Selasa, 30 April 2013

Batikmark dan Maskapai Batik Air


Batikmark dan Maskapai Batik Air
Augustinus Simanjuntak ;  Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 29 April 2013


Batik Indonesia kian moncer. Potensi bisnisnya terus meningkat, terutama sejak UNESCO mengakuinya sebagai karya bangsa yang termasuk dalam daftar representasi warisan budaya manusia yang tak berwujud (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) pada 2009 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. 

Batik sudah merupakan hak cipta resmi bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam corak, bahan, dan warna sesuai dengan nilai-nilai budaya setiap daerah produsennya. Batik sudah menjadi kreasi yang unik sekaligus kebanggaan nasional. Karena itu, demi menjaga kualitas dan kelestarian batik, pemerintah lewat Kementerian Perindustrian telah menyiapkan sebuah sistem sertifikasi batik yang disebut Batikmark (Jawa Pos, 24/4). 

Dalam rangka sertifikasi batik, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 74/2007 tentang Penggunaan Batikmark. Ini dikonkretkan lewat Peraturan Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Nomor 71 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Batikmark. Sertifikasi ini bertujuan untuk memastikan jenis batik dan alat pembeda batik buatan Indonesia, sebagai global home of batik, dengan batik buatan negara lain. 

Batik yang sudah disertifikasi Batikmark akan diberi label atau logo sesuai dengan jenisnya. Biaya sertifikasinya cukup Rp 1,7 juta. Pelabelan batik hanya dimaksudkan untuk memperkuat merek-merek batik yang sudah ada di masyarakat secara kolektif-nasional. Dengan kata lain, dalam rangka perlindungan produsen, merek dagang batik tetap diakui sebagai pembeda antara produk batik yang satu dan produk batik lainnya. Menurut pasal 1 angka 2 UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (UU Merek), merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

Persoalannya, apakah produsen batik yang belum mendaftarkan merek batiknya boleh mengajukan sertifikasi supaya batiknya bisa diekspor? UU Merek memang mengatur bahwa produsen wajib mendaftarkan merek dagangnya ke Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk mendapatkan perlindungan hukum. Dan, dalam pendaftaran merek berlaku asas first to file atau siapa yang terlebih dahulu mendaftarkan sebuah merek, maka dialah yang berhak.

Namun, dalam proses sertifikasi, pendaftaran merek sebaiknya tidak dijadikan sebagai syarat karena banyak merek batik di masyarakat yang belum terdaftar. Kebijakan Dirjen IKM justru diharapkan bisa memperkuat kedudukan hukum merek dagang batik yang belum terdaftar. Selanjutnya, dalam menunjang penjualan batik ke negara lain, pemerintah sebaiknya cukup menekankan merek sesuai dengan logo dalam sertifikat, bukan lagi pada merek ciptaan produsen. Sebab, pengakuan UNESCO tadi telah menempatkan pemerintah sebagai subjek utama dalam melindungi dan memasarkan batik nasional di pasar internasional. 

Di tengah rencana pemerintah membuat Batikmark, Lion Air Group melakukan sebuah langkah yang cukup menarik. Maskapai barunya diberi nama Batik Air dan ditandai corak batik pada warna cat di bagian ekor pesawatnya. Ini strategi bisnis untuk menarik konsumen. Namun, dalam bisnis penerbangan, bukan hanya Batik Air yang menggunakan merek dagang dari nama yang sudah milik umum. PT Garuda Indonesia, misalnya, memakai nama lambang negara RI (garuda) sebagai merek maskapainya. 

Hanya, maskapai Garuda merupakan BUMN, sedangkan Batik Air murni swasta. Undang-undang memang tidak melarang penggunaan nama lambang negara atau istilah-istilah yang sudah milik umum menjadi merek dagang. Namun, pasal 5 UU Merek menyatakan merek tidak dapat didaftar apabila telah menjadi milik umum. Artinya, merek Batik Air tidak bisa didaftarkan sebagai merek dagang dalam bisnis jasa penerbangan. 

Andaikata ada maskapai lain yang memakai merek yang sama dan corak batik yang lebih menarik di badan pesawatnya, Batik Air tidak bisa mempersoalkan- nya. Selain itu, istilah dan corak batik yang digunakan maskapai di badan pesawat bukanlah dalam rangka memasarkan produk barang/jasa yang sejenis dengan batik. 

Namun, setiap perusahaan yang menggunakan istilah atau lambang milik umum dalam kegiatan bisnis diharapkan bisa menjaga citra bisnisnya, terutama di dunia internasional. Sebab, jika maskapai Batik Air, misalnya, merusak citranya sendiri, itu berarti bisa merusak citra batik pula.

Jadi, secara hukum Batik Air memang tidak melanggar UU Merek karena siapa pun bisa menggunakan istilah batik dengan segala ragam coraknya dalam kegiatan usaha. Justru langkah Batik Air memberi contoh bahwa beragam cara bisa dilakukan untuk mengangkat dan mempromosikan batik sebagai produk kebanggaan nasional. Cara lain bisa dengan, misalnya, promosi batik lewat corak warna pada produk gelas air minum, alat tulis, wall paper, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar