Minggu, 28 April 2013

Dua Tahun Arab Spring


Dua Tahun Arab Spring
Frassminggi Kamasa ; Mahasiswa S-2 Hubungan Internasional di Victoria University of Wellington, Selandia Baru
REPUBLIKA, 26 April 2013


Pada akhir 2010, sejumlah negara di kawasan Arab dan Afrika Utara mengalami goncangan politik yang hebat. Konfl ik politik yang bermula dari Tunisia ters but tidak hanya menjalar ke negara-negara yang mengandalkan penerimaan negara dari sektor nonmigas, seperti Mesir, Yordania, Libanon, dan Suriah, tetapi juga menimpa negara-negara yang kaya minyak, semisal, Bahrain, Libya, dan Arab Saudi. 

Aksi protes masyarakat berskala besar tersebut bahkan mampu menggulingkan sejumlah rezim sebagaimana yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan Libya. Sementara, sejumlah rezim di Yaman, Suriah, Bahrain, dan Yordania masih terus bertahan sambil melakukan reformasi sejumlah kebijakan yang dipandang mampu meredakan ketegangan publik. 

Fenomena Arab spring yang telah berjalan dua tahun ini kembali menimbulkan pertanyaan dasar mengenai apa faktor penyebabnya, apa dampaknya, dan apa pelajaran yang bisa di ambil oleh Indonesia? Pertama-tama, harus dibedakan antara Arab spring dalam bentuk kebangkitan (uprising)
masyarakat secara spontan, seperti yang terjadi di Tunisia dan Mesir, dengan pemberontakan yang telah direncanakan (pre-plan armed insurrection), seperti yang terjadi di Libya dan Suriah, saat ini. 

Yang pertama adalah karena kekecewaan publik terhadap pemerintah yang dianggap gagal dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sementara, di saat yang sama, para penguasa di negara-negara tersebut mempertontonkan kemewahan yang diperoleh dari korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan peman faatan jabatan. Maka kemudian timbullah gerakan uprising. Yang kedua adalah karena sisi emosional adanya kompleksitas primordial yang amat kental, baik dari sisi antropologis, etnologis, sosiologis, dan teologis dari para aktor yang berinteraksi di kawasan tersebut. Hal ini melahirkan rasionalitas geopolitik dan perebutan lingkung pengaruh (sphere of influence)
antara Amerika Serikat dan Rusia dalam bentuk kompleksitas politik-historis yang dalam.

Jazirah Arab dengan segala predikat yang melekat padanya telah menjadi salah satu kawasan yang senantiasa diwarnai oleh ajang pertarungan kepentingan global yang kompleks dengan intensitas emosi yang dalam. Konflik politik yang melanda sejumlah negara di kawasan ini secara hampir serentak tentu akan menimbulkan dampak politik dan ekonomi. 

Dari sisi ekonomi domestik, misalnya, konsumsi masyarakat akan menurun akibat terhentinya berbagai kegiatan ekonomi. Demikian juga dengan kinerja ekonomi internasionalnya, baik untuk ekspor maupun investasi, juga terpangkas. 

Selanjutnya, negara-negara di kawasan mengalami tiga tekanan sekaligus, yakni tekanan politik, kenaikan harga pangan, dan energi. Hal tersebut memaksa pemerintah di kawasan untuk meningkatkan subsidi pangan dan energi akibat tingginya harga kedua komoditas tersebut. 

Selain itu, untuk meredam tekanan publik terhadap pemerintah yang berkuasa, sejumlah dana belanja fiskal digelontorkan. Akibatnya, defisit fiskal di negara-negara tersebut makin lebar. Pada 2010, defisit anggaran di negara-negara importir minyak di kawasan tersebut mencapai enam sampai tujuh persen dari PDB.
Penerbitan obligasi dan permintaan bantuan uang kepada IMF dan sejumlah negara-negara donor menjadi pilihan untuk menambal defi sit tersebut. Akibatnya, utang negara-negara di kawasan makin membengkak serta menjadi beban berat dan sulit lepas dari tekanan kreditor asing. 

Petik Hikmah

Peristiwa Arab spring setidaknya memberikan tiga hikmah bagi Indonesia.
Pertama, validitas aksioma di dalam politik transaksional bahwa tidak ada teman yang abadi, yang ada adalah ke- pentingan yang abadi. Dalam kasus Libya dan Suriah, sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat bersama sekutu terdekatnya, Arab Saudi dan Qatar, membiayai, melatih, dan mempersenjatai para pemberontak. 

Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif perlu melihat secara cermat dan komprehensif akan fenomena proxy war ini. Keputusan Liga Arab yang memberi hak anggotanya untuk memasok senjata ke kubu oposisi Suriah, misalnya, harus dikaji apabila Indonesia diminta untuk bersikap. Hal ini krusial agar posisi atau dukungan tersebut tidak menjadi "senjata makan tuan" yang digunakan negara-negara lain untuk mencampuri dinamika politik dalam negeri.

Kedua, perkembangan politik yang tidak mengartikulasikan aspirasi politik dari masyarakat, seperti ditegakkannya demokrasi, keterbukaan, keadilan sosial, dan pemerataan ekonomi akan membuat goncangan politik yang dahsyat. Hikmah ini perlu ditangkap secara cepat oleh pemerintah agar konflik di Jazirah Arab tidak terjadi di Tanah Air. 

Ketiga, perlu dilakukan antisipasi terhadap lonjakan harga minyak akibat konflik berkepanjangan di kawasan itu. Lonjakan harga minyak yang menuju 100 dolar AS per barel secara global akan melemahkan daya beli konsumen dan pendapatan perusa ha an anjlok. Bagi Indonesia yang kini sudah menjadi pengimpor minyak, pengaruhnya sangat signifikan terhadap APBN. Harga minyak yang menembus 100 dolar AS per barel secara langsung juga akan meningkatkan biaya produksi dan jasa serta beban hidup masyarakat dan pada akhirnya akan memperlemah pertum- buhan ekonomi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar