Sabtu, 30 Maret 2013

Mengenang Balai Pustaka


Mengenang Balai Pustaka
Bandung Mawardi  ;  Pengelola Jagat Abjad Solo       
KORAN TEMPO, 30 Maret 2013



Di ujung tahun 1971, Nur Sutan Iskandar mengenang Balai Pustaka. Pengarang tua ini memiliki memori panjang tentang Balai Pustaka, sejak 1919. Semula, Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru di Palembang dan Padang. Lakon hidup berubah oleh sepucuk surat Sutan Mohamad Zein dari Jakarta. Isi surat menganjurkan Nur Sutan Iskandar berhenti jadi guru, berpindah ke Jakarta untuk bekerja di Balai Pustaka (Intisari, Nomor 98, September 1971). Nur Sutan Iskandar (1893-1975) mengenang, separuh perjalanan hidup telah dilakoni bersama Balai Pustaka. Sejarah nama Balai Pustaka, menurut ingatan Nur Sutan Iskandar, terkait dengan usul Agus Salim saat bekerja di institusi bentukan kolonial itu pada 1917. Agus Salim mengusulkan agar nama Commissie voor de Volkslectuur diganti dengan "Balai Pustaka".
Pekerjaan sebagai korektor bahasa dan redaktur di Balai Pustaka membuat Nur Sutan Iskandar sebagai penentu nasib buku, pengesah dari kualitas buku. Konsekuensi bekerja di institusi kolonial adalah tuduhan "menghamba" kepada penguasa, patuh atas imperatif-imperatif kolonial. Sejarah Balai Pustaka memang tidak bisa dijauhkan dari biografi dan kepengarangan Nur Sutan Iskandar. Agenda berliterasi Nur Sutan Iskandar pun bercampur politik, berbaur meski tak absolut di masa kolonialisme.
Bagi murid-murid di sekolah, mengenang Balai Pustaka adalah mengingat novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Siti Nurbaya (Marah Roesli), Salah Asuhan (Abdoel Moeis), Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana), Belenggu (Armijn Pane). Balai Pustaka juga berarti buku-buku pelajaran. Para kritikus sastra mengenang Balai Pustaka sering berkaitan dengan "pembakuan" bahasa Indonesia dan politik literasi kolonial. Balai Pustaka adalah institusi kepustakaan, bahasa Indonesia, gerakan sastra, hegemoni adab. Ingatan jauh di masa menjelang 1920-an sampai 1940-an menghadirkan kesan Balai Pustaka menjadi referensi kesejarahan buku, bahasa, sastra di Indonesia. Ingatan ini merapuh, perlahan rusak oleh ketidakberesan pengurusan Balai Pustaka di abad XXI. Berita-berita tentang Balai Pustaka pada hari-hari menjelang ajal selalu mengacu ke impresi-impresi buruk. Balai Pustaka di masa lalu telah masuk ke bilik kenangan. 
Kita mungkin tak merasa kehilangan jika Balai Pustaka memang harus tutup, bangkrut atas nama bisnis. Ingatan kita masih awet saat membaca buku-buku sastra dan menilik biografi para pengarang kondang: Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Achdiat K. Mihardja, Karim Halim, Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Hasan Amin, Rusman Sutiasumarga. Mereka pernah menjadi penggerak literasi di Balai Pustaka. Mereka tak sekadar bekerja tapi juga menulis tentang bahasa, sastra, adab, pendidikan. Kita pernah merasa memiliki Balai Pustaka meski ambigu: mencampurkan kecaman atas politik bahasa dan literasi kolonial dengan arus pertumbuhan sastra di Indonesia. Serpihan-serpihan itu sulit dilupakan dan disingkirkan. Kita masih mengenangnya, meski Balai Pustaka sebagai institusi bisnis perbukuan runtuh di abad XXI tanpa sesalan atau air mata.
H.B. Jassin dalam pengakuan di buku Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka (1992) memiliki kenangan-kenangan impresif. Pada 1 Februari 1940, H.B. Jassin resmi bekerja di Balai Pustaka. Panggilan untuk mengurusi sastra dan perbukuan dipengaruhi oleh sepucuk surat dari Sutan Takdir Alisjahbana. H.B. Jassin bergerak dari Gorontalo ke Jakarta, menunaikan misi literasi. Kegandrungan membuat ulasan-ulasan buku terbentuk selama bekerja di Balai Pustaka. H.B. Jassin jadi rajin mengulas buku, mempublikasikannya ke majalah-majalah sebagai penggenapan penerbitan buku. H.B. Jassin juga mengaku bersukacita saat mendekam di perpustakaan milik Balai Pustaka pada masa 1940-an. H.B. Jassin mengatakan: "Selain roman-roman dalam bahasa Belanda, terdapat roman-roman dari luar negeri yang lain. Yang penting, bagi saya yang mempunyai latar belakang pendidikan Belanda, di sana banyak pula buku-buku dalam bahasa Belanda mengenai kesusastraan Jawa, Sunda, bahkan ada buku-buku mengenai kesusastraan Timur."
Balai Pustaka memang jejak yang tak pernah hilang dari kesejarahan sastra di Indonesia. Kita perlahan merawat kenangan dengan sedih jika menilik nasib Balai Pustaka di abad XXI. Pada masa kolonialisme, Balai Pustaka sempat memonopoli dunia penerbitan buku. Pengarang-pengarang tenar pernah bersentuhan atau turut mempengaruhi gerak Balai Pustaka. Mereka adalah tokoh-tokoh bermisi literasi, menggerakkan Indonesia dengan kata-kata. Sejarah mereka dan Balai Pustaka tak mungkin sirna, meski di abad XXI kita adalah saksi keruntuhan Balai Pustaka.
Kita tak memerlukan juru selamat untuk membuat Balai Pustaka terus hidup. Negara sudah abai literasi. Uang terus jadi godaan di dunia perbukuan. Nasib Balai Pustaka seolah takdir: selesai setelah melalui jalan waktu. Kita masih bisa menaruh buku-buku terbitan Balai Pustaka edisi lawas di rak. Buku-buku itu bakal bercerita, mengingatkan akan sejarah bahasa dan napas sastra di Indonesia. Kita juga bisa mengenang Balai Pustaka dari petikan-petikan biografi para tokoh sastra. Balai Pustaka bukan sekadar institusi penerbitan, buku, perpustakaan. Balai Pustaka adalah Indonesia dalam selebrasi bahasa dan pesan.
Faruk dalam buku Novel-novel Indonesia: Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (2002) memberi pesan gamblang bahwa sejarah novel atau sastra di Indonesia pernah ditentukan oleh penerbitan novel-novel di Balai Pustaka. Sastra terus bergerak, novel terus menghampiri pembaca. Balai Pustaka adalah seribu kenangan. Kita mengenang Balai Pustaka pada masa silam untuk tak merasa kehilangan jika Indonesia di abad XXI tak bergerak lagi bersama Balai Pustaka.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar