Rabu, 27 Maret 2013

Seratus Politik Kesenian Sudjojono


Seratus Politik Kesenian Sudjojono
Agus Dermawan T  ;  Kritikus, Penulis Buku berbasis Seni, Sosial dan Budaya
TEMPO.CO, 27 Maret 2013

  
Pada 25 Maret 1986, pelukis S. Sudjojono meninggal dunia. Jenazah Bapak Seni Rupa Modern Indonesia ini disemayamkan di rumahnya, di kawasan Pasar Minggu, Jakarta. Saya datang melayat dan duduk dekat Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966-1977. Dalam suasana hening, Bang Ali tiba-tiba berkata, “Kalau adik kenal dekat dengan Pak Djon, adik bisa memahami konstelasi politik yang mengikat pikiran-pikiran keseniannya.”

Beberapa menit setelah itu, banyak tamu berdatangan. Termasuk di antaranya Syahnagra, pelukis yang kemudian menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta. Kepada Syahnagra, Bang Ali menegaskan hal yang sama. “Dengan memahami Pak Djon, adik bisa menghubungkan politik kebangsaan dengan kesenian. Itu penting untuk generasi muda.” Bang Ali agaknya tidak keliru.

Sindudarsono Sudjojono lahir di Kisaran, Tebing Tinggi, Sumatera Utara, sebagai anak pasangan kuli kontrak, Sindudarmo dan Mariyem. Penindasan politik Belanda menyebabkan ayah dan ibunya tak sempat mengingat bulan dan tanggal lahir Sudjojono. Mungkin Desember, barangkali Mei. Namun tahunnya agak diyakini, 1913. Mengingat tanggal dan bulan yang tak jelas, Sudjojono lantas memutuskan, “Anggap saja saya lahir di sekitar hari kematian saya. Kan beres.” Dengan begitu, pada Maret 2013 ini, Sudjojono, penerima Anugerah Seni Republik Indonesia, bisa dibilang genap 100 tahun. Sebuah tanda waktu yang muncul lantaran politik pula.

Nasionalisme Sudjojono
Sudjojono memang dikenal sebagai pelukis yang mengobarkan nasionalisme sejak pertama kali berkiprah. Dan kobaran itu senantiasa disertai politik kesenian yang tak henti menganjurkan lahirnya “kesenian politis”, dengan spirit kebangsaan diangkat sebagai rohnya.

Itulah sebabnya, pada 23 Oktober 1938, berlokasi di Gang Kaji, Jakarta, Sudjojono dan kawan kawannya mendirikan Persagi (Persatuan Ahli ahli Gambar Indonesia). Dalam perkumpulan ini, Sudjojono, yang cakap berpikir dan menulis, berperan sebagai juru bicara. Sedangkan yang duduk sebagai ketua adalah Agus Djaya. Persagi sangat agresif dan memiliki dasar perjuangan jelas: mencari seni lukis berwatak Indonesia. Persagi menganjurkan agar seniman jujur menggambarkan keadaan Indonesia yang sesungguhnya. 

Lewat Persagi, Sudjojono juga menolak hegemoni selera ekspatriat dan turis asing yang datang dari Eropa. Sebab, hegemoni itu melahirkan seni lukis yang semata-mata indah tapi dangkal, aksi tapi miskin aspirasi. Seperti lukisan panorama yang mengandalkan trimurti: gunung, pohon kelapa, dan sawah. Dan hegemoni selera itu ditengarai dihela infrastruktur yang mendukung, seperti pedagang seni. Lukisan seperti ini—yang dikerjakan Abdullah Suriosubroto, Basoeki Abdullah, Ernest Dezentje, dan puluhan seniman lain—oleh Sudjojono diejek sebagai Mooi Indie (Indonesia Jelita). Ia menganggap dominasi selera ini membawa spirit pelukis Indonesia tak lebih dari buruh yang mengkorup prinsip kesenian. Maka, dalam artikelnya, ia pun menulis demikian:

Kalau ada seorang pelukis berani melukis hal-hal lain dari trimurti tabel tadi, dan mencoba menjual lukisan-lukisannya pada toko-toko gambar di sini, maka kata si pedagang, “Dat is niet voor ons, meneer.” (Ini bukan untuk kami, tuan.) Maksud dia, “Dat is niet voor de toeristen of de gepension-neerde Hollanders, meneer.” (Ini bukanlah bagi para wisatawan atau orang Belanda yang sudah purnatugas, tuan.) Dan pelukis yang demikian, kalau tidak mau dimakan penyakit tuberculose, lebih baik menjadi guru atau mencari pekerjaan juru statistik....

Gelora Kebangsaan
Sudjojono melahirkan Persagi pada momentum yang tepat, yakni ketika jagat kenegaraan sedang menuntut anak Indonesia melakukan gerakan politik besar. Sedangkan dinamika budaya dan pendidikan ketika itu ia tangkap sebagai pemicu.

Pada pertiga awal abad ke-20, dunia kebudayaan Indonesia memang sedang menggeliat untuk mencari bentuk. Di era ini, pertukaran pikiran gencar terjadi, dan polemik dirancang untuk dibuka. Hingga 1932, lantas muncul majalah (sastra) Pandji Pustaka, yang menampung semua itu. Majalah ini merupakan jembatan menuju kelahiran majalah kebudayaan lain yang lebih progresif, Pudjangga Baru, 1933. Polemik kesastraan di sini jelas merangsang seniman seniman sektor lain, seperti seni rupa, untuk ikut bertindak sama.

Kesadaran dan keterbukaan terhadap polemik ini dilandasi faktor pendidikan yang dimotori perguruan Taman Siswa pada 1922, yang semangatnya diambil dari gerakan Boedi Oetomo 1908. Taman Siswa didirikan sebagai jalan keluar setelah lembaga pendidikan kebangsaan seperti badan politik Indische Partij pimpinan Ki Hajar Dewantara ditutup pemerintah Belanda.

Dari faktor politik, lahirnya Persagi juga distimulasi kelahiran partai partai kala itu. Pada tahun tahun tersebut, muncul keberanian bangsa Indonesia untuk mendirikan organisasi politik, seperti Gerindo (Gerakan Indonesia). Selain itu, munculnya Indonesia Muda, yang merupakan peleburan dari jong jong (organisasi pemuda daerah), seperti Jong Java, Jong Sumateranen, Jong Ambon, dan sebagainya. Keberanian lain ditunjukkan oleh Sutardjo Hadikusumo, yang dengan tegas menuntut Belanda untuk memberikan status dominion bagi Indonesia. Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah gema Sumpah Pemuda 1928.

Dari stimulasi kultural, intelektual, dan politik itulah kesadaran Sudjojono meletup, dan Persagi dijadikan sebagai motor. Persagi bubar ketika Jepang masuk. Tapi Sudjojono terus aktif dan ikut menggerakkan Keimin Bunka Sidhoso. Pada era Indonesia merdeka, untuk mendukung Presiden Sukarno, ia mendirikan SIM (Seniman Indonesia Muda) di berbagai kota. Pada masa Orde Baru ia terus merekam situasi bangsa dalam kanvas-kanvasnya.

“Tak ada pelukis Indonesia yang sepenuhnya memberangkatkan diri dari pelabuhan politik seperti Sudjojono. Tak percaya? Cermati lukisan-lukisan Pak Djon, yang bukan sekadar hiburan,” kata Bang Ali. 

Lalu kita boleh mengingat karya Sudjojono yang hebat: Mengatur Siasat (1964), Maka Lahirlah Angkatan 66 (1966), Pertempuran Sultan Agung Melawan Jan Pieterzoon Coen (1973), serta Suatu Hari tanpa Hukum (1975), yang menggambarkan pemberontakan para kuli kontrak di Sumatera pada zaman Belanda. Dan tentu Kawan-kawan Revolusi (1947), yang menyebabkan Presiden Sukarno selalu bangga berpotret di depannya, bagai terekam dalam foto amat terkenal jepretan Henri Cartier Bresson.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar