Kamis, 28 Maret 2013

Menguatkan Wacana Geopark Toba


Menguatkan Wacana Geopark Toba
Jones Gultom  ;  Pendiri Earth Society dan Toba Window
KORAN SINDO, 28 Maret 2013
  

Wacana Geopark Toba terkesan dilupakan. Meski sudah bergulir kurang lebih 3 tahun, reaksi pemerintah masih terbilang rendah. Padahal, gagasan ini termasuk salah satu cara untuk menyelamatkan Danau Toba berikut kawasan-kawasan penyangganya dari eksploitasi besar-besaran yang terjadi selama ini. 

Seperti disosialisasikan sebelumnya, semangat yang mendasari Geopark adalah integrasi pengelolaan warisan geologi (geological heritages) dengan warisan budaya (cultural heritages) di sebuah daerah. Geopark mengandung beberapa aspek penting karena di dalamnya terdapay unsur konservasi, edukasi, dan sustainable development. Seperti diketahui, konsep ini dikembangkan pertama kali di Eropa sejak 1999, dan mendapat dukungan dari UNESCO. 

Saat ini sedikitnya sudah ada 78 wilayah di 21 negara yang sudah ditetapkan sebagai Geopark. Semua kawasan tersebut dihuni manusia yang hidup berdampingan dengan alam, dan memanfaatkan alam secara bijaksana bagi kelangsungan manusia. Di Indonesia, sedikitnya dari empat wilayah yang pernah diusulkan pemerintah, yakni Danau Batur, Pacitan, Danau Toba, dan Raja Ampat. 

Namun, baru Danau Batur yang telah dijadikan Geopark. Beberapa usulan datang dari daerah-daerah lain, termasuk NTB yang mengampanyekan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Yang menarik, TNGR diusulkan oleh kelompok-kelompok aktivis dan pencinta lingkungan. Bagaimana dengan Danau Toba? Salah satu komunitas di Sumatera Utara yang kerap mengampanyekan Danau Toba sebagai Geopark Toba adalah Komunitas Jendela Toba. 

Komunitas ini digagas sejumlah profesional dari berbagai disiplin ilmu. Antara lain, geolog, budayawan, seniman, jurnalis, dan praktisi pariwisata. Mereka telah melakukan pendataan ulang, penyusunan geosite, dan menentukan track-track yang dibutuhkan. Termasuk mendokumentasikan berbagai situs geologi dan budaya. Hasilnya pun sudah diberitahukan kepada pemerintah daerah berupa rekomendasi dan draf-draf kerja. Namun, pemerintah daerah terkesan lambat sehingga kemudian Komunitas Jendela Toba membentuk tim percepatan dengan merekrut tim yang lebih luas. 

Manajemen Kawasan 

Di banding yang lain, Geopark Toba termasuk yang paling rumit. Mengingat secara administratif, kawasan ini dihuni setidaknya tujuh kabupaten dengan keanekaragaman masyarakat dan potensi alamnya. Sementara itu, konsep Geopark sendiri berbasis manajemen kawasan sehingga persamaan persepsi para pemangku kekuasaan di setiap kawasan penyanggah, merupakan syarat mutlak yang diperlukan. 

Dalam arti, Geopark Toba tidak akan dapat terwujud jika hanya diusung satu atau dua kabupaten saja. Itulah yang terjadi selama ini. Pemerintah di masingmasing kabupaten masih terjebak dengan ego sektoral wilayahnya. Sebaliknya, masing-masing kabupaten itu hanya dapat menjadi sekadar geosite yang mendukung Geopark itu sendiri. Jadi, Geopark ibarat sebuah instrumental yang merupakan perpaduan dari instrument instrumen musik pendukungnya. 

Inilah hal utama yang harus diselesaikan. Peran ini tentu akan sangat efektif jika melibatkan pemerintah provinsi dan pusat. Jika persepsi ini sudah sama, langkah selanjutnya adalah dengan menggali potensi di masing-masing daerah. Setidaknya potensi itu mencakup dua unsur penting, yakni geological dan culture untuk dijadikan geosite.  Pemberdayaan masyarakat lokal mutlak dilakukan. 

Mengingat kelompok masyarakat inilah yang nantinya akan menjadi semacam volunter di geosite-geosite itu. Memang harus kita akui, selama ini Geopark Toba seperti terfokus kepada 1-2 daerah saja, sehingga memunculkan kekhawatiran tidak meratanya kontribusi yang akan diperoleh daerah lain. Hal inilah yang mesti diformulasikan agar “kue” yang dihasilkan Geopark di kemudian hari, dapat dinikmati bersama. 

Apa Artinya bagi Masyarakat ?

Pertanyaan inilah yang paling sering mengemuka dalam setiap diskusi maupun seminar tentang Geopark Toba. Ada banyak manfaat jika kawasan Danau Toba menjadi Geopark. Pertama, danau ini akan menjadi warisan dunia yang wajib dilindungi oleh seluruh warga dunia. Dengan demikian, kelestariannya akan mendapat perhatian secara khusus terutama UNESCO. 

Kedua, Danau Toba akan menjadi pusat penelitian ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ekologis bagi keberkelangsungan ekosistem bumi. Dampaknya akan terbangun konsep pariwisata keilmuan yang berbasis ekowisata. Ketiga, secara otomatis akan terbangun infrastruktur pendukung yang konsepnya disesuaikan dengan semangat Geopark. Seperti kita ketahui, banyak pembangunan yang dilakukan mengatasnama kan pengembangan Kawasan Danau Toba yang cenderung merusak lingkungan. 

Misalnya, pembangunan hotel-hotel di pinggiran danau yang justru merusak view Danau Toba. Celakanya hotel-hotel itu sebagian besar dibangun di daerah patahan yang rawan bencana. Berbeda konsep dengan Geopark yang lebih menekankan konsep homestay. Keempat, Kawasan Danau Toba akan terpromosikan sendiri ke seluruh penjuru dunia karena wajib dikunjungi para pelajar di seluruh dunia, terutama yang tertarik dengan geologi.

Dengan begitu, biaya promosi yang selama ini banyak dihabiskan untuk promosi keluar, akan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pengembangan. Kelima, efek domino yang dihasilkan akan berdampak positif bagi perkembangan daerahdaerah penyanggahnya, seperti Berastagi dan Bahorok akan terkena imbas positif. Sebab, sekali lagi konsep Geopark berlandaskan kawasan. 

Terabaikan 

Dari sisi geological heritages, kawasan Danau Toba menyisakan sejumlah peninggalan geologi yang berkaitan dengan proses pembentukan bumi. Menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Iindonesia (IAGI) Sumatera Utara Ir Gagarin Sembiring, di beberapa kawasan Danau Toba masih terdapat sisa-sisa debu vulkanik dari letusan Gunung Toba yang telah berubah menjadi lapisan batuan. 

Selain itu, baru-baru ini, dia bersama Komunitas Jendela Toba menemukan fosil batuan yang berumur 300 juta tahun di Tele. Batuan ini memiliki sifat sama dengan yang ada di Bahorok. Berdasarkan strukturnya, batuan ini diduga berasal dari wilayah Australia yang terbawa air laut. Seperti yang kita ketahui juga, posisi geografis Danau Toba berada di pertemuan tiga lempeng tektonik, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Setiap tahun lempenglempeng ini bergeser atau menumbuk lempeng lainnya dengan jarak tertentu. 

Lempeng Indo-Australia misalnya, menumbuk lempeng Eurasia sejauh 7 cm per tahun. Lempeng Pasifik bergeser secara relatif terhadap lempeng Eurasia sejauh 11 cm per tahun. Informasi penting lain yang dikemukakan Gagarin dan Tim Jendela Toba adalah penemuan kaldera yang lebih muda dari Samosir. Dugaan mereka, kaldera itu berusia 45.000 tahun. Kaldera itu berada di sebelah barat Samosir, yakni Bakkara. Penemuan ini melengkapi temuan-temuan sebelumnya, yang selama ini menyatakan ledakan dahsyat Gunung Toba sebanyak tiga kali. 

Selain itu, mereka juga menemukan patahan itu terhubung mulai dari Desa Pakpahan sampai Tomok. Patahan inilah yang membuat Pulau Samosir selalu dilanda kekeringan meski sedang musim hujan. Erwin juga menemukan banyak “sumur” di Samosir yang justru kering selama musim hujan, namun di musim kemarau tetap berair. Sayang, selama ini fakta-fakta itu tidak terakomodir, sehingga pemahaman terhadap Kawasan Danau Toba menjadi dangkal.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar