Rabu, 27 Maret 2013

Menuju Sandyakalaning Partai Politik


Menuju Sandyakalaning Partai Politik
Sumaryoto  ;  Anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan
SUARA MERDEKA, 27 Maret 2013

  
"Ada kecenderungan parpol hanya berkutat pada masalah kekuasaan dan abai terhadap fungsi sosial di masyarakat"

BILA tak ada upaya penyelamatan, partai-partai politik tinggal menghitung hari menuju kebangkrutan. Di samping menghadapi masalah elektabilitas (tingkat keterpilihan), parpol-parpol juga mengkhawatirkan naiknya angka golongan putih (golput) atau mereka yang tak menggunakan hak suaranya pada Pemilu 2014. parpol-parpol kini memasuki sandyakala (senja kala) dan tinggal menunggu terbenam.

Pada Pemilu 2009, dari total pemilih pada daftar pemilih tetap (DPT) yang berjumlah 171.265.442 orang, hanya 121.588.366 di antaranya yang menggunakan hak pilih, dan berarti yang golput alias tidak menyoblos mencapai 49.677.076 orang. Suara yang dianggap sah pada Pemilu 2009 adalah 104.099.785, dan suara yang dianggap tidak sah 17.488.581.

Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat partisipasi masyarakat dari pemilu ke pemilu terus menurun. Bila pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi masyarakat mencapai 93,30% maka pada Pemilu 2004 menurun menjadi 84,07%, dan pada Pemilu 2009 menurun lagi menjadi 70,99%. Untuk Pemilu 2014, Lembaga Survei Indonesia (LSI) memprediksi, golput akan mencapai lebih dari 50%, dan hanya 49% yang akan menggunakan hak pilih.

Elektabilitas parpol-parpol besar juga terus tergerus. Partai Demokrat misalnya. Bila hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menunjukkan elektabilitas 8,3% maka hasil survei Lembaga Survei Jakarta (LSJ) menunjukkan elektabilitas yang tinggal 6,9%. Padahal Demokrat adalah partai pemenang Pemilu 2009 dengan 21% suara.

Kemerosotan Fungsi

Inilah yang membuat para elite Demokrat galau dan menimbulkan perpecahan di antara mereka namun kemudian kembali akur. Kini setelah ketua umum, Anas Urbaningrum, ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi proyek Hambalang, bisa jadi elektabilitas Demokrat akan lebih merosot lagi.

Kemenurunan kepercayaan publik terhadap parpol ini dipicu oleh kemerosotan fungsi parpol. Ada kecenderungan parpol hanya berkutat pada masalah kekuasaan dan abai terhadap fungsi sosial di masyarakat.

Akibatnya, banyak kader parpol yang duduk di DPR dan DPRD terjerat kasus korupsi, apa pun parpolnya. Bahkan presiden parpol yang mengklaim sebagai parpol Islam pun terjerat kasus korupsi.
Hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada 2009, parpol merupakan lembaga terkorup, setelah parlemen dan lembaga peradilan. Hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate pada Mei 2012 juga menunjukkan parpol merupakan lembaga terkorup setelah DPR, kantor pajak, dan kepolisian.  

Produktivitas anggota DPR dalam legislasi juga menurun. Tiap tahun jumlah undang-undang (UU) yang disahkan se-lalu jauh di bawah target. Pada 2010 disepakati 70 rancangan undang-un-dang (RUU) masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tapi hanya 18 rancangan yang disahkan.
Tahun 2011, dari 91 hanya 22 rancangan yang disahkan menjadi undang-undang atau 22,6%. Sementara pada 2012, RUU prioritas ditambah kumulatif terbuka yang disahkan sebanyak 30 atau 35,7% dari total RUU. Tahun ini, dari 70 RUU yang jadi target Prolegnas 2013, baru satu yang disahkan menjadi undang-undang dalam dua bulan terakhir.

Tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat juga menurun, berkisar antara 60% dan 70%, apalagi memasuki tahun politik seperti sekarang ini. Inilah yang membuat pimpinan Badan Kehormatan (BK) DPR galau sehingga mereka berencana memantau kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat dan akan mengumumkannya kepada publik bila ada anggota parlemen yang membolos.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap parpol juga berimbas pada kemenurunan partisipasi dalam pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang sebenarnya lebih ’’menjual’’ figur. 

Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan yang baru lalu misalnya, pemilih yang menggunakan hak politik mereka hanya 50% dari total jumlah pemilih. Data ini relatif konstan karena pada Pilgub Sulsel 2007 angka golput mencapai lebih dari 40%, begitu pun dengan Pilwalkot Makassar 2008. Pada Pilgub Jawa Barat, pada Minggu 24 Februari 2013, angka golput juga relatif tinggi. 

Hasil survei Indo Barometer menyebutkan angka partisipasi pemilih hanya 62,24%, sedangkan yang tidak datang ke TPS 35,76%, dan suara tidak sah 1,87%. Survei ini dilakukan Indo Barometer bersamaan dengan hitung cepat (quick count) di 450 TPS dengan 74.948 TPS yang tersebar di 26 kabupaten/kota di Jabar, dengan total pemilih 32.536.980 orang. Dalam Pilwalkot Bekasi, pada Desember 2012, angka golput mencapai 47-50%.

Pada Pilgub Jabar bahkan ada fenomena menarik, yakni para tim sukses calon gubernur enggan menonjolkan identitas parpol dalam tiap kampanye karena citra parpol terus memburuk sehingga tim sukses merasa tak layak lagi menjadikan identitas parpol sebagai  alat propaganda guna mendongkrak citra calon gubernur.

Selain citra parpol, tingginya angka golput dalam pilkada juga dipicu oleh fakta bahwa banyak kepala daerah yang setelah terpilih kemudian terlibat korupsi. Data dari Kementerian Dalam Negeri menyebutkan saat ini 290 kepala daerah berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana berbagai kasus hukum. Sebanyak 251 orang atau 86,2% di antaranya tersangkut korupsi.

Sandyakalaning parpol benar-benar terjadi. Apa yang harus dilakukan parpol-parpol untuk mendongkrak citra mereka menghadapi Pemilu 2014, dan meningkatkan kualitas anggota parlemen, baik di pusat maupun di daerah? Tak ada jalan lain kecuali berhenti korupsi, tingkatkan produktivitas UU, dan rajin-rajinlah kader parpol di legislatif menghadiri sidang.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar