Jumat, 29 Maret 2013

Dialog Umat di Ruang Tamu Ibrahim


Dialog Umat di Ruang Tamu Ibrahim
Sumiati Anastasia ;  Alumnus Program Master University of Birmingham
untuk Relasi Islam-Kristen
JAWA POS, 29 Maret 2013


KETIKA umat kristiani memasuki satu pekan sebelum Paskah, saya tengah menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci. Saat berada di Topshop, salah satu toko di Kota Makkah yang jaraknya hanya 100 meter dari Kakbah, saya bertemu peziarah dari Mesir bernama Maryam yang bertanya tentang Nurcholish Madjid. Padahal, mungkin saja sebagian besar di antara kita sudah melupakan dia. Setelah menjawab, saya bertanya kepada Maryam soal Naguib Mahfouz. 

Setelah perbincangan mengesankan itu, saya berpikir sesungguhnya kita bisa belajar dari dua pemikir besar itu guna membangun relasi harmonis antarumat beragama, khususnya antara umat Islam dan Kristen, di negeri kita yang besar dan majemuk.

Naguib Mahfouz wafat di Kairo, 30 Agustus 2006, dalam usia 95 tahun. Dia dikenal sebagai "raja" novelis Arab modern dengan 50 novelnya. Dialah satu-satunya sastrawan Arab yang pernah mendapat Hadiah Nobel (1988). 

Salah satu karyanya adalah Awlâd Hârâtinâ (Anak-Anak Kampung Kami). Novel ini memang salah satu masterpiece sastrawan kelahiran 11 Desember 1911 itu. Novel tersebut menjadi titik singgung tiga agama Samawi, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Isinya sejarah manusia dan sejarah para "nabi" dengan setting Kota Kairo. Para "nabi" dalam novel ini tampak dalam tokoh Adham (Adam), Jabal (Musa), Rifa'a (Yesus), dan Qosim (Muhammad).

Dalam banyak kesempatan, Qasim (Muhammad) kerap dikaitkan dengan Rifa'a. Dengan begitu, kita di sini melihat bagaimana seharusnya Islam-Kristen saling berhubungan. Misalnya dalam dialog dengan Yahya, Qasim bertanya, "Bagaimana orang bisa hidup tanpa terlekat pada harta benda?" Yahya menjawab, "Dengan cara hidup seperti Rifa'a". Lagi, ketika ada yang bertanya bahwa "tanpa kekerasan tidak mungkin ada keadilan", Rifa'a menjawab, "Kenyataannya bahwa lingkungan kita memerlukan belas kasihan".

Mahfouz sebenarnya mencoba mempertemukan para pembacanya yang Yahudi, Kristen, dan Islam untuk membuka hati dan pikirannya sehingga akan lahir sikap saling mengerti dan saling menghargai. Sebab, dunia membutuhkan banyak hal yang baik dari penganut tiga agama itu guna mengatasi berbagai krisis seperti kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan hidup.

Cak Nur wafat 29 Agustus 2005. Jadi, tepat sehari setelah genap setahun Cak Nur wafat pada 29/8/2006, Mahfouz wafat. Seperti kita tahu, Cak Nur memiliki pandangan yang sangat inklusif sebagaimana Mahfouz. 

Secara khusus, pemikiran Cak Nur yang paling mengesankan adalah menyangkut "Islam anonim". Menurut Cak Nur, dari perspektif Alquran par excellence, makna islam (dengan i kecil) secara generik adalah "sikap penyerahan diri" kepada Allah (totally surrender unto God). Dalam pengertian itu, islam (dengan awal huruf kecil) dan bukan Islam dalam makna organized religion (Islam dengan I besar) adalah sumber ide universalisme. Makna "islam" sebagai sikap pasrah ini merupakan ide yang mempersatukan semua manusia dari beragam agama. 

Pemikiran Cak Nur seperti itu jauh sebelumnya diungkapkan Karl Rahner, teolog Katolik yang menegaskan bahwa Allah juga hendak menyelamatkan pengikut agama-agama lain (di luar Katolik) sebagai "orang-orang Kristen anonim". Jadi, siapa pun, jika di dalam hidupya mengamalkan apa yang diperintahkan Allah, layak disebut sebagai Kristen anonim meskipun dalam kenyataannya orang tersebut nonkristiani.

Mengingat pemikiran yang sedemikian inklusif dan apresiatif itu, jelas Mahfouz atau Cak Nur merupakan sosok pelopor dialog. Dialog jelas tidak berarti bermaksud hendak menyamakan akidah, tetapi sebuah cara membangun rasa hormat serta memandang perbedaan dan keyakian pihak lain dengan penuh empati. Dengan demikian, lepas dari segala perbedaan, umat yang berbeda agama -katakanlah Islam-Kristen- justru semakin didekatkan. 

Apalagi umat Kristen, Islam (bersama Yahudi) sebenarnya mewarisi satu warisan iman yang sama dari Abraham atau Ibrahim sehingga tiga agama itu sering disebut sebagai "Abrahamaic Religions". Umat tiga agama tersebut, ibaratnya, mendiami satu rumah besar Nabi Ibrahim dengan tiga kamar besar yang dihuni oleh "anak-anaknya" yang Yahudi, Kristen, dan Islam. 

Karena itu, guna menumbuhkan saling pengertian, "anak-anak Nabi Ibrahim", khususnya Kristen dan Islam, di tanah air seharusnya suka keluar dari kamar masing-masing dan duduk di ruang tamu rumah Nabi Ibrahim. Ketika berada di kamar masing-masing, tentu setiap aturan hidup dalam kamar itu harus dipatuhi. Namun, ketika berada di ruang tamu di rumah Ibrahim itulah, kesempatan bagi kita untuk menjalin dialog dan saling pengertian. Dengan begitu, segala prasangka buruk bisa disingkirkan dan tercipta harmoni.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar