Sabtu, 30 Maret 2013

Memidana Kekayaan Koruptor


Memidana Kekayaan Koruptor
Febri Diansyah ;  Pegiat Antikorupsi; Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan    
KOMPAS, 30 Maret 2013

  
Saya teringat Hoegeng, mantan Kapolri era 1968-1972, yang dengan amarah pernah bicara, ”Memangnya gaji polisi bisa untuk bermewah-mewah?” Di sisi lain yang sangat kontras, puluhan aset yang diduga dimiliki Irjen Djoko Susilo disita KPK.
Menurut estimasi KPK, DS yang berstatus tersangka korupsi dan pencucian uang ini memiliki kekayaan Rp 100 miliar. Sementara laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) DS per 2010 ketika menjabat Kepala Korlantas Polri ”hanya” Rp 5,62 miliar.
Angka yang tidak wajar dan sederet aset yang telah disita itu tentu masih harus dibuktikan di pengadilan. Namun, butir menarik dari serangkaian tindakan hukum yang dilakukan KPK adalah ketika penyitaan mulai dilakukan sistematis setelah DS ditetapkan sebagai tersangka dugaan pencucian uang. Dengan demikian, DS menyandang sekaligus dua ”jabatan” tersangka, yakni tersangka korupsi dengan dasar UU No 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 dan UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang.
Pemiskinan Koruptor
Ini tentu bukan kasus pertama di KPK. Sebelumnya, politisi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, bahkan dijatuhi vonis enam tahun oleh hakim pengadilan tipikor. Wa Ode didakwa korupsi Rp 6,25 miliar dan dijerat dengan UU Pencucian Uang terkait transaksi senilai Rp 50 miliar di rekeningnya.
Dalam proses penyidikan di KPK, tercatat kasus Nazaruddin dan kasus suap daging sapi impor juga dikenakan UU Pencucian Uang. Polri dan kejaksaan bahkan lebih dahulu menerapkan jurus beleid antikorupsi dan pencucian uang ini. Sebut saja para petugas pajak Bahasyim Assifie dan Gayus HP Tambunan. Bahasyim bahkan ”hanya” dijerat korupsi Rp 1 miliar, tetapi pencucian uang senilai Rp 64 miliar. Di Mahkamah Agung, Bahasyim divonis 12 tahun penjara dan perampasan kekayaan.
Dengan kata lain, peristiwa hukum terhadap Djoko sesungguhnya punya dasar kuat. Yang menjadikan kasus ini menarik agaknya karena posisi Djoko sebagai salah satu perwira tinggi Polri yang biasanya nyaris tidak tersentuh hukum. Apalagi, kita ingat bagaimana resistannya Polri ketika KPK memulai penyidikan kasus ini dan menggeledah Korlantas Polri. Bahkan, ”penyerbuan” sempat terjadi terhadap Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK yang dianggap berperan signifikan dalam membongkar skandal ini.
Jika penanganan kasus ini berhasil, tidak berlebihan kita mengatakan bahwa upaya pemiskinan koruptor akan menemui titik terang. Selama ini, banyak pihak masih meragukan efektivitas pemenjaraan terhadap koruptor. Selain persoalan vonis yang amat rendah, diskon hukuman melalui remisi, dan pembebasan bersyarat, kekayaan koruptor yang masih lebih dari cukup sering kali membuat mereka tetap punya posisi sosial yang kuat. Karena itu, memidana kekayaan yang tidak wajar dibandingkan penghasilan sah adalah sebuah keniscayaan yang dibutuhkan.
Pemidanaan harta kekayaan juga tidak sepenuhnya isu baru. Di Amerika Serikat, penerapan pertama kali UU Anti Pencucian Uang bahkan memosisikan pemerintah melawan dana jutaan dollar yang tidak bertuan. Dengan terminologi illicit enrichment, United Nation Convention Against Corruption (UNCAC, 2003) telah merekomendasikan pemidanaan terhadap peningkatan kekayaan pejabat publik yang tidak wajar tanpa mampu membuktikan bahwa kekayaan diperoleh secara sah dan bukan dari tindak pidana. Bahkan, Inter American Convention Against Corruption sejak 1996 telah mengenal istilah yang sama dengan UNCAC.
Hal ini berarti apa yang dilakukan KPK terhadap Irjen Djoko bukankah sesuatu yang mengada-ada, bahkan menjadi standar internasional yang kuat dan diterima di sistem hukum puluhan negara. Meskipun Indonesia belum mengadopsi secara utuh Pasal 20 UNCAC tentang Illicit Enrichment tersebut, kombinasi UU Antikorupsi dan UU Pencucian Uang dapat digunakan.
Salah satu ketentuan yang dinilai cukup mumpuni adalah adanya kewajiban terdakwa untuk membuktikan kekayaannya bukan berasal dari korupsi, juga penegasan bahwa dalam proses hukum pencucian uang tak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Sebab, memang, pencucian uang adalah pidana yang terpisah. Dengan basis kekayaan yang diduga dari kejahatan, proses penempatan, penyembunyian, dan penggunaannya masuk dalam kualifikasi pencucian uang.
Asumsi Menyesatkan
Penegasan ini penting karena belakang mulai muncul asumsi hukum yang bisa menyesatkan, yaitu seolah-olah pidana asal (korupsi) dalam kasus pencucian uang yang ditangani KPK harus dibuktikan barulah hasil kejahatannya dapat dijerat pencucian uang. Rezim anti-pencucian uang di Indonesia dan di banyak negara dunia tidaklah demikian. Pasal 77 UU No 8 Tahun 2010, misalnya, meletakkan kewajiban pembuktian kekayaan bukan dari kejahatan pada terdakwa. Hal ini adalah bentuk murni dari prinsip pembalikan beban pembuktian khusus terhadap asal-usul harta kekayaan. Memang, untuk pemenuhan unsur pasal pidana, jaksa penuntut tetap harus membuktikan unsur-unsur lain. Artinya, perdebatan apakah pembuktian terbalik ini melanggar prinsip-prinsip HAM tidak relevan.
Salah satu pijakan penting dalam pemidanaan harta kekayaan ini adalah kewajaran kekayaan pejabat publik dibandingkan penghasilan yang sah. Sejumlah aturan hukum seperti Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Tahun 1958 sebenarnya pernah mengatur proses hukum terhadap kepemilikan harta benda dari korupsi. Kemudian, pasca-Reformasi kita memiliki UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN. Salah satu indikator bersih adalah kewajaran kekayaan pejabat negara yang wajib dilaporkan dan kemudian diverifikasi Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.
Dengan kata lain, kecurigaan awal penegak hukum terhadap pejabat negara yang memiliki kekayaan melimpah, apalagi sebagian besar tidak dilaporkan resmi di LHKPN, penting dirawat. Merujuk putusan kasasi kasus Bahasyim di MA, kesenjangan LHKPN dengan kekayaan yang kemudian ditemukan penyidik menjadi satu bagian pembuktian yang penting.
Selain itu, KPK tentu patut mempertimbangkan serius melapis sejumlah pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang tak hanya terkait kasus simulator, tetapi juga dapat menggunakan Pasal 12B tentang gratifikasi yang dianggap suap. Selain tak pernah dilaporkan kepada KPK—padahal pelaporan merupakan kewajiban penyelenggara negara, ketentuan Pasal 12B ini juga menganut prinsip pembuktian terbalik untuk gratifikasi di atas Rp 10 juta.
Tentu kita berharap kombinasi penerapan UU Anti Korupsi dan UU Pencucian Uang dapat menjadi standar yang berlaku untuk semua kasus yang ditangani KPK. Demikian juga upaya membongkar skandal ”rekening gendut” 23 perwira Polri ataupun 2.000 transaksi keuangan mencurigakan di Badan Anggaran DPR. Sudah saatnya KPK membidik kekayaan haram para koruptor dan memiskinkan mereka melalui proses hukum.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar