Rabu, 27 Maret 2013

Kesehatan & Daya Tarik Bisnis


Kesehatan & Daya Tarik Bisnis
Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 27 Maret 2013

  
Selama berpuluh-puluh tahun sejak Indonesia merdeka, negeri ini lebih dikenal orang sebagai negara berkembang yang butuh perbaikan sana sini. 

Karena masyarakatnya belum sejahtera, belum sehat, belum cukup berpendidikan, dan belum dianggap punya akses pada standar kehidupan yang layak dan mutakhir. Indonesia kerap membanggakan diri sebagai “suara dari negara berkembang” dan “salah satu model terbaik dari negara berkembang”. Perlahan status “berkembang” itu berkurang faedahnya. Tepatnya setelah China didaulat “bangkit”, India dianggap mengikuti dan dibicarakan era baru dalam tata kelola ekonomi politik global. 

Sejumlah pengamat mengklaim bahwa sekarang adalah saat bagi Asia untuk menentukan arah percaturan ekonomi politik global. Lebih tegas lagi, sejumlah pengamat di Amerika Serikat (AS) menegur Asia karena segan dan malu-malu mengambil kemudi tatanan keamanan global. Suka ataupun tidak, siapa pun yang pertumbuhan ekonominya masih positif di era ekonomi global yang melamban, termasuk Indonesia, diminta untuk ambil tanggung jawab dalam mendorong perekonomian dunia. 

Cara pikir tadi harus kita ingat betul dalam menyikapi ragam proposal kerja sama dan forum penting yang digelar di Tanah Air sepanjang tahun 2013. Salah satunya yang nanti terjadi di bulan Oktober, yakni Pertemuan Tingkat Tinggi para pemimpin bisnis dan negara anggota APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation). Secara seremoni, pasti acara itu akan semarak gebyarnya, tapi apakah kita paham betul apa yang dicari para anggota APEC? Untuk itu saya sengaja menyoroti satu dimensi negeri ini yang sebenarnya merupakan daya tarik besar bagi banyak negara untuk ikut “heboh” di APEC. 

Dimensi itu adalah kesehatan. Negara-negara anggota APEC telah sepakat dalam pertemuan tahun lalu di St. Petersburg (Rusia) untuk meningkatkan investasi di sektor layanan kesehatan (health care). Rusia bahkan menyarankan Indonesia yang tahun ini mengetuai APEC agar agenda perbaikan layanan kesehatan menjadi fokus kepemimpinan di 2013. Arah yang dibidik adalah perbaikan layanan kesehatan untuk sepanjang tahapan hidup manusia (dari dalam kandungan sampai meninggal dunia), termasuk juga penanganan terhadap penyakit-penyakit tidak menular yang menurunkan kualitas hidup manusia. 

Perkembangan ini menarik karena biasanya isu kesehatan adalah urusan dalam negeri, dan setinggi-tingginya diangkat ke forum internasional maka biasanya masuk ke ranah pengembangan harkat hidup manusia. Artinya aspek dialognya biasanya sosial. Kali ini aspek dialognya ekonomi. Para pebisnis kelas kakap berkumpul untuk menelusuri perkembangan layanan kesehatan rakyat di Asia, termasuk di Indonesia. Artinya, peluang bisnis di sektor layanan kesehatan akan naik daun dengan pesat. Khusus untuk Indonesia, berikut indikatornya. 

Pertama, jumlah kelas menengah di Indonesia terus meningkat dengan percepatan yang cukup tinggi. Jumlah orang berduit serta jumlah orang-orang yang punya gaya hidup “belanja-belanjabelanja” terus bertambah. Bank Dunia mencatat jumlah orang dengan kemampuan belanja USD2–20 per hari ada sekitar 56% dari total penduduk, atau sekitar 134 juta jiwa. Pemerintah pernah mengeluarkan pernyataan populasi kelas menengah ini bertambah 8–9 juta per tahun. Sungguh angka yang fantastis. Ini ladang uang yang subur bagi pebisnis; hanya perlu dicari apa saja hal-hal yang bisa membangkitkan semangat konsumtif penduduk di Indonesia. 

Di satu sisi, gaya hidup gemar belanja umumnya muncul di negara-negara yang penduduknya banyak “orang kaya baru”. Penduduknya masih menikmati perasaan puas karena bisa membeli ini dan itu. Perhatikanlah di negara-negara yang sudah lama mapan perekonomiannya, justru masyarakatnya lebih senang berhemat. Di Finlandia, misalnya, meskipun hampir tiap penduduknya sanggup membeli mobil sekelas Mercedes-Benz atau Jaguar, mereka memilih kendaraan kecil yang hemat bahan bakar. Penampilan orang-orangnya pun hampir tak bisa dibedakan antara yang miliuner dan yang orang biasa. 

Mereka sangat khawatir akan kemungkinan krisis, apalagi jika ada kabar perekonomian global terganggu atau melambat. Sangat berbeda suasananya di Indonesia. Suasana krisis pun tak menyurutkan langkah orang untuk berbelanja; asalkan (tentu saja) marketing produknya tepat. Kedua, kelas menengah adalah kelompok orang-orang yang biasanya lebih terdidik dan hati-hati. Jangan salah artikan hati-hati dengan hemat ya, karena sikap hati-hati dapat berarti kemauan membeli produk apapun yang dianggap mencegah kemungkinan terburuk bagi diri atau keluarganya. 

Contohnya asuransi dan pemeriksaan kesehatan (check up). Meskipun dalam studi ilmu politik, kelas menengah kerap digambarkan sebagai pembangun solidaritas, solidaritas itu tidak muncul secara otomatis. Yang alamiah adalah sifat individualistis dari kelas menengah; mereka lebih peduli pada urusan keluarga dan dirinya, atau kepentingan kelompoknya. Mereka tak enggan mengekspresikan sikap pragmatis dalam pengambilan keputusan. 

Celakanya, ketika satu orang atau kelompok di kelas menengah mengekspresikan pragmatisme tertentu, dengan cepat tren itu menular kepada kelompok lain dan belum tentu untuk kemudian membangun kerja sama kolektif demi perbaikan bersama. Dengan demikian, kelas menengah adalah target pasar yang menggiurkan karena mereka dengan relatif mudah dapat “dibentuk” untuk menjadi agen pemasaran bagi kelompok dan produk tertentu. Kampanye tentang penyakit tertentu, perlunya asuransi, vitamin, check-up dini perlu disadari juga sebagai alat marketing. 

Siapa cepat, siapa canggih, siapa ampuh membangkitkan kesadaran (atau ketakutan), dan siapa punya jaringan, maka ia menang dalam persaingan ekonomi. Negara-negara APEC berburu kesempatan ini. Prinsip APEC untuk “menurunkan tarif dan hambatan serendah-rendahnya agar terjadi perdagangan bebas antarnegara anggota” adalah harga mati yang menjaga peluang berburu tadi. Ketiga, Indonesia sedang membenahi sistem jaminan sosial nasionalnya. 

Pemerintah didorong-dorong untuk meningkatkan komitmennya (oleh pemerhati, pelaku bisnis, donor, akademisi) untuk menambah anggaran agar bertambah pula jumlah orang miskin yang dibayarkan preminya lewat BPJS Kesehatan (yang nanti resmi berlaku 1 Januari 2014). Meskipun para pendorong tadi sebenarnya berbeda- beda motif, ujung-ujungnya pebisnis di sektor layanan kesehatan (termasuk rumah sakit, perusahaan obat, alatalat kesehatan, asuransi swasta dan para praktisi kesehatan) akan diuntungkan juga oleh kebijakan ini. 

Betapa tidak? Sistem jaminan sosial nasional akan menjamin layanan penyembuhan sampai tuntas untuk segala penyakit termasuk yang kronis. Artinya ada peluang bagi pengusaha yang membuka dan menambah tempat tidur di bangsal rumah sakit kelas III. Ada jaminan aliran dana bagi RS yang melayani hampir sepertiga penduduk Indonesia (yang notabene berpenghasilan di bawah garis kemiskinan). Sementara itu, sepertiga penduduk Indonesia yang lain adalah kelas menengah atas yang punya uang lebih untuk pilih-pilih asuransi tambahan agar mereka bisa naik kelasVIPdalamlayananjaminan kesehatan nasional. 

Maklum, dalam skema jamkes mendatang, standar upah tertinggi pun hanya akan mendapatkan kelas I. Singkat kata, kita harus sadar betul makin tinggi perekonomian kita berkibar, makin tinggi pula “angin pasar” yang meniup ke arah kita. Karena mekanisme pasarlah yang memberi napas kehidupan bagi dunia bisnis, maka kita harus pandai-pandai untuk peka pada arah pasar. Kita tak bisa lagi berteriak-teriak antipasar dan menyetop pasar dengan cara-cara kasar karena masyarakat kita sendiri pun sudah merupakan pengikut aliran pasar. 

Di sinilah pemerintah harus jeli melihat kesempatan untuk mengatur agar negara tetap bisa berkata “tidak!” demi menjaga pilar-pilar harkat martabat bangsa. Misalnya: ketika ribuan perusahaan mendekati para pejabat kita, apa mekanismenya agar tak terjadi praktik kolusi, korupsi dan monopoli? Ketika pasar layanan kesehatan kita buka pada pihak asing, apa jaminannya bahwa sistem jaminan sosial kita tidak tergerus oleh membubungnya biaya layanan kesehatan? 

Ketika negara menetapkan standar bantuan sosial per kapita, apakah ada mekanisme verifikasi layanan yang diberikan oleh RS, dokter dan perawat adalah sesuai standar etika dan prosedur profesional? Ada banyak pekerjaan rumah dan kita harus bergegas. Jangan takut, justru kita perlu lebih semangat menangani tantangan terbaru abad Asia ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar