tinggi di PTN hanya dinikmati kaum elite secara ekonomi.
Pilihan yang sesuai konstitusi adalah pilihan 4, yaitu akses yang luas pada pendidikan bermutu tinggi. Pilihan ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan para pendiri negara kita sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini sejalan dengan pandangan peran perguruan tinggi sebagai wahana penempaan calon pemimpin bangsa.
Otonomi Sebagai Solusi
Tujuan perluasan akses adalah semangat mewujudkan pendidikan untuk semua. Masalah yang sering dihadapi adalah persoalan keterjangkauan. Solusinya adalah komitmen pemerintah dalam menetapkan alokasi anggaran memadai sebagaimana sudah dilaksanakan dengan program Bantuan Pendidikan untuk Mahasiswa Miskin (Bidikmisi), Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri, beasiswa, dan sebagainya.
Selain itu, perlu ada peraturan tegas tentang kontribusi maksimum biaya pendidikan yang ditanggung mahasiswa. Karena itu, cara pandang menangani persoalan akses dengan menghapus otonomi PTN badan hukum adalah tidak relevan dan salah alamat. Hal ini seperti memanen padi dengan peniti.
Tujuan peningkatan mutu adalah terwujudnya keunggulan akademik dan relevansi terhadap kebutuhan masyarakat. Tantangan yang harus dihadapi adalah proses transformasi PTN dalam membangun atmosfer akademik yang baik, tata kelola yang sehat, dan penerapan prinsip-prinsip manajemen modern yang berlaku universal. Otonomi memungkinkan terjadinya perubahan budaya kerja yang berorientasi pada peningkatan mutu untuk melahirkan prestasi tinggi dan kinerja unggul.
Kunci keberhasilan PTN adalah proses pengambilan keputusan secara bermartabat dan partisipatif berdasarkan kebenaran yang berbasis data dan fakta. Dalam PTN bh, terbuka kesempatan bagi masyarakat untuk berperan dalam proses tata kelola melalui anggota Majelis Wali Amanat (MWA). MWA memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan penting, seperti Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan, termasuk mengangkat dan memberhentikan rektor.
Lalu, mengapa harus ada opsi PTN bh? Jawabannya adalah karena peran masyarakat hanya mungkin terwujud bila ada opsi PTN bh sebagaimana dinyatakan dalam UU. Badan hukum dimaknai sebagai fungsi dan bukan bentuk, sebagaimana amar putusan MK yang membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan.  ●

Memidana Kekayaan Koruptor


Memidana Kekayaan Koruptor
Febri Diansyah ;  Pegiat Antikorupsi; Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan    
KOMPAS, 30 Maret 2013

  
Saya teringat Hoegeng, mantan Kapolri era 1968-1972, yang dengan amarah pernah bicara, ”Memangnya gaji polisi bisa untuk bermewah-mewah?” Di sisi lain yang sangat kontras, puluhan aset yang diduga dimiliki Irjen Djoko Susilo disita KPK.
Menurut estimasi KPK, DS yang berstatus tersangka korupsi dan pencucian uang ini memiliki kekayaan Rp 100 miliar. Sementara laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) DS per 2010 ketika menjabat Kepala Korlantas Polri ”hanya” Rp 5,62 miliar.
Angka yang tidak wajar dan sederet aset yang telah disita itu tentu masih harus dibuktikan di pengadilan. Namun, butir menarik dari serangkaian tindakan hukum yang dilakukan KPK adalah ketika penyitaan mulai dilakukan sistematis setelah DS ditetapkan sebagai tersangka dugaan pencucian uang. Dengan demikian, DS menyandang sekaligus dua ”jabatan” tersangka, yakni tersangka korupsi dengan dasar UU No 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 dan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang.
Pemiskinan Koruptor
Ini tentu bukan kasus pertama di KPK. Sebelumnya, politisi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, bahkan dijatuhi vonis enam tahun oleh hakim pengadilan tipikor. Wa Ode didakwa korupsi Rp 6,25 miliar dan dijerat dengan UU Pencucian Uang terkait transaksi senilai Rp 50 miliar di rekeningnya.
Dalam proses penyidikan di KPK, tercatat kasus Nazaruddin dan kasus suap daging sapi impor juga dikenakan UU Pencucian Uang. Polri dan kejaksaan bahkan lebih dahulu menerapkan jurus beleid antikorupsi dan pencucian uang ini. Sebut saja para petugas pajak Bahasyim Assifie dan Gayus HP Tambunan. Bahasyim bahkan ”hanya” dijerat korupsi Rp 1 miliar, tetapi pencucian uang senilai Rp 64 miliar. Di Mahkamah Agung, Bahasyim divonis 12 tahun penjara dan perampasan kekayaan.
Dengan kata lain, peristiwa hukum terhadap Djoko sesungguhnya punya dasar kuat. Yang menjadikan kasus ini menarik agaknya karena posisi Djoko sebagai salah satu perwira tinggi Polri yang biasanya nyaris tidak tersentuh hukum. Apalagi, kita ingat bagaimana resistannya Polri ketika KPK memulai penyidikan kasus ini dan menggeledah Korlantas Polri. Bahkan, ”penyerbuan” sempat terjadi terhadap Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK yang dianggap berperan signifikan dalam membongkar skandal ini.
Jika penanganan kasus ini berhasil, tidak berlebihan kita mengatakan bahwa upaya pemiskinan koruptor akan menemui titik terang. Selama ini, banyak pihak masih meragukan efektivitas pemenjaraan terhadap koruptor. Selain persoalan vonis yang amat rendah, diskon hukuman melalui remisi, dan pembebasan bersyarat, kekayaan koruptor yang masih lebih dari cukup sering kali membuat mereka tetap punya posisi sosial yang kuat. Karena itu, memidana kekayaan yang tidak wajar dibandingkan penghasilan sah adalah sebuah keniscayaan yang dibutuhkan.
Pemidanaan harta kekayaan juga tidak sepenuhnya isu baru. Di Amerika Serikat, penerapan pertama kali UU Anti Pencucian Uang bahkan memosisikan pemerintah melawan dana jutaan dollar yang tidak bertuan. Dengan terminologi illicit enrichment, United Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003) telah merekomendasikan pemidanaan terhadap peningkatan kekayaan pejabat publik yang tidak wajar tanpa mampu membuktikan bahwa kekayaan diperoleh secara sah dan bukan dari tindak pidana. Bahkan, Inter American Convention Against Corruption sejak 1996 telah mengenal istilah yang sama dengan UNCAC.
Hal ini berarti apa yang dilakukan KPK terhadap Irjen Djoko bukankah sesuatu yang mengada-ada, bahkan menjadi standar internasional yang kuat dan diterima di sistem hukum puluhan negara. Meskipun Indonesia belum mengadopsi secara utuh Pasal 20 UNCAC tentang Illicit Enrichment tersebut, kombinasi UU Antikorupsi dan UU Pencucian Uang dapat digunakan.
Salah satu ketentuan yang dinilai cukup mumpuni adalah adanya kewajiban terdakwa untuk membuktikan kekayaannya bukan berasal dari korupsi, juga penegasan bahwa dalam proses hukum pencucian uang tak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Sebab, memang, pencucian uang adalah pidana yang terpisah. Dengan basis kekayaan yang diduga dari kejahatan, proses penempatan, penyembunyian, dan penggunaannya masuk dalam kualifikasi pencucian uang.
Asumsi Menyesatkan
Penegasan ini penting karena belakang mulai muncul asumsi hukum yang bisa menyesatkan, yaitu seolah-olah pidana asal (korupsi) dalam kasus pencucian uang yang ditangani KPK harus dibuktikan barulah hasil kejahatannya dapat dijerat pencucian uang. Rezim anti-pencucian uang di Indonesia dan di banyak negara dunia tidaklah demikian. Pasal 77 UU No 8 Tahun 2010, misalnya, meletakkan kewajiban pembuktian kekayaan bukan dari kejahatan pada terdakwa. Hal ini adalah bentuk murni dari prinsip pembalikan beban pembuktian khusus terhadap asal-usul harta kekayaan. Memang, untuk pemenuhan unsur pasal pidana, jaksa penuntut tetap harus membuktikan unsur-unsur lain. Artinya, perdebatan apakah pembuktian terbalik ini melanggar prinsip-prinsip HAM tidak relevan.
Salah satu pijakan penting dalam pemidanaan harta kekayaan ini adalah kewajaran kekayaan pejabat publik dibandingkan penghasilan yang sah. Sejumlah aturan hukum seperti Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Tahun 1958 sebenarnya pernah mengatur proses hukum terhadap kepemilikan harta benda dari korupsi. Kemudian, pasca-Reformasi kita memiliki UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Salah satu indikator bersih adalah kewajaran kekayaan pejabat negara yang wajib dilaporkan dan kemudian diverifikasi Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Dengan kata lain, kecurigaan awal penegak hukum terhadap pejabat negara yang memiliki kekayaan melimpah, apalagi sebagian besar tidak dilaporkan resmi di LHKPN, penting dirawat. Merujuk putusan kasasi kasus Bahasyim di MA, kesenjangan LHKPN dengan kekayaan yang kemudian ditemukan penyidik menjadi satu bagian pembuktian yang penting.
Selain itu, KPK tentu patut mempertimbangkan serius melapis sejumlah pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang tak hanya terkait kasus simulator, tetapi juga dapat menggunakan Pasal 12B tentang gratifikasi yang dianggap suap. Selain tak pernah dilaporkan kepada KPK—padahal pelaporan merupakan kewajiban penyelenggara negara, ketentuan Pasal 12B ini juga menganut prinsip pembuktian terbalik untuk gratifikasi di atas Rp 10 juta.
Tentu kita berharap kombinasi penerapan UU Anti Korupsi dan UU Pencucian Uang dapat menjadi standar yang berlaku untuk semua kasus yang ditangani KPK. Demikian juga upaya membongkar skandal ”rekening gendut” 23 perwira Polri ataupun 2.000 transaksi keuangan mencurigakan di Badan Anggaran DPR. Sudah saatnya KPK membidik kekayaan haram para koruptor dan memiskinkan mereka melalui proses hukum.  ●