Jumat, 29 Maret 2013

Ironi Negeri Agraris


Ironi Negeri Agraris
Soen’an Hadi Purnomo ;  Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, Anggota Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia
REPUBLIKA, 28 Maret 2013


Pertengahan Februari yang lalu para pedagang warung tenda mengeluh adanya kenaikan harga. Tomat yang semula Rp 4 ribu per kg, naik menjadi Rp 15 ribu per kg. Cabai yang biasanya Rp 10 ribu per kg, melonjak menjadi Rp 30 ribu per kg, dan sebagainya. Kondisi demikian bisa terjadi karena banyak komoditas yang masih bergantung pada impor. 

Dari aspek sosial budaya, mungkin saja masyarakat kita telah termanjakan oleh alam, kurang memiliki etos kerja keras, dan minim tantangan. Sedangkan, masyarakat di belahan bumi yang lain didera oleh musim gugur dan musim dingin yang tidak mungkin bercocok tanam, serta perlu menghangatkan tubuh melawan kebekuan alam. 

Semula masyarakat banyak yang menduga bahwa kenaikan harga produk hortikultura adalah disebabkan oleh tingginya curah hujan sehingga gagal panen. Belakangan muncul bukti bahwa ada tambahan penyebab persoalan, yakni adanya penjahat perdagangan yang memanfaatkan untuk memperoleh keuntungan dalam kesempitan dengan cara menyengsarakan rakyat.

Akan tetapi, apabila diperhatikan dengan lebih mendalam, akar permasalahan dan solusi kerumitan agribisnis dan agroindustri ini ada enam macam.
Permasalahan pertama memang faktor musim. Pada umumnya, petani menggarap sawah tergantung pada kondisi musim hujan atau musim kemarau. Untuk memecahkan masalah ini ada dua alternatif, yakni membuat sistem penyangga yang baik sehingga bisa mengendalikan kondisi pasar, permintaan dan suplai, atau jalan keluar yang kedua, yaitu pengaturan impor produk untuk memenuhi kebutuhan. Untuk yang belakangan ini tentu memiliki risiko ketergantungan kepada negara lain dan sistem perdagangan.

Kedua, adalah kondisi petani yang kebanyakan memiliki modal terbatas, sehingga harus berpikir keras saat mau membeli benih, pupuk, atau pestisida. Apabila diperkirakan modal ber tanam terlalu tinggi dibanding dengan perolehan uang saat panen, para petani memilih untuk tidak bercocok tanam pada musim tersebut. Solusi permasalahan keterbatasan modal ini adalah disediakannya lembaga keuangan khusus yang berbunga rendah. Bisa berupa koperasi antarpetani atau kebijakan khusus perbankan yang berpihak kepada usaha tani.

Permasalahan ketiga adalah kepemi likan lahan yang sangat sempit. Berkurangnya lahan agraris ini mendapat ancaman pula dari maraknya alih guna (konversi) lahan pertanian. Negeri kita belum melindungi lahan pertanian sebagaimana yang sudah dilakukan di Jepang, Korea, Cina, dan sebagainya. Sistem warisan dan tata guna lahan pertanian harus diadakan reformasi.

Permasalahan yang keempat adalah penguasaan teknologi para petani yang masih lemah. Untuk memecahkan masalah ini, penyuluhan, pelatihan, dan pemagangan bagi petani harus dilakukan secara serius, sistematis, dan tepat sasaran. Di samping itu, penelitian sebaiknya fokus pada permasalahan yang perlu diperoleh solusinya, tepat materi, dan tepat teknologi.

Permasalahan yang kelima adalah kondisi geografis negeri kepulauan yang penuh gunung dan lembah sehingga bisa menyebabkan biaya transportasi dan distribusi menjadi lebih mahal. Pola mendekatkan area produksi dengan kawasan pasar suatu komoditas menjadi sangat penting. 

Permasalahan tersebut menjadi lebih berat apabila ditambah dengan permasalahan yang keenam, yakni iklim usaha yang buruk. Beberapa kali kita dengar keluhan bahwa biaya angkut dari wilayah tengah dan timur Indonesia ke Jakarta lebih mahal bila dibandingkan dengan mengirim produk ke Shanghai atau ke Jepang. Tingginya biaya transportasi tersebut termasuk biaya bongkar muat dan pungutan-pungutan yang tidak murah. 

Integritas Paradigma

Melihat kompleksitas permasalahan agribisnis dan agroindustri tersebut ter- nyata tidak cukup dengan penyelesaian jangka pendek, misalnya menindak kartel perdagangan yang nakal saja. Memang hal itu sangat penting untuk ditindak tegas, tapi tidak kalah pentingnya adalah memetakan permasalahan dan solusi jangka panjang dan jangka pendek yang terkait dengan permasalahan kondisi alam, ekonomi, sosial, teknologi, politik, dan budaya.
Ada yang bersifat nasional, ada pula yang merupakan diagnosis dan terapi lokal. Dan, harus diwaspadai bahwa teori meningkatnya harga komoditas pangan, secara aksioma pasti petani diuntungkan, tidak selalu benar. Pada kenyataannya tidak selalu demikian. Seringkali harga yang diterima petani tetap saja rendah, tetapi yang beruntung besar justru para pedagang pengumpul yang bermodal raksasa.

Belajar dari keberhasilan negara dan bangsa lain dalam meraih kemajuan dan kesejahteraan memang harus dilakukan. Namun, realitas negeri kita yang agraris juga harus diperhatikan, sama halnya dengan kenyataan bahwa keunikan negeri kita adalah berupa kepulauan. Dengan demikian, maka visi, misi, strategi, kebijakan, dan kegiatan yang diimplementasikan harus ada keberpihakan kepada usaha tani, kelautan, para petani, dan nelayan. Integritas terhadap paradigma negeri agraris dan negeri kepulauan harus teguh dimiliki dan konsisten dilaksanakan. Dan, kita berharap perhatian pada kenyataan utama negeri dan bangsa ini tidak hanya saat ada permasalahan, setelah lewat dilupakan lagi.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar