Selasa, 26 Maret 2013

Tantangan Ekonomi Memasuki Tahun Politik


Tantangan Ekonomi Memasuki Tahun Politik
Umar Juoro ; Ekonom Senior
di Center for Information and Development Studies dan Habibie Center
REPUBLIKA, 25 Maret 2013


Sekalipun pertumbuhan ekonomi cukup baik pada tingkatan 6,2 persen, tantang an yang mengadang cukup serius. Inflasi mulai meningkat pada tingkatan 5,3 persen, sedangkan defisit neraca berjalan relatif tinggi 3,1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit primer (penerimaan dikurangi pengeluaran negara sebelum pembayaran bunga utang) terjadi lagi.

Situasi ini kita hadapi pada saat dinamika politik akan semakin meningkat dengan semakin dekatnya pemilihan umum. Inflasi meningkat karena naiknya harga pangan. Harga bawang belakangan ini naik tinggi. Tidak jelasnya tata niaga dan kebijakan impor, khususnya bawang putih, menyebabkan harga naik di luar kendali.

Dikabarkan harga cabai juga mulai meningkat. Permasalahan produksi dalam negeri yang tidak memadai, tata niaga yang oligopolistik, dan kebijakan impor yang tidak jelas, menyebabkan fluktuasi harga hortikultura cenderung tinggi. Akibatnya, inflasi juga terdorong tinggi.

Defisit neraca berjalan terjadi karena impor lebih tinggi daripada ekspor dan masuknya modal ke dalam negeri tidak dapat menutupi kekurangannya. Neraca perdagangan nonmigas masih positif, tetapi neraca perdagangan minyak negatif. Besarnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menyebabkan bukan saja neraca berjalan negatif, melainkan defisit primer pada APBN juga terjadi.

Defisit neraca berjalan menyebabkan tekanan pada nilai rupiah sehingga terdepresiasi. Untuk menstabilkannya, cukup besar cadangan devisa yang digunakan. Bagaimanapun intervensi ini tidak memadai sampai permasalahan defisit neraca berjalan dapat diatasi.

Terhadap permasalahan inflasi, stabilitas harga pangan, khususnya hortikultura, haruslah aktif dilakukan. Peningkatan produksi dalam negeri menjadi keharusan. Perbaikan tata niaga juga harus dilakukan untuk mengefisienkan distribusi dan harga. Bagi produk yang produksi dalam negerinya rendah, seperti bawang putih, tidak ada jalan lain kecuali harus di impor.

Mengatasi defisit neraca ber jalan tidaklah mudah dalam keadaan di mana perekonomian dunia masih lemah. Pilihannya adalah mengendalikan impor, terutama minyak dan BBM. Cara efektif adalah menaikkan harga BBM bersubsidi yang sekaligus juga mengatasi defisit primer anggaran. Namun, memasuki tahun politik, pilihan kebijakan ini tampaknya dihindarkan karena risiko sosial-politik yang tinggi.

Bagaimanapun besarnya subsidi energi (termasuk BBM) yang kemungkinan akan melebihi yang dianggarkan Rp 274 triliun haruslah diatasi. Jika kenaikan harga BBM bersubsidi tidak dilakukan karena alasan sosial-politik, pembatasan harus dilakukan. Melarang mobil pribadi menggunakan BBM bersubsidi adalah cara yang efektif karena mudah diawasi. Sepeda motor dan kendaraan umum masih dibolehkan menggunakan BBM bersubsidi. Secara bertahap kendaraan umum diarahkan untuk menggunakan gas dengan semakin tersedianya stasiun pengisian gas.

Memasuki tahun politik, para menteri ekonomi terutama yang dari parpol akan sulit berkonsentrasi menjalankan kebijakannya. Perhatian akan semakin tercurah pada memenangkan parpolnya masing-masing. Sebenarnya, kebijakan ekonomi yang baik dan berhasil akan menjadi sarana kampanye yang efektif, terutama untuk parpol yang masuk dalam koalisi. Namun, persaingan politik dewasa ini masih lebih didasarkan pada adu popularitas belum terkait kuat dengan kinerja.

Tentu saja, kita tidak mengharapkan adanya inisiatif baru dalam kebijakan ekonomi. Namun, permasalahan tersebut haruslah diatasi untuk memberikan suasana yang kondusif bagi pemilu dan pemilihan presiden (pilpres). Stabilitas ekonomi sangat dibutuhkan bagi keberhasilan pemilu dan pilpres untuk selanjutnya pemerintahan baru dapat meneruskan program pembangunan ekonomi, bahkan dengan lebih baik.

Bagaimanapun permasalahan ekonomi merupakan perhatian utama para pemilih. Permasalahan harga kebutuhan pokok dan kesempatan kerja selalu teratas. Kaitannya dengan hal ini, menteri yang menangani permasalahan ini paling tidak menteri pertanian dan ketenagakerjaan adalah dari parpol. Menko Perekonomian juga pimpinan parpol.

Seringkali kebijakan yang dianggap menguntungkan partai tidak sejalan dengan kepentingan masyarakat luas. Di sinilah tantangannya bagaimana kepentingan partai sejalan dengan kepentingan publik. Sejatinya politik mengutamakan kepentingan publik, sejalan dengan itu kepentingan partai juga terpenuhi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar