Rabu, 27 Maret 2013

Isu Kudeta Dinasti Cikeas


Isu Kudeta Dinasti Cikeas
Ismatillah A Nu’ad  ;  Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MERDEKA, 27 Maret 2013
  

ISU kudeta terhadap Presiden SBY muncul ke permukaan, dan justru diembuskan sendiri olehnya dalam beberapa kesempatan. Ditengarai sejumlah elite dan purnawirawan tengah melancarkan gerakan bawah tanah yang berujung demonstrasi masif mahasiswa untuk menggulingkan kekuasaan presiden.

Bahkan terbakarnya kantor Sekretariat Negara pekan lalu ditengarai sebagai bagian dari skenario kudeta. Penyebabnya adalah elite, aktivis prodemokrasi, dan juga beberapa purnawirawan TNI jengah dengan penguasa yang dirasa jalan di tempat. Tak ada langkah signifikan misalnya, dibanding kepemimpinan DKI-1 alias Jokowi, yang gebrakan dan kehadirannya sangat dirasakan publik.  

Alasan lain karena Partai Demokrat tengah bermain skenario, lepas dari kemunduran Anas Urbaningrum sebagai ketua umum setelah berstatus tersangka kasus korupsi. Demokrat juga bakal menggelar munaslub, dan santer disebut-sebut para fungsionaris kuat menjadi penggerak dukungan atas pencalonan Ani Yudhoyono dalam bursa calon ketua umum, yang kemudian melangkah ke Pilpres 2014.

Ini bukan isapan jempol karena para elite Demokrat sudah berkomunikasi intensif dengan sejumlah pengurus DPD dan DPC. Ditambah pernyataan SBY bahwa ia tak pernah menggaransi seandainya ada anggota keluarganya masuk dalam pentas politik sebagai capres. Adalah Ruhut Sitompul yang kali pertama mewacanakan Ani sebagai capres.

Putra Terbaik

Berbekal hasil survei, Ruhut menyebut Ani memiliki peluang menjadi capres 2014 karena memiliki tingkat popularitas tinggi. Ruhut juga menyebut Puan Maharani, putri Megawati, layak mendampingi Ani. Formasi Ani-Puan disebutnya tak bisa disaingi oleh Aburizal Bakrie atau Prabowo sekalipun.
Seandainya Demokrat-PDIP mengusung formasi Ani-Puan berarti membunuh demokrasi. Usaha itu menjerumuskan demokrasi ke jurang dinasti politik, dan tidak sehat bagi proses pendewasaan dan pembelajaran demokrasi.  Sebaiknya dinasti politik Cikeas memberikan kesempatan pada putra-putri terbaik bangsa ini untuk memimpin Indonesia selepas pemerintahan SBY.

Dalam historiografi politik modern, dinasti politik banyak terjadi di belahan dunia. Sejarah mencatat bukan hanya negara berbasis kerajaan dan otoritarian yang memiliki dinasti politik. Negara dengan sistem suksesi kepemimpinan demokratis pun mengenal model itu.

Amerika Serikat misalnya, dinasti politik Kennedy, Bush, dan Clinton mewarnai perjalanan demokrasi. Di Filipina ada dinasti Marcos, Acquino, dan Arroyo, di India ada dinasti Gandhi dan Nehru, di Pakistan ada dinasti Bhutto, dan sebagainya. Dampak negatif dinasti politik yang paling sering kita dengar adalah nepotisme.

Praktik nepotisme ditunjukkan oleh penguasa Orba. Menjelang kememudaran kekuasaan, Pak Harto mempersiapkan Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut), namun Soeharto keburu dijatuhkan oleh kekuatan mahasiswa pada Mei 1998. Siasat rezim saat itu mengangkat Mbak Tutut menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Pem-bangunan VII, aktif di Golkar, dan seterusnya.

Praktik nepotisme yang berkembang dan menjadi hegemoni bermuara pada praktik korupsi dan bentuk konspirasi lain yang berujung pada penumpukan kekuasaan. Nepotisme dengan sendirinya menutup ruang kekuasaan rakyat yang punya hak dipilih dan memilih dalam sistem demokrasi. Waktu itu demokrasi bisa dikatakan mati suri berganti sistem kekuasaan aristokrasi mengingat calon penguasa sudah ditentukan oleh penguasa sebelumnya.

Walaupun antara nepotisme dan politik dinasti terdapat kesamaan dalam menyandarkan kekuasaan, 
keduanya punya proses dan kemungkinan efek yang berbeda.

Pengangkatan

Dalam nepotisme, kekuasaan diperoleh melalui pengangkatan (ditunjuk) oleh penguasa dengan tujuan 
menancapkan hegemoni sehingga mempermudah negosiasi dan berbagai rencana politik.
Adapun dalam politik dinasti, proses mencapai kekuasaan tetap mengikuti mekanisme demokrasi melalui sistem partai yang secara internal mempunyai rule of the game. Akan tetapi, politik dinasti memiliki potensi besar menjadi nepotisme kekuasaan bila mampu mencapai hegemoni.

Politik dinasti mengandaikan kepemimpinan berada pada tangan segelintir orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan. Dinasti politik di-tandai dengan tersebarnya jejaring kekuasaan melalui trah politik pendahulu dengan cara pe-nunjukan anak, istri, paman, dan sejenisnya, guna menduduki pos-pos strategis dalam partai (lembaga) politik. Biasanya ini adalah cara agar sanak famili bisa dengan mudah meraih jabatan publik.

Dalam praktik kenegaraan kondisi ini membuat negara menjadi kaku dan otoriter sebab arah pemerintahan hanya bertumpu pada kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Di sisi lain politik dinasti makin menjadi ancaman manakala seseorang yang menerima mandat kekuasaan dari keluarganya ternyata tidak mempunyai kompetensi memadai.

Perlu menyadari bahwa pada masa mendatang untuk bisa menjadi pemimpin nasional tentu butuh persyaratan lebih berat, tidak bisa hanya mengandalkan ketokohan dan dinasti politik.

Dalam sejarah republik ini, pendiri bangsa yang egaliter membuang cara pandang feodal yang membuat elite dan keluarga kaya-penguasa memandang diri dan keluarga mereka sebagai makhluk istimewa yang berbeda derajatnya dari kebanyakan rakyat.  Intinya, sejauh kita masih bermaksud meneruskan republik warisan para pendiri bangsa, kita belum dapat menerima politik dinasti.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar