Rabu, 27 Maret 2013

Mengharap Legasi Obama di Timteng


Mengharap Legasi Obama di Timteng
Novriantoni Kahar  ;  Dosen Paramadina; Pengamat Timur Tengah
KOMPAS, 27 Maret 2013

  
Kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama ke Israel dan Palestina, pekan lalu, sungguh banyak maknanya. Sebelumnya, publik Amerika skeptis terhadap kunjungan itu. Thomas L Friedman menyebut Obama hanya akan menjadi presiden AS pertama yang berkunjung ke Israel seperti turis biasa.

Dalam kolom di New York Times, Selasa (12/3), Friedman menyebut dua alasan mengapa ia pesimistis. Pertama, bukan hanya sedikit yang mungkin dilakukannya (little is possible), melainkan juga sangat sedikit perlunya (little is necessary) untuk Amerika.

Kedua, dalam sejarah diplomasi Amerika, konflik Israel-Palestina seolah telah berubah ”dari kemestian menjadi sekadar hobi” (from a necessity to a hobby). Hobi berarti dilakukan seturut suasana hati. Namun, kepesimisan itu meleset karena Obama mampu mengubah ”kunjungan turistik” itu menjadi ”pesan profetik”.

Pesan Obama

Mencermati pidato Obama di Jerusalem Convention Centre, Kamis (21/3), tampaknya Obama akan menempuh strategi baru mengatasi kebuntuan perdamaian Israel-Palestina. Pada periode pertama pemerintahan Obama, status perundingan damai Israel-Palestina memang mati suri. Selain sibuk dengan persoalan dalam negeri, kebijakan keras kepala Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu—misalnya soal perluasan permukiman Israel di Tepi Barat—menghambat perdamaian.

Pidato Obama itu menunjukkan niat baik dan kejelasan moral untuk mengubah kebuntuan perdamaian Israel-Palestina. Andai Obama ingin main aman, pidatonya bisa datar saja. Namun, sebagaimana dikatakan Jeremi Ben-Ami (International Herald Tribune, 23 Maret 2013), ”Main aman bukanlah watak Obama.”

Pidato Obama tak hanya menjelaskan kedekatan dan dukungan Amerika terhadap eksistensi Israel, tetapi juga memaparkan tantangan pahit jangka panjang dan konsekuensi tersisihnya Israel di kawasannya.

Ia mengingatkan: ”Tiada tembok yang cukup tinggi dan tak ada kubah baja yang cukup kokoh untuk melindungi Israel dari musuh-musuhnya” ke depan. Karena itu, perdamaian harus diwujudkan, bukan hanya karena perlu (peace is necessary), melainkan juga adil (peace is just) dan mungkin (peace is possible).

Yang juga sangat bersejarah dari pidato Obama adalah keberaniannya mengajak publik Israel legawa mengakui hak-hak Pelestina untuk bernegara. Publik Israel pun diajak berempati. ”Sebagaimana Israel berhak punya negara, rakyat Palestina juga punya hak untuk bernegara.”

Bagi saya, Obama merespons perkembangan baru di Timur Tengah (Timteng). Obama memang menyatakan dukungan Amerika (Israel is not going anywhere), tetapi juga mengingatkan eksistensi Israel tidak selamanya bisa bergantung pada Amerika.

Pidato Obama eksplisit menyatakan ketidakpastian masa depan Timur Tengah. Ketidakstabilan politik di Mesir, Suriah, Lebanon, dan Jordania justru menambah kerawanan Israel dalam jangka panjang. Sangat masuk akal bila Obama mengajak Israel merespons arus perubahan itu dengan inisiatif perdamaian.

Banyak Ancaman

Saat ini Israel menghadapi pemerintahan Hamas di Gaza, Ikhwan di Mesir, ketidakpastian di Suriah, serta pergolakan di Lebanon dan Jordania. Ditambah sikap Iran yang terus sesumbar akan menghapus Israel dari peta kawasan, lengkap sudah ancaman untuk Israel. Mengupayakan perdamaian abadi dengan Palestina tak hanya menjamin eksistensi dan membuka isolasi Israel, tetapi juga akan melemahkan militansi kaum ekstremis yang berdalih membela Palestina.

Memang banyak yang skeptis terhadap efektivitas seruan damai Obama. Kolumnis Jihad al-Khazin menyebutnya sebagai ”akal-akalan agar Arab membarter pengakuan atas Israel dengan terusirnya rakyat Palestina dari Tanah Air mereka yang sah” (al-Hayat, 23/3/2013).

Imaduddin Adib menyebut Obama ”sekonyong-konyong menjumpai anak-anak Palestina hidup di bawah pendudukan Israel” (as-Syarq al-Awsath, 23/3/2013).

Tanggapan-tanggapan di atas adalah bentuk kekecewaan yang sudah lama menggumpal di Timur Tengah sehingga publik Arab tak akan mudah percaya. Kini berpulang kepada Obama dan Pemerintah AS untuk menepis ketidakpercayaan itu.

Obama menyatakan pentingnya kreativitas dalam mendorong proses perdamaian. Dia menyatakan bahwa mukjizat terbesar (the greatest miracle) adalah kesadaran bahwa dunia bisa diubah. Itu yang perlu dibuktikan pada status quo Israel-Palestina.

Namun, sekalipun pihak Palestina kini relatif siap berunding, Israel masih keras kepala. Itu sebabnya mengapa Obama langsung menyapa publik Israel. Kepada rakyat Israel, Obama—menurut Michael Hirsh (The Atlantic, 21/3/2013)—seolah berpesan agar mereka ”tutup telinga terhadap Bibi (panggilan Netanyahu)”. Ini terlihat dari ajakannya agar publik Israel lebih giat menuntut perdamaian.

Namun, secara faktual, proses perdamaian Israel-Palestina tak mungkin tanpa kepeloporan Amerika. Obama perlu memastikan bahwa seruan damainya segera diterjemahkan ke dalam kebijakan selama periode kedua kepemimpinannya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar