Jumat, 29 Maret 2013

Menata Ulang Zakat


Menata Ulang Zakat
Heru Susetyo ;  Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
REPUBLIKA, 28 Maret 2013


Pengelolaan zakat di Indonesia saat ini tengah berada di persimpangan jalan. Undang-Undang Pengelolaan Zakat No 23 Tahun 2011 sebagai penyempurnaan dari UU No 38 Tahun 1999 telah disahkan sejak Oktober 2011.  Karena secara formal dan material UU ini mempunyai sejumlah kelemahan dan berpotensi melahirkan diskriminasi bagi banyak pengelola zakat di Indonesia, sejumlah lembaga pengelola zakat non-negara dan individual mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) sejak Agustus 2012. 

Sidang demi sidang telah berlangsung di mahkamah yang berlokasi di Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, ini hingga berakhir pada awal November 2012. Namun, hingga kini putusan MK tentang UU ini belum juga lahir. Maka, tak pelak kondisi ini menimbulkan kegalauan. 

Pengelolaan zakat di Indonesia memang tidak sesederhana seperti di negeri- negeri yang menerapkan konstitusi Islam, seperti Arab Saudi, Pakistan, atau Iran, yang mengelola zakat secara tersentralisasi. Di Indonesia, pengelolaan zakat tidak semata-mata perbuatan muzaki mengeluarkan zakat dari hartanya yang telah mencapai nisab dan haulnya kepada para mustahik yang terdiri atas delapan asnaf. Namun, juga pada area, bagaimana pengelolaan zakat tersebut?  Apakah transparan dan profesional? Siapakah amilnya? Banyak lagi perta nyaan yang lain.

Sayangnya, segala idealisme tentang zakat tersebut tak banyak tecermin pada UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang yang dimaksudkan untuk menyempurnakan UU terdahulu ini memang bermaksud mengarahkan pengelolaan zakat kepada integrasi, profesionalisme, dan transparansi, namun pada saat yang sama, UU ini malah melahirkan ketidakadilan, diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, dan kriminalisasi baru.
Pada Pasal 5, 6, dan 7 Undang-Undang No 23 Tahun 2011 ini tergambar secara tegas semangat untuk melakukan sentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di lembaga bentukan pemerintah, yaitu Baznas. Sementara itu, peran lembaga pengelola zakat dari masyarakat (nonnegara) dipinggirkan dan disubordinasikan, seperti tercantum Pasal 17 dalam UU ini.

Data saat ini menunjukkan bahwa ada 18 lembaga amil zakat (LAZ) yang telah memperoleh izin menteri agama di Indonesia, dari sekitar 300 lembaga sejenis. Ketentuan harus berbentuk ormas adalah ahistoris dan mengingkari peran masyarakat sipil yang sejak tiga dekade terakhir secara gemilang telah membangkitkan zakat nasional dari ranah amal sosial ke ranah pemberdayaan pembangunan.

Langkah ini, antara lain, dipelopori oleh Yayasan Dana Sosial Al Falah (1987), Dompet Dhuafa Republika (1993), Rumah Zakat Indonesia (1998), dan Pos Keadilan Peduli Umat (1999). Seluruh LAZ perintis dan terbesar ini adalah tidak didirikan oleh ormas Islam dan tidak sekali-kali akan menjadi ormas apabila ketentuan tentang ormas yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam UU Ormas No 8 Tahun 1985 yang sudah kedaluwarsa dan mengandung semangat yang tidak 
demokratis dari Orde Baru. 

Sejarah nusantara juga menunjukkan bahwa dunia perzakatan telah hidup dan berkembang sebagai bagian da ri dinamika masyarakat. Bahkan, pengelolaan zakat di masyarakat nusantara secara tradisional adalah berusia jauh lebih tua dari negara RI sendiri yang lahir pada 1945.

Sekian lama Republik Indonesia tidak pernah hadir dalam urusan zakat, namun zakat (termasuk infak, sedekah, dan juga wakaf) tetap hidup dan berkembang di masyarakat. Masyarakat Muslim menyadari bahwa zakat adalah rukun Islam yang wajib ditunaikan bagi yang mampu. 

Permasalahan berikutnya, Undang- Undang Pengelolaan Zakat ini juga berpotensi melahirkan kriminalisasi. Pasal 38 jo 41 menyebut secara tersurat bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang, perbuatan itu diancam pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 50 juta (lima puluh juta rupiah). 

Maka, para amil tradisional nonnegara yang selama ini telah aktif mengelola zakat, apakah di masjid, mushala, pesantren, madrasah, yayasan-yayasan, hingga perkantoran, terancam dipidana apabila mereka bertindak selaku amil tanpa izin pejabat yang berwenang. Akan berapa banyak amil tradisional yang dikurung dan seberapa banyak kurungan yang dibutuhkan seluruh Indonesia?
Jumlah amil tradisional amatlah banyak. 

Undang-undang ini jelas bermaksud baik, yakni ingin menata dan mengintegrasikan pengelolaan zakat. Namun, sayangnya maksud baik ini tercoreng proses formal pembentukan UU itu yang kurang partisipatif dan kurang mengakomodasi suara masyarakat sipil. Maksud baik juga tercoreng oleh aspek material dan substansinya yang malah berpotensi melahirkan ketidakadilan, diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, dan kriminalisasi.

Zakat memang ibadah individual, namun juga punya fungsi sosial untuk tegaknya keadilan ekonomi. Zakat harus menjadi semacam jaminan sosial bagi para penerimanya sehingga kehidupannya lebih berdaya dan suatu waktu mereka dapat bertransformasi menjadi pemberi zakat (muzaki). Mereka yang lemah diberdayakan dan kemiskinan dientaskan melalui zakat.

Tujuan mulia tersebut di atas tentunya memang memerlukan pengelolaan zakat yang serius dan profesional. Negara dan masyarakat harus sama-sama berperan penuh dan bertanggung jawab bersama untuk mengelola zakat. Undang-undang zakat yang solid, integratif, dan komprehensif menjadi prasyarat utama dalam praktik zakat yang sinergis ini. 

Semoga saja Mahkamah Konstitusi RI segera melahirkan putusan terhadap uji materiil UU Zakat Tahun 2011 ini. Sehingga, tercipta kepastian hukum dan kejelasan langkah yang harus diambil semua pemangku kepentingan dalam pengelolaan zakat di Indonesia, baik negara (pemerintah) maupun masyarakat.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar