Rabu, 27 Maret 2013

Melacak Siluman Cebongan (1356) - Ridlwan Dewoningrat


Melacak Siluman Cebongan
Ridlwan Dewoningrat  ;  Wartawan Jawa Pos,
Belajar di Pascasarjana Strategi Intelijen Universitas Indonesia
JAWA POS, 27 Maret 2013

  
SUDAH lebih dari 3 x 24 jam sejak penyerangan Lapas Cebongan, Sleman, (23/3) terjadi, belum ada gelagat titik terang. Memburu pasukan pembunuh itu ibarat mengejar kelompok ''siluman'' yang beraksi cepat, akurat, serta membuat gentar pemburunya juga. 

Memang, operasi tersebut tergolong rapi dan khas sebuah misi klandestin. Para penyerang ala ''ninja'' yang pakai cadar sebo itu amat minim meninggalkan jejak. 

Diduga, Polda DIJ sudah mencium gelagat adanya penyerangan. Minimal dari indikasi pemindahan yang serba tergesa-gesa. Awalnya, para korban yang tersangka pembunuh anggota TNI itu ditahan di Polres Sleman, lalu dipindah ke polda, lantas ke Cebongan, lapas di tengah sawah dan jauh dari permukiman. 

Jika polisi sudah membaca gelagat, mengapa tidak dititipkan ke Brimob? Bisa jadi, mereka menghindari bentrokan yang mirip di Ogan Komerin Ulu (OKU), Sumatera Selatan. 

Secara teoretis, para korban itu berada dalam kondisi yang amat mudah diserang. Situasinya mendukung karena sepi, minim saksi, dan peralatan pengamanan amat terbatas. Keempatnya dikumpulkan dalam satu sel pula. 

Lazimnya sebuah operasi klandestin, tentu ada titik 0 atau safe house sebelum ninja-ninja itu bergerak. Safe house tersebut pasti tak jauh-jauh dari lapas, akses ke jalan utama, dan aman dari kecurigaan warga. 

Juga, patut dicermati, senjata yang digunakan adalah AK-47 kaliber 7,62 mm nonorganik (tidak digunakan TNI-Polri) dan bisa diidentikkan (atau ditudingkan) dengan senjata gelap kelompok ''teroris''. 

Kawanan ninja tersebut bahkan menyiapkan surat bon seolah-olah dari Polda DIJ. Satu orang yang tak bercadar bilang ''dari polda'' kepada sipir. Asumsi awal adalah tidak ada sipir yang harus terluka. Ada unsur strategic suprise  yang diharapkan: pintu buka, tahanan diambil, eksekusi .Tapi, plan A gagal karena sipir melawan. Akibatnya, ada lima yang terluka dihantam popor (tidak semua saksi tewas kan? Mereka saksi yang bisa ditanyai).

Seusai eksekusi, ke mana mereka lari? Logika standar operasi klandestin adalah ke safe house kedua. Di sana, senjata dikumpulkan dan ''dihilangkan'' oleh tim sweeper logistik. Lalu, personel menghilang. 

Yang selanjutnya bertugas adalah tim distorsi info atau tim noise. Caranya, membuat informasi yang bias, tumpuk-tumpuk, dan rancu. Istilah Jawa-nya mbingungi. Target mereka terutama wartawan dan tim penyidik. Bisa via gadget (social media) atau mouth to mouth. Informasi palsu itu bahkan hingga kemarin masih menyebar di Jogja. Misalnya, isu akan adanya pembakaran kafe dan sweeping warga NTT. Itu khas operasi klandestin intelijen hitam yang disebut strategi mufas atau multiple false scenario.

Bagaimana mengungkap operasi tersebut? Kita urut dari disiplin reserse dulu, yakni olah tempat kejadian perkara (TKP). Olah TKP itu dibagi dua, secara fisik dan pemeriksaan saksi-saksi. CCTV memang rusak dan hilang. Tapi, data sekecil apa pun, bahkan yang kita anggap sepele, bisa sangat menentukan penyidikan.

Misalnya, bekas ban mobil, jenisnya apa. Jarak parkir dengan gerbang, bekas sepatu, bekas peluru, bekas popor, dan semacamnya. Belakangan, polda merilis bahwa pelaku menggunakan sepatu PDL atau khas pakaian dinas lapangan layaknya aparat keamanan.

Juga, periksa ponsel Kalapas Sukamto, siapa yang menelepon dia suruh siap-siap sekitar 15 menit sebelum diserang. Sipir-sipir yang dipopor juga harus diperiksa detail. Misalnya, dari mana mereka bisa menghitung jumlah penyerang 17 orang? Dalam kondisi gelap, cepat , dan tertekan mentalnya, jumlah itu harus diverifikasi. 

Lalu, apa bahasa dan logat penyerang, siapa yang nadanya mengomando. Suara komando orang terlatih jelas khas. Ciri fisik bisa juga berguna. Tinggi badan kira-kira, tegap, gemuk, kurus, atau apakah tingginya ''seragam''?

Bagaimana mereka bergerak? Sigap, tangkas, ragu-ragu, atau malah terpola layaknya sudah disimulasikan? Kelompok pro selalu bersimulasi serangan berkali-kali.

Analisis motif juga mahapenting. Mengapa empat preman tersebut dibunuh? Yang paling mungkin, soal balas dendam primitif. Atau sebab lain? Mungkinkah empat orang itu dikhawatirkan membuka ''sesuatu'' dan ada yang dirugikan jika disidang?

Lihat juga side motif seperti asumsi adanya pihak ketiga yang ingin memfitnah sebuah kesatuan, misalnya Kopassus yang jadi sasaran gunjingan. Tapi, kenapa? Ingat, almarhum Heru Santoso, selain anggota Kopassus, juga pernah menjadi anggota Denintel Kodam IV Diponegoro. Ada juga info, satuan lain punya masalah dengan geng NTT itu. Atau, gegeran antarpreman. Tapi, siapa yang melatih?

Olah TKP dan olah motif dibantu hal ketiga, yakni database intelijen. Namun, semua proses penyidikan itu harus diikat dengan satu hal. Yakni, kemauan atau good will aparat, baik polisi maupun penyidik militer, untuk mengusut kasus tersebut. 

1 komentar: