Sabtu, 27 April 2013

Bahasa Politik di Balik Subsidi


Bahasa Politik di Balik Subsidi
Rahmad M Arsyad ;  Alumni Pers Mahasiswa Unhas
KORAN SINDO, 26 April 2013



Akhir-akhir ini rakyat Indonesia kembali resah lantaran pemerintah akan kenaikan lagi harga bahan bakar minyak (BBM). Alasannya masih klasik. Subsidi APBN untuk BBM terlalu memberatkan hingga membebani negara, dan cenderung tidak menguntungkan dalam jangka panjang. 

Karena dikhawatirkan bisa menyebabkan negara dalam keadaan krisis, maka harga BBM akan kembali naik! Inilah kuasa bahasa politik yang dilakukan pemerintah, ‘subsidi’, ‘beban negara’ dan ‘krisis’. Sebenarnya lewat bahasa ini secara telanjang pemerintah sedang melakukan kamuflase kebenaran. Pertama, benarkah selama ini pemerintah melakukan subsidi atas rakyat? 

Fakta empirisnya bahwa rakyatlah yang melakukan subsidi kepada pemerintah melalui kerja keras yang ditarik pemerintah, baik dalam bentuk pajak maupun eksploitasi sumber daya alam. Kedua, seolah-olah lewat kata ‘beban negara’, pemerintah telah berusaha keras bekerja dan rakyat adalah beban. 

Padahal faktanya ‘korupsi tetap merajalela’, biaya perjalanan dinas anggota DPR dan pejabat semakin besar tanpa hasil signifikan. Gaji bagi birokrat juga setiap tahun naik, padahal mereka tak melakukan apa-apa. Sementara pada sisi yang lain, fokus pembiayaan bagi program infrastruktur masih lemah. 

Langka dan mahalnya bawang merah dan bawang putih di pasaran tidak terkontrol. Anak-anak desa mesti berjalan ratusan kilometer untuk sekolah. Ujian nasional yang sudah rutin dilaksanakan pemerintah tetap bermasalah. Sampai pada persoalan impor kebutuhan pokok yang semakin besar, padahal sumber daya dalam negeri ini melimpah. Semuanya semakin menunjukkan ketidakbecusan para penyelenggara negara. 

Bahasa Politik Dibalik Subsidi 

Subsidi adalah bahasa politik. Sejatinya dana APBN bukan uang pemerintah. Sebagai pihak yang dipercayakan mengelola negara, pemerintah secara empiris dan konkret telah gagal membangun kepercayaan rakyat. Dengan semua fakta ketidakbecusan pemerintah tersebut, masihkah kita percaya bahwa pencabutan subsidi merupakan langkah solutif menyelamatkan negeri ini? Pada akhirnya ketika beban APBN berkurang, subsidi dicabut, maka uang rakyat tersebut tidak mampu dikelola pemerintah. 

Tengok saja realisasi APBN 2012 yang hanya mencapai Rp1.497 triliun dibawah target anggaran pendapatan dan belanja negara Rp1.548 triliun. Bagi Avram Noam Chomsky; kadang press release penguasa lebih kejam dari teror! Itulah faktanya bahwa subsidi dikomodifikasi sedemikian rupa seolah menjadi jalan terbaik bagi solusi instan kemalasan pemerintah dalam bekerja. 

Pada dasarnya jika pemerintah mampu meningkatkan pendapatan dalam negeri dan membenahi berbagai sarana transportasi massal tanpa bahasa subsidi sekalipun, kenaikan harga BBM tidak akan berpengaruh apa-apa. Saat ini adalah sebuah kecelakaan besar bagi pemerintah SBY jika berani menaikkan harga BBM. 

Di tengah lemahnya trust public atas pemerintah, menaikkan harga BBM adalah sebuah proyek bunuh diri. Pada satu sisi pemerintah membiarkan rakyat bertarung sendirian dan pada sisi lain para penyelenggara pemerintahan dianggap berpesta pora dari hasil keringat rakyat. Semakin hari satu persatu para penyelenggara negara masuk bui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Membayar Pemalas 

Jika pemerintahan SBY mengaku telah bekerja keras bagi usaha melakukan kebaikan-kebaikan yang luas terhadap kehidupan rakyat, saya sulit untuk percaya. Sederhananya silakan datangi kantor-kantor pemerintah atau kementerian. Di sana Anda dapat melihat sejumlah pegawai negeri sipil yang sibuk bermain game, menonton gosip artis, lalu duduk seharian penuh tanpa melakukan apa-apa. 

Selain itu, kunjungi gedung DPR lalu lihat berapa banyak para anggota parlemen tersebut hadir ketika persidangan dilaksanakan, kalaupun hadir apa yang mereka lakukan? Sebagian besar mereka tidur atau sibuk memencet gadget. Apakah pemerintahan seperti itu yang kita sebut telah bekerja keras bagi rakyat? Lihat berapa uang pajak rakyat yang dikorupsi Gayus? 

Sementara rakyat dibiarkan bertarung sendirian, bekerja untuk sekadar bertahan hidup. Sementara mereka para pengelola negara selalu merengek meminta fasilitas sampai kenaikan gaji. Jika sudah seperti ini, masihkah kita layak percaya pada pemerintah? Pemerintah pemalas, cengeng, dan manja. Di mana segala sesuatu mesti ditanggung rakyat yang semakin hari semakin miskin lagi menderita. 

Jika bahan bakar minyak (BBM) benar-benar dinaikkan, berarti sudah waktunya pemerintah turun. Pasalnya, hampir semua sektor strategis maupun manajemen pemerintahan terbukti gagal dikelola. Kehidupan demokrasi dan penguatan hakhak sipil juga sama parahnya. Lihat kasus kekerasan yang terjadi di Lapas Cebongan, di mana peluru yang dibeli rakyat digunakan menembak rakyat. 

Lihat pula betapa lucunya ketika aparat TNI dan kepolisian saling bentrok di Polres Oku. Padahal, para aparat seharusnya malu di hadapan rakyat ketika mereka dengan semena-mena memakai seragam, senjata yang dibeli dari jerih payah rakyat, dan dipakai melakukan tindakan kekanak-kanakan. 

Bahasa konstitusi juga tidak lagi diperlukan karena pemerintah sudah melanggar amanat konstitusi negeri ini sebagaimana yang dituliskan dalam undang-undang dasar 1945: mencerdaskan kehidupan bangsa serta melindungi segenap tumpah darah Indonesia! Apakah ini berjalan? Rasanya tidak, jika begitu apakah pemerintah masih akan berdalih pada hukum formal sistem politik, saat presiden hanya bisa diganti melalui mekanisme pemilu? 

Apakah kita masih bisa punya waktu menanti pemilu dan pergantian rezim yang setelah sepuluh tahun berjalan hanya melahirkan pemerintahan korup? Masihkah penting bicara konstitusi di tengah pemerintah yang inkonstitusional? Waktunya bangkit melawan atau tunduk tertindas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar