Selasa, 26 Maret 2013

Kurikulum 2013, Momentum Memperbaiki Guru


Kurikulum 2013, Momentum Memperbaiki Guru
Sukemi ; Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Komunikasi Media
KORAN TEMPO, 25 Maret 2013

  
Laporan terbaru Bank Dunia tentang Education Public Expenditure Review (Tinjauan Belanja Publik di Sektor Pendidikan) menyatakan, anggaran fungsi pendidikan yang besarnya 20 persen dari APBN belum efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Salah satu sorotan yang disampaikan Mae Chu Cang, Spesialis Pendidikan Bank Dunia untuk Indonesia, adalah besarnya anggaran yang dikucurkan untuk membayar tunjangan guru belum berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan dan prestasi belajar siswa. Masalahnya, pemahaman guru atas subyek yang diajarkan amat minim.
Fakta Bank Dunia itu tidak bertolak belakang dengan hasil uji kompetensi awal (UKA) dan uji kompetensi guru (UKG) yang telah dilaksanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil UKA--ujian yang diperuntukkan bagi guru yang belum mendapatkan sertifikasi dan akan mengikuti pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG)--hasil rerata nilai nasional yang diperoleh hanya 42,25, meski ada guru yang memperoleh nilai 97. Hasil UKG pun--ujian bagi guru yang telah memperoleh sertifikasi--rerata nilainya tidak jauh berbeda, di angka 43,66, meski ada guru yang mendapat nilai di atas 90.
Terhadap hasil dan fakta itulah, tidak berlebihan jika berkembang di masyarakat terhadap kemampuan guru kita bisa berubah, ketika Kurikulum 2013 diimplementasikan? Tulisan berikut ini ingin memberikan pandangan, saatnya implementasi Kurikulum 2013 dijadikan momentum untuk memperbaiki kualitas guru. Apalagi diketahui, berkaitan dengan kesejahteraan (baca: tunjangan guru) dari tahun ke tahun terus meningkat.
Mendesain Pelatihan
Dalam kerangka implementasi Kurikulum 2013 memang telah didesain pelatihan guru, mulai tingkat pengawas, kepala sekolah, hingga guru kelas dan guru bidang studi. Pelatihannya dilakukan secara berjenjang dan dilanjutkan dengan pendampingan.
Model pelatihan seperti ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Harapannya, melalui pelatihan inilah kualitas guru bisa ditingkatkan, sekaligus layak untuk menjalankan Kurikulum 2013. Sehingga tujuan awal dilakukan perubahan kurikulum benar-benar bisa tercapai.
Pelatihan menjadi salah satu kata kunci untuk keberhasilan implementasi kurikulum, karena itu upaya mendesain bentuk pelatihan yang komprehensif harus dilakukan, bukan semata dalam bentuk ceramah dan workshop, tapi pendampingan seusai pelatihan juga menjadi hal yang harus dilakukan.
Melalui metodologi pendampingan inilah umpan balik dari hasil pelatihan bisa diperoleh, sekaligus bermanfaat bagi upaya perbaikan pelaksanaan pelatihan berikutnya. Sebab, disadari pelatihan untuk implementasi kurikulum ini memang tidak dilakukan secara menyeluruh, melainkan bertahap dan berjenjang.
Sebagaimana diprogramkan pemerintah bahwa, untuk tahun pelajaran 2013, pemberlakuan Kurikulum 2013 hanya pada 30 persen dari populasi SD di kelas satu dan empat, serta 100 persen di kelas satu untuk jenjang SMP, SMA, dan SMK. Ini maknanya, pelatihan akan dilakukan secara bertahap.
Pelatihan juga menjadi syarat mutlak dalam implementasi. Kenapa? Karena Kurikulum 2013 yang menekankan pada pendekatan saintifik sesungguhnya akan mengubah metodologi guru di dalam proses pembelajaran. Belum lagi jika bicara soal isi yang dalam kajian banyak yang terlalu berat, kurang dalam, dan berlebihan.
Semua itu memerlukan desain pelatihan yang lebih baik, terpadu, dan komprehensif. Pola pelatihan guru yang selama ini dilakukan harus diubah untuk memenuhi kebutuhan dalam implementasi kurikulum.
Bersamaan dengan pelatihan, harus pula dipikirkan untuk mengubah substansi dan sistem pendidikan guru di Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) yang sesuai dengan format Kurikulum 2013. Dukungan terhadap penyelenggaraan Pendidikan Profesi Guru (PPG) setamat mahasiswa di LPTK untuk memperoleh "SIM (Surat Izin Mengajar)" kiranya harus terus dikawal.
Empat Standar
Ada empat komponen atau standar yang melekat dalam kurikulum, meliputi standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses (metodologi), dan standar penilaian.
Karena itu, keliru jika ada pandangan yang berkembang di masyarakat bahwa sesungguhnya yang harus dibenahi adalah metodologi pembelajaran, bukan kurikulumnya. Padahal dipahami bersama bahwa metodologi atau standar proses ada di dalam kurikulum berbasis kompetensi. Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk kompetensi yang diharapkan.
Pada titik inilah, perubahan kurikulum harus dapat dijadikan momentum untuk meningkatkan kualitas guru. Guru yang tidak hanya cakap di dalam menyampaikan materi pembelajaran (metodologi), sehingga peserta didik paham dan mengerti, tapi juga guru yang mampu memberikan motivasi dan wawasan kepada siswa.
Di sinilah makna penting dari perubahan kurikulum itu, menurut Wakil Presiden Boediono, yang disiapkan untuk mencetak generasi 2045, generasi saat bangsa ini memasuki usia kemerdekaan 100 tahun.
Atas pertimbangan ke masa depan inilah, kenapa Kurikulum 2013 menekankan pada pendekatan-pendekatan saintifik, yang diharapkan akan mampu memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, mencakup tiga kompetensi: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Semua ini menuntut adanya perubahan pada diri guru.  Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar