Minggu, 28 April 2013

Islam dan Solidaritas Sosial

Islam dan Solidaritas Sosial
Asyhari Abta ;  Rais Syuriah PWNU DI Yogyakarta
SUARA KARYA, 26 April 2013


Konflik sosial terus menerus terjadi di Indonesia. Konflik sosial antar suku dan etnis terjadi hampir di berbagai daerah. Ikatan sosial antar suku dan etnis mulai redup. Pragmatisme dan kepentingan sesaat menjadi panglima.

Ini, jelas menjadi penanda buruk bagi Indonesia masa depan, karena ikatan sosial menjadi kekuatan utama dalam menguatkan solidaritas. Dengan solidaritas sosial yang teguh, bangsa Indonesia bisa mengisi kemerdekaan sebagai hasil perjuangan yang penuh kekuatan dan semangat.

Islam sebenarnya memberikan pelajaran penting tentang meneguhkan solidaritas sosial. Nabi Muhammad mencontohkan kuatnya persaudaraan ketika menata dan membangun masyarakat Madinah. Masyakat Madinah saat itu multikompleks. Ada suku Aus, Khazraj, Qoinuqo, Quraidlah, dan Bani Nadlir.

Penduduknya pun bermacam agama, ada Islam, Yahudi, San sebagian kecil Kristen Najran. Islam sendiri ada yang migran (muhajirin) dan penduduk lokal (anshor).

Pola yang keberagamaan dan persaudaraan yang sejak awal dibangun Nabi Muhammad di tengah masyarakat yang heterogen. Menurut KH Said Aqil Siraj (2006), adalah mengedepankan uswah hasanah, pola moralitas dan keteladanan yang baik. "Aku diutus untuk untuk menyempurnakan moralitas kemanusiaan yang luhur".

Pendekatan moralitas menuntut umatnya untuk selalu menjadi uswah atau teladan yang baik bagi lingkungannya. Sejak awal eksistensinya di Makkah, Islam selalu akomodatif, kreatif, dan terkadang defensif atas nilai-nilai negatif dari luar. Metode uswah hasanah adalah gerakan beragama yang bersifat soft-power, yakni menjunjung tinggi keteladanan, moralitas, pembelaan atas kaum mustadh'afin, dan penegakan hak asasi manusia.

Metoda inilah kemudian yang melahirkan Piagam Madinah, sebuah dekralasi negara yang sangat demokratis, modern, bahkan terlalu modern untuk ukuran geografis-sosiologis waktu itu.
Dalam piagam ini Nabi menjabarkan ihwal negara, demokrasi, politik, hukum, ekonomi, kebudayaan, dan peradaban manusia. Komitmen yang dilakukan Nabi, sebagaimana zaman aksial, adalah membela rasa. Islam hadir membela kaum marginal, kaum perempuan, kaum budak, dan lainnya.
Sebagaimana zaman aksial, nabi tidak membedakan antara Islam, Yahudi, dan Kristen. "Barang siapa membunuh non-Muslim, maka dia akan berhadapan dengan saya", tegas Nabi.

Gagasan penting dari Piagam Madinah dan sabda Nabi tersebut adalah warta bahwa Islam menghargai pluralitas masyarakat. Islam sebagai rahmat bagi semesta berarti Islam tidak pernah membedakan masyarakat berdasarkan suku, adat, tradisi, dan agama. Asal mereka makhluk di semesta, Islam bertugas mewartakan kebajikan kepada mereka. Semua agama yang hadir dibumi telah membawa sejarahnya sendiri. Agama itu, tidak mengajarkan umatnya untuk memusuhi, menteror, apalagi membantai dan membunuh sesama.

Titel agama yang ada di tanda pengenal hanya simbol identitas keagamaan. Jangan sampai dalam menebarkan kebajikan dan kemaslahatan terjebak dalam simbol itu. Islam sebagai rahmat akan mengikis, bahkan melampaui religiusitas simbol keagamaan.

Sayang, spirit demokratisasi dan pluralisme yang dibangun Nabi sekarang dicabik-cabik oleh umat manusia. Spirit agama sebagai inspirasi kritik sosial sekarang tidak lagi nampak. Masing-masing agama mengklaim dirinya paling suci, paling benar. Yang terjadi kemudian saling benci, saling hujat, hingga saling teror dan saling bunuh.

Sejarah telah mewartakan bahwa pembunuhan atas nama agama menjadi trend gerakan fundamentalisme secara global. Ajaran-ajaran agama dibabtis untuk membakar semangat berperang, mengobarkan api kekerasan dan kekejaman.

Membela Sesama

Berbagai konflik sosial yang terjadi harus dijadikan sebagai starting point dalam merumuskan komitmen membela sesama, yang merupakan spirit gerakan solidaritas sosial. Islam hadir menawarkan konsep peradaban yang rahmatan lil'alamin, memberi rahmat kepada seluruh semesta. Berarti, Islam mengedepankan keadilan, kesederajatan, dan kemanusiaan. Siapa yang menghalangi prinsip tersebut, maka perlu diajak dialog secara damai, dan tidak diperangi. Kalau diajak damai ternyata inkar, bahkan menawarkan angkara murka, baru Islam mengizinkan umatnya untuk bertahan diri. Bukan berperang untuk saling membunuh.

Konsep perdamaian (as-salam) inilah yang dijalankan Nabi Muhammad mendakwahkan Islam kepada seluruh semesta. Di Makkah selama 13 tahun, Nabi Muhammad bersosialisasi dengan warga kota. Nabi menawarkan prinsip teologi la ilaha illallah, tiada Tuhan selain Allah. Disamping secara teologi menegaskan tiada Tuhan yang absolut kecuali Allah, pernyataan keimanan tersebut juga memberikan dampak sosial politik, yakni penolakan terhadap berbagai bentuk perbudakan, penjajahan, dan intimidasi yang melanggar kebebasan dan hak asasi manusia.

Spirit perjuangan Nabi Muhammad SAW itu merupakan modal penting dalam membela rasa solidaritas yang saat ini sedang tercabik di negeri ini. Terlebih, di tengah kondisi bencana yang masih terus mendera Nusantara konflik masih sering terjadi.

Modal penting dan pelajaran berharga yang telah ditancapkan Nabi Muhammad dapat menjadi dasar nilai kehidupan luhur yang bisa dijalankan untuk seluruh umat di tengah kehidupan yang berbingkai Bhineka Tunggal Ika, di Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar