Selasa, 26 Maret 2013

Gerakan Konstitusionalisme di Indonesia


Gerakan Konstitusionalisme di Indonesia
Frans H Winarta  ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional (KHN), dan Ketua Umum Persatuan Advokat Indonesia (Peradin)
KORAN SINDO, 26 Maret 2013

  
Gerakan konstitusionalisme (constitutionalism) didefinisikan sebagai suatu sistem terlembagakan yang menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintah. 

Ide gerakan konstitusionalisme ini di Indonesia dirasakan lemah yang berakibat pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau kekuasaan yang berlebihan (excessive power), baik itu dilakukan oleh lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Konstitusionalisme itu sendiri merupakan abstraksi lebih tinggi dari “rule of law” (rechtsstaat), yang maksudnya kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi dan dipagari hukum agar tidak sewenang-wenang dan berlebihan. 

Seperti ditulis oleh Eric Barendt tentang pernyataan Montesquieu mengenai konstitusionalisme: “is a belief in the imposition on government by means of a constitution.” Sebagai negara hukum (rechtsstaat) yang dijamin dalam UUD 1945, golongan menengah Indonesia, politisi, aktivis, cendekiawan, akademisi, pengusaha, dan profesional Indonesia seharusnya menggandrungi gerakan konstitusionalisme, sehingga pelanggaran-pelanggaran terhadap UUD 1945 tidak separah sekarang ini. 

Para elite di Indonesia termasuk politisi, pejabat pemerintahan, dan DPR, terjebak dalam sentimen materialisme, ekonomi pasar, dan perdagangan bebas yang tujuannya bukan memberantas kemiskinan, melainkan malah menimbulkan kerentanan dan ketidakmerataan ekonomi (economic insecurity and inequality). Globalisasi dan/atau pertumbuhan ekonomi yang diharapkan kelak pada waktunya akan menetes ke bawah (trickle down effect) ternyata hanya ilusi belaka. 

Perusahaan multinasional yang diberi kebebasan dalam era globalisasi hanya mengejar keuntungan dan pertumbuhan ekonomi dan tidak peduli terhadap kemiskinan yang melanda 80% penduduk di negara berkembang, yang ditandai dengan pendapatan dan pendidikan yang rendah serta angka pengangguran yang sangat tinggi. Hal ini merupakan suatu keadaan yang sangat menyakitkan dan menyedihkan. Hanya India dan China yang berani melawan globalisasi. Mereka mengalami perbaikan ekonomi dengan perlahan tetapi pasti dalam mengurangi jumlah kemiskinan dan menata ekonominya tanpa bantuan IMF dan World Bank. 

Tatanan ekonomi kita bila mengacu pada konstitusi, khususnya Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Namun, semangat kebersamaan dan ekonomi kekeluargaan tidak tercermin dalam perekonomian Indonesia saat ini, apalagi semangat kemakmuran sebagai salah satu syarat negara sejahtera (welfare state). 

Gerakan Konstitusionalisme 

Dalam paham seorang yuris Prancis Montesquieu, jika kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif yang sedang berkuasa dikhawatirkan menjelma menjadi tirani, kekuasaan yudikatif harus independen dari kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif yang berwenang membuat hukum. 

Dalam hal ini, khususnya bebas dan imparsial dalam membuat putusan sebagai pembatasan terhadap kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif yang membuat hukum dan peraturan yang represif. Keselarasan (compatibility) undang-undang terhadap konstitusi ini harus selalu dijaga oleh kekuasaan yudikatif. Di sinilah letak pentingnya pembagian kekuasaan (separation of power) yang dikemukakan Montesquieu dalam bukunya yang berjudul: “L’Esprit des Lois”. 

Menurut Montesquieu konstitusi mempunyai dua arti, yaitu: “The first, the constitution of a state is the written document or text which outlines the powers of its parliament, government, courts, and other important national institutions…. Secondly, constitutions are drawn up to establish the fundamental principles of a new system of government subsequent to a revolution. That was the case with the first French Constitution of 1791.
Jadi, dokumen konstitusi ini memuat garis besar kekuasaan parlemen, pemerintah, lembaga peradilan, dan lembagalembaga negara lain yang dianggap penting. Juga dijamin hak-hak dasar individu seperti kebebasan mengemukakan pendapat atau bicara dan hak untuk diadili secara adil. Perlindungan hak dasar individu bertujuan membatasi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang cenderung otoriter atau semena-mena. 

Selanjutnya, konstitusi dimaksudkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dasar dari suatu pemerintahan hasil dari suatu revolusi. Itulah ide konstitusi pertama Prancis pada tahun 1791. Perlindungan hak dasar individu, diadili oleh pengadilan yang adil (fair) serta perlindungan atas kesewenangan merupakan sesuatu yang mahal dan langka di Indonesia. Tatanan ekonomi yang tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan persoalan utama bagaimana tatanan ekonomi kita ke depan harus ditata atau dikelola. 

Janji Globalisasi 

Apa yang dijanjikan globalisasi yang menekankan pada ekonomi pasar, perdagangan bebas, dan pertumbuhan ekonomi tidak banyak bermanfaat bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lain. Pemikiran mencabut subsidi dan membuka pasar bagi negaranegara anggota WTO tidak membawa hasil sebagaimana janji semula. Kemakmuran segelintir manusia Indonesia, kebanyakan pengusaha dan pejabat, tidak menetes ke bawah (trickle down effect) seperti yang dijanjikan semula dalam globalisasi, ekonomi pasar, dan perdagangan bebas. 

Ketika negara-negara berkembang dianjurkan mencabut subsidi yang diberikan kepada industri yang baru tumbuh, negaranegara maju justru melindungi para petaninya dengan memberikan subsidi yang besar, menurunkan harga alat-alat pertanian, sehingga hal tersebut merongrong standar kehidupan di negara berkembang.

Perusahaan-perusahaan multinasional begitu rakusnya, sampai menganjurkan bayi untuk tidak minum air susu ibu (ASI) agar produk susu kaleng buatan perusahaan mereka laris, perusahaan farmasi menyewa lobbyistuntuk memengaruhi dan menyuap pejabat atau pemerintahan negara-negara berkembang agar produknya laris, dan rokok yang pemasarannya dibatasi di negara-negara maju malah diiklankan dengan gencar di negara-negara berkembang. 

Pertanyaannya sekarang adalah apa tatanan ekonomi dan sosial seperti inilah yang dicita-citakan dan dijamin UUD 1945? Tentu tidak, tetapi apa daya kita memperbaiki keadaan seperti ini. Tidak lain gerakan konstitusionalisme harus ditingkatkan agar semua peraturan perundang-undangan selaras (compatible) dengan UUD 1945 dan putusan-putusan pengadilan harus mengacu pada konstitusi dan hak dasar (hak asasi manusia). 

Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundangundangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatnya berada di bawah Undang- Undang Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan- peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tersebut. 

Atas dasar logika demikian itulah, Mahkamah Agung Amerika Serikat menganggap dirinya memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial review) terhadap materi konstitusi, meskipun konstitusi Amerika Serikat tidak secara eksplisit memberikan kewenangan demikian kepada Mahkamah Agung. 

Hakim Agung John Marshall dalam kasus Marbury v. Madison (1803) di Amerika Serikat menyatakan bahwa segala undang-undang buatan kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai ‘the supreme law of the land’ harus dinyatakan batal demi hukum (null and void). 

“Thus, the particular phraseology of the constitution of the USA confirms and strengthens the principle, supposed to be essential to all written constitution, that a law repugnant to the constitution is void; and that courts, as well as other departments, are bound by that instrument.” 
Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangan bagi gerakan konstitusionalisme di Indonesia di mana UUD 1945 dijadikan hukum paling tinggi dan fundamental (grund norm).  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar