Kamis, 28 Maret 2013

Jatuh Bangun Demokrasi RI


Jatuh Bangun Demokrasi RI
Sumasno Hadi ;  Pengajar pada Prodi Pendidikan Sendratasik, FKIP,
Universitas Lambung Mangkurat
SUARA KARYA, 27 Maret 2013


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang didirikan oleh para pendiri bangsa tidaklah untuk menjadi negara gagal. Bahkan, pengalaman historis perjuangan bangsa dari prakemerdekaan hingga usaha mempertahankan kedaulatan negara justru merupakan usaha-usaha bangsa Indonesia sendiri untuk mempertahankannya, dari kegagalan negara.

Setiap zaman, sangat disadari, telah melahirkan problematika dan solusi yang berbeda dan khas. Satu hal yang tampak jelas adalah, bahwa rentang perjalanan bangsa Indonesia merupakan akumulasi problem kebangsaan yang semakin kompleks, plural, dan rumit. Dalam hal ini, lahirlah hukum sebagai instrumen terakhir untuk mengatur jalannya hidup berkebangsaan.

Sebagai negara hukum, bangsa Indonesia mengandaikan sebuah konsistensi pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sebagai instrumen negara untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dan, Pancasila sebagai dasar negara dan jantung konstitusi bangsa Indonesia, di dalamnya sebenarnya sudah tersirat penjelasan yang terang-benderang. Bahwa tujuan konstitusi negara tak lain adalah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Adalah kandungan Pancasila seperti nilai-nilai religiositas (ketuhanan), humanisme (kemanusiaan), persatuan, musyawarah (demokrasi), dan keadilan yang semestinya menjadi panduan utama dalam proses kehidupan bernegara. Namun, memasuki era reformasi dan demokrasi sekarang ini, nilai-nilai luhur Pancasila itu seakan cenderung dilupakan.

Mengenai nilai-nilai luhur ajaran Pancasila, dahulu Bung Karno malah pernah memerasnya menjadi satu nilai pokok. Nilai pokok itu adalah gotong-royong. Prinsip gotong-royong ini tentunya memiliki pengertian yang dapat diperluas dan dikembangkan secara kontekstual. Seperti halnya pada prinsip kebersamaan ataupun prinsip musyawarah untuk mencari kemufakatan, misalnya. Prinsip gotong-royong dari perasan lima sila Pancasila itulah yang menjadi prinsip dasar kita dalam berdemokrasi. Bukan malah berdemokrasi secara kebablasan seperti pada iklim demokrasi yang kita alami sekarang ini.

Gagap

Dalam jatuh bangunnya proses demokratisasi di Indonesia hingga saat ini, tampaknya nasib perjalanannya masih terseok-seok. Pilihan berdemokrasi, secara luas semenjak momentum reformasi 1998 menjadi tidak terarah dan menjadi serba salah.

Pada satu sisi, reformasi sebagai langkah awal berdemokrasi secara luas dan terbuka memang patut diapresiasi oleh seluruh elemen bangsa. Dan, angin segar kebebasan itulah yang kemudian akan membawa demokrasi ke tempat yang dilematis - di mana sebelumnya selama 32 tahun rezim Soeharto berkuasa - nasib demokrasi dan wujud kebebasan seperti terpenjara dalam ruang pengap otoritarian-sentralistik. Nuansa psikis bangsa saat transisi Orde Baru ke Reformasi, tampaknya diliputi semacam kegagapan atas kebebasan.

Namun, realitas kebangsaan kita kini, di mana demokrasi semakin hari malah semakin memperlihatkan ketidakjelasan arahnya, kemudian muncul muatan yang kontradiktif antara tujuan dan proses mencapaian gerakan reformasi. Demokrasi cenderung dijalankan dengan penerapan kebebasan yang berlebihan, tanpa parameter yang jelas. Akhirnya demokrasi seperti itu seperti semakin memuluskan proses bangsa ini menuju kemunduran dalam arti yang sebenarnya.

Problem kebangsaan seperti penerapan demokrasi yang kebablasan, memang seperti mengurai benang kusut di ruang gelap. Artinya, sungguhlah terlalu berat dan beragam daftar persolaan bangsa yang mesti diselesaikan. Namun, di tengah rasa pesimis itu, ternyata masih ada kekuatan besar dan optimisme masyarakat untuk sekedar berharap bangsa ini keluar dari sakit parah.

Masih banyak individu-individu yang terus bersikap optimis, dengan bekerja keras dan tak ikut larut oleh hiruk-pikuk dunia politik praktis yang semakin membingungkan. Masih banyak keluarga-keluarga tangguh dalam masyarakat kita yang terus berupaya meningkatkan taraf hidup mereka tanpa mengorbankan martabat serta harga diri demi materi dan kepentingan sesaat.

Dari sebagian kekuatan optimis yang tersisa itulah, yang wajib kita gunakan sebagai cermin refleksi diri. Ini penting agar kita tidak hanya berdiam diri atau pasrah tanpa usaha dan harapan di tengah kesemrawutan tatanan kehidupan bangsa ini. Masa depan anak-anak bangsa dan generasi penerus bangsa tidak boleh diserahkan pada keadaan saja, atau kita melarikan diri dari persoalan yang belum tuntas ini. Dan, demokrasi itu memanglah hanya alat saja. Ia seperti pesawat terbang, bisa melayang di awan, juga bisa jatuh ke jurang.

Maka, untuk membangun demokrasi yang bermanfaat bagi bangsa ini diperlukan 'pilot' yang memang berkompeten. Jangan malah, misalnya, atlet sepak bola dijadikan pilot. Runyam jadinya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar