Selasa, 26 Maret 2013

Sikap Kritis dan Kreatif Polisi


Sikap Kritis dan Kreatif Polisi
Herie Purwanto  ;  Peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Polri Pertama
(Sespimma Polri) Angkatan 49/2013 Jakarta
SUARA MERDEKA, 26 Maret 2013

  
ADA kejadian kriminal yang perlu perenungan secara mendalam terkait dengan pelayanan Polri. Pada 17 Maret lalu, Radio Elshinta Jakarta menyiarkan berita memilukan. Seorang warga Ibu Kota melapor ke Polsek Johar Baru dan Polsek Pulogadung Jakarta Timur bahwa seorang anggota keluarganya pergi sejak 3 hari lalu dan hingga hari itu belum kembali serta tak memberi kabar. Ponselnya pun tak aktif. Keluarga menduga dia diculik. 

Dugaan itu disampaikan ke polisi dengan bukti rekaman pembicaraan ponsel keluarga yang suaranya diperdengarkan guna mengetahui situasi korban saat itu. Dalam rekaman itu terdengar suara ancaman hendak membunuh (orang yang diduga diculik itu) bila keluarga tidak menyerahkan sejumlah uang. 

Personel Polsek Johar Baru menindaklanjutinya dengan men-trace posisi ponsel yang bersangkutan dan kemudian mendeteksi bahwa penelepon berada di daerah Cengkareng. Namun polisi tak segera bergerak ke tempat itu dengan alasan belum 1 x 24 jam. Polisi yang bertugas menerima laporan menjelaskan, berdasarkan standard operating procedure (SOP) maka laporan kehilangan bisa ditindaklanjuti setelah 1 x 24 jam. 

Keluarga saat itu juga cepat mengambil inisiatif dengan melacak ke tempat yang dimaksud dan menemukan handphone ’’korban’’, serta mendapat cerita dari beberapa orang di tempat itu bahwa baru saja ada mobil meninggalkan tempat itu. Belakangan terungkap anggota keluarga yang dilaporkan hilang itu ditemukan sudah menjadi mayat di area parkir Bandara Soekarno Hatta Cengkareng Kota Tangerang Provinsi Banten, 20 km barat Jakarta.

Objek Benda

Kejadian fatal atas pelayanan aparat kepolisian itu sangatlah memprihatinkan. Hanya karena mendasarkan pada SOP, polisi yang seharusnya menjalankan tugas pokok dalam memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, terlihat tidak profesional. Benarkah SOP itu secara normatif menyebutkan laporan kehilangan baru bisa ditindaklanjuti setelah 1 x 24 jam? Ataukah petugas pelayanan saat itu keliru dalam menafsirkan SOP itu?
Selama ini, asumsi yang terbangun di lingkungan kepolisian, terkait dengan laporan kehilangan menyangkut objek barang/benda. 

Seandainya kehilangan anggota keluarga apakah bisa dikategorikan sebagai kehilangan ’’barang’’? Bila hal itu tertulis dalam SOP, tentu menjadi kekeliruan besar. Seandainya pun yang tertulis dalam SOP penerimaan laporan kehilangan mengarah objek berwujud barang, bagaimana bila yang dilaporkan hilang itu adalah manusia?
Bila tidak tercantum dalam SOP pun, polisi tentu harus bisa berpikir kritis, analitis, sekaligus  kreatif. Penerapan SOP bukan secara kaku, mengingat perlu pengembangan lewat cara berpikir secara dinamis. Artinya, terhadap hal-hal yang tidak/ belum diatur dalam SOP, sepanjang menyangkut ranah pelayanan, perlindungan, dan pengayoman kepada masyarakat, polisi harus berani bertindak menurut penilaiannya sendiri, asalkan demi kepentingan umum (diskresi kepolisian)

Diskresi itu bahkan sudah diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Penerapan urgensi dari asas diskresi ini salah satunya adalah ketika anggota polisi dihadapkan pada situasi seperti di Polsek Johar Baru dan Pulogadung tadi. Bila saat itu polisi yang menerima laporan mampu menjabarkan pentingnya melakukan tindakan diskresi, ia pasti segera bergerak kendati waktu pelaporan ’’kehilangan’’ itu belum 1 x 24 jam. Sungguh sebuah ironi. Ia harus segera bertindak karena diskresi kepolisian tadi.

Terhadap laporan kehilangan barang (semisal mobil, motor, uang, SIM/ STNK dan sebagainya), mungkin penerimaan laporan setelah 1 x 24 jam masuk akal, karena waktu selama itu dimaksudkan guna memberi ruang bagi korban/ pelapor mencari atau kemungkinan bisa menemukan sendiri barang yang hilang. Tapi kalau menyangkut nyawa? Jangankan 1 x 24 jam, seketika itu juga ada korban/ pelapor atau siapa pun butuh pertolongan, wajib hukumnya bagi polisi untuk segera menolong atau mengambil langkah lain berdasarkan prosedur kepolisian guna penyelamatan. 

Berpikir kritis menjadi sebuah kebutuhan bagi anggota polisi yang dalam tugas sehari-hari ada di bawah perintah komandan. Namun untuk kondisi/ situasi tertentu, ia harus bisa memutuskan sendiri sebuah tindakan untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tidak semua tindakan kepolisian harus dimintakan izin dari komandan atau berpijak secara kaku sesuai SOP. 

Diskresi kepolisian harus dijawab oleh tiap anggota polisi yang bertugas di lapangan melalui sikap profesional, bukan keragu-raguan yang akhirnya bisa merugikan masyarakat. Ke depan, masyarakat berharap tidak ada lagi kejadian serupa. Hal itu mengingat tuntutan dari profesionalisme polisi hakikatnya adalah ketika polisi itu mampu mengemban tugas dan memberi kepuasan kepada masyarakat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar