Senin, 29 April 2013

Ancaman Internet dalam Dakwaan Jaksa


Ancaman Internet dalam Dakwaan Jaksa
Arnold Djiwatampu ;  Pengamat Telekomunikasi
MEDIA INDONESIA, 27 April 2013

  
Pemberantasan korupsi wajib didukung segenap elemen masyarakat karena mengancam masa depan bangsa. Namun, bukan berarti kita dapat begitu saja memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada para aparat penegak hukum. Pengawasan publik harus selalu ditegakkan karena ingat pepatah kuno yang menyebutkan power tends to corrupt.

Dari beberapa kasus yang sedang bergulir, yang menarik untuk dicermati ialah tuduhan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap kerja sama yang dilakukan antara Indosat dan anak perusahaan mereka, Indosat Mega Media (IM2). Motivasi Kejagung dalam menggelar perkara itu memang patut dipertanyakan semua kalangan. Apabila kita mencoba menguraikan masalah dengan menggunakan kacamata hukum yang dipakai Kejagung, dapat kita simpulkan bahwa dakwaan yang diajukan tidak memiliki dasar logika hukum yang kuat.

Pertama, Kejagung menganggap telah terjadi pelanggaran karena IM2 telah menggunakan frekuensi 2,1 GHz, yang merupakan milik Indosat, tanpa melalui proses lelang. Menurut Kejagung, hal itu berten tangan dengan Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 7 Tahun 2006.

Tuduhan Kejagung bahwa IM2 tidak boleh menggunakan jaringan yang dimiliki Indosat adalah keliru dan salah kaprah. Perlu digarisbawahi bahwa Indosat merupakan sebuah penyelenggara jaringan, sedangkan IM2 adalah sebuah perusahaan penyelenggara jasa. Keduanya memiliki peran yang berbeda di dalam industri telekomunikasi.

Indosat sebagai penyelenggara jaringan memang harus mengikuti lelang yang diadakan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mendapatkan izin penggunaan frekuensi. Sementara itu, sebagai penyelenggara jasa, IM2 memang tidak boleh memiliki jaringan. Oleh karenanya perusahaan-perusahaan penyelenggara jasa melakukan perjanjian komersial dengan para penyelenggara jaringan sehingga mereka dapat memberikan pelayanan kepada publik. Di sini dapat dilihat bahwa Kejagung tidak dapat membedakan definisi sederhana tentang penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa, serta bagaimana kedua jenis penyelenggaraan telekomunikasi tersebut berinteraksi satu sama lain.
Karena pelanggaran peraturan menteri itu, menurut Kejagung, terjadi potensi kerugian negara sebesar Rp1,3 triliun. Itu merupakan sebuah logika hukum yang tidak tepat.

Seperti yang diungkapkan salah satu saksi ahli di dalam persidangan, yaitu Rachmat Widayana selaku direktur operasi sumber daya di Kemenkominfo, terdapat tiga macam PNBP (pendapatan negara bukan pajak) dalam telekomunikasi, yaitu BHP (biaya hak penyelenggaraan) telekomunikasi, BHP (biaya hak penggunaan) frekuensi, dan kontribusi universal service obligation (USO). Setiap penyelenggara telekomunikasi, baik penyelenggara jaringan maupun penyelenggara jasa, wajib membayar BHP telekomunikasi dan kontribusi USO, tetapi hanya penyelenggara jaringan yang menggunakan frekuensi yang wajib membayar BHP frekuensi.

Seperti diungkapkan Kemenkominfo, selama ini Indosat selalu membayar semua kewajiban PNBP, yaitu BHP frekuensi, BHP telekomunikasi, dan kontribusi USO. Adapun IM2 juga sudah membayar biaya BHP frekuensi dan kontribusi USO. Oleh karena itu, juga dapat disimpulkan bahwa kerja sama yang dilakukan antara Indosat dan IM2 tidak menimbulkan potensi kerugian negara.

Membingungkan

Apabila nantinya keputusan menyatakan Indosat dan IM2 bersalah, nasib layanan internet di Indonesia akan terancam punah. Ada lebih dari 280 penyelenggara jasa internet (ISP) yang beroperasi di Indonesia. Tiap-tiap perusahaan tersebut menjalankan kerja sama yang sama dengan bentuk kerja sama antara Indosat dan IM2. Semua ISP tersebut juga tidak membayar BHP frekuensi kepada Kemenkominfo.

Seperti juga yang telah dijelaskan beberapa saksi dalam persidangan, penyelenggara jaringan memang diperbolehkan menyewakan sebagian kapasitas jaringan yang mereka miliki kepada pihak lain, dalam hal ini para penyelenggara jasa melalui perjanjian B to B atau business to business.

Saksi lain dari Kemenkominfo, yaitu Titon Dutono, menyampaikan dalam sidang bahwa pemerintah justru mendorong para penyelenggara jaringan untuk dapat mendistribusikan kapasitas jaringan yang mereka miliki kepada pihak penyedia jasa sehingga kebutuhan masyarakat akan layanan telekomunikasi dapat terpenuhi.

Tidak berhenti di situ, menurut Kejagung, kerja sama antara Indosat dan IM2 juga me langgar Pasal 25 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2000 yang menyata kan penyelenggara jaringan tidak boleh mengalihkan alokasi frekuensi yang sudah didapat kepada pihak lain. Dasar hukum yang digunakan Kejagung itu juga tidak tepat kanyataannya tidak ada rena pada kenyataannya tidak ada alokasi frekuensi yang dialihkan Indosat. Apa yang dilakukan Indosat ialah menyewakan kapasitas jaringan yang mereka miliki kepada pihak lain, sebuah kegiatan komersial yang sudah jamak dilakukan di industri telekomunikasi.

Dengan dakwaan yang tidak memiliki landasan hukum kuat itu, tidak mengherankan apabila banyak pihak bertanya-tanya apa sebenarnya motif di balik ngototnya Kejagung dalam mengangkat kasus tersebut. Pertanyaan itu layak diangkat karena Kejagung tetap saja bergeming walau sudah ada keputusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memutuskan untuk menangguhkan hasil audit BPKP yang menghitung kerugian negara dari kerja sama penggunaan frekuensi antara Indosat dan IM2. PTUN menyatakan audit tersebut tidak sesuai dengan prosedur karena hanya bersumber dari permintaan Kejagung tanpa meminta dan memeriksa bukti-bukti dari pihak Indosat dan IM2.

Tidak hanya putusan PTUN, pernyataan Kemenkominfo selaku regulator industri telekomunikasi seharusnya dijadikan sebagai acuan oleh Kejagung untuk kasus itu. Berkali-kali Kemenkominfo menyatakan tidak ada pelanggaran yang dilakukan di dalam kerja sama tersebut yang dikuatkan dengan surat dari Kemenkominfo ke Kejagung pada akhir tahun lalu. Isi surat itu menyatakan perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2 telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Andaikata setiap penyelenggara telekomunikasi, termasuk jasa, harus memiliki frekuensi sendirisendiri untuk menyediakan layanan kepada publik, apakah sumber alam langka frekuensi radio tidak tambah diperebutkan?

Saat ini saja para penyelenggara telekomunikasi besar ataupun kecil berebut alokasi dan izin dari pemerintah. Bahkan karena banyaknya penyelenggara telekomunikasi di Indonesia, mestinya lebarnya pita frekuensi (frequency bandwidth) yang diperlukan penyelenggara untuk layanan-layanan 3G tidak mencukupi. Seharusnya alokasi pita lebih lebar seperti di negara-negara maju agar lebih ekonomis karena makin banyak pelanggan yang bisa dimuat dalam pita tersebut dan biaya akan turun.

Para pemangku kepentingan, khususnya para pemegang kebijakan negara, wajib tahu bahwa yang menggunakan pita frekuensi itu banyak layanan, selain telekomunikasi untuk umum, juga penyiaran, navigasi perhubungan (darat, laut, udara), meteorologi (pemantauan bencana, cuaca), radio astronomi, pemetaan bumi, dan sebagainya.

Indonesia harus berjuang baik untuk mempertahankan pita-pita frekuensi dan orbit satelitnya ataupun ikut mendukung pita baru untuk teknologi baru demi kepentingan nasional. 

Akhir kata, yang lebih mendasar ialah keharusan dari para pemangku kepentingan, dalam hal ini termasuk lembaga-lembaga dan aparat negara, khususnya Kejagung, untuk memahami arti dari penerbitan suatu UU beserta peraturan pelaksanaannya. Apa latar belakang, falsafah, tujuan, dan sasaran dari pembuatan UU. Tanpa memahaminya, akan terjadi debat kusir yang mengherankan sekaligus memalukan saat ini, yang mengabaikan manfaat dan pengelolaan pita spektrum frekuensi yang merupakan sumber alam langka, sampai harus masuk ke pengadilan. Luar biasa, itu mungkin merupakan satu-satunya perkara di dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar