Selasa, 30 April 2013

Kompleksitas Subsidi Energi


Kompleksitas Subsidi Energi
Jusman Dalle  ;  Analis Ekonomi Society Reseacrh and Humanity
Development (Serum) Institute, Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI
SUARA KARYA, 29 April 2013


Melonjaknya belanja subsidi bermula dari penambahan kuota BBM bersubsidi. Sebelumnya di dalam APBN 2012, BBM bersubsidi ditetapkan 40 juta kilo liter, namun seiring besarnya konsumsi BBM masyarakat yang menyebabkan kelangkaan di sejumlah daerah, pada 15 Oktober 2012 lalu DPR menyetujui penambahan kuota 4,04 juta kilo liter dengan anggaran Rp 12 triliun sehingga kuota BBM bersubsidi mencapai 44,04 juta kilo liter.

Namun, ternyata penambahan kuota tersebut belum mampu mengcover kebutuhan BBM bersubsidi . Pada 3 Desember 2012, usulan tambahan kuota sebesar 1,23 kiloliter dari pemerintah kembali memperoleh persetujuan dari DPR. Sehingga, total BBM bersubsidi tahun 2012 mencapai 45,27 kilo liter yang akhirnya menyedot anggaran sangat besar.

Selain persoalan kebutuhan yang tinggi, subsidi BBM juga dinilai tidak tepat sasaran. Diperkirakan 72-95 persen BBM bersubsidi dinikmati oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas. Jika kita mengambil angka moderat, 70 persen saja subsidi BBM tidak tepat sasaran maka dari Rp 186,7 triliun total subsidi BBM, artinya Rp 130,7 triliun dinikmati orang yang tidak berhak.

Semestinya, pemerintah bisa membaca dan mengantisipasi lonjakan subsidi yang menyebabkan APBN jebol dengan melihat tren positif pada sektor perekonomian. Seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dipastikan linier dengan mobilitas masyarakat. Kebutuhan mobilitas disertai naiknya kebutuhan BBM.

Ini dibuktikan oleh penjualan mobil yang menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) hingga November 2012 sudah mencetak rekor terjual sebanyak 1 juta unit. Bahkan, hingga Desember ditargetkan tembus 1,1 juta unit mobil terjual. Demikian pula dengan sepeda motor, periode Januari-Oktober 2012 terjual sebanyak 6.025.697. Belied pengetatan uang muka (DP) bagi kredit otomotif yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) tak menyurutkan antusiasme masyarakat memiliki kendaranaan pribadi.

Indonesia mesti belajar dari negara maju yang menyiasati problem konsumsi BBM dengan membatasi kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi. Tapi, kebijakan tersebut didahului kebijakan lain. Pemerintah menyiapkan varian pilihan moda transportasi yang nyaman, cepat dan terjangkau sehingga aktivitas masyarakat tidak terganggu.

Pemerintah harus serius mencari solusi atas permasalahan yang sudah menjadi komplikasi ini. Sebab, BBM salah satu variabel penting dalam menggerakkan perekonomian, sehingga jika candu subsidi terus terjadi maka akan berimplikasi luas. Tidak hanya membebani APBN (dampak ekonomi), tapi juga berdampak politik. Isu kenaikan harga BBM sangat sensitif dan mudah digiring ke ranah politik, sebab menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Kita tentu tidak ingin setiap tahun disibukkan dengan isu kenaikan harga BBM yang menguras energi dan hanya menjadi dagelan para elit politik.

Sebagai negara growth leading economies, yaitu negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan membuka jalan bagi Indonesia menjadi berubah status dari negara berkembang menjadi negara maju, kebutuhan energi akan semakin besar sehingga politik energi harus diproyeksikan menjawab kebutuhan tersebut.

Kurang bijak jika masyarakat dipaksa mengurangi konsumsi energi. Sebab, energi menjadi kebutuhan operasional dalam aktivitas ekonomi. Yang tepat adalah mengalihkan dari penggunaan energi tidak terbarukan ke energi alternatif yang terbarukan dengan harga lebih murah. Disain penghematan tidak boleh mengorbankan aktivitas ekonomi masyarakat yang pada gilirannya berdampak pada daya beli dan rentan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Ingat, konsumsi domestik menyumbang hingga 70 persen pertumbuhan ekonomi.

Komplikasi subsidi energi ini sebenarnya kapasitas manajemen anggaran pemerintah. APBN 2013 sebesar Rp 1.683 triliun harus mampu dialokasikan secara tepat dan proporsional. APBN tidak boleh dijadikan instrumen politik. Jangan dialokasikan untuk sekadar menenggak popularitas penguasa seperti memberikan subsidi yang ternyata salah sasaran.

Sebagai solusi, maka pendekatan subsidi yang jika dikalkulasi (tidak saja subsidi energi), menembus angka Rp 300 triliun per tahun harus diarahkan pada penguatan ekonomi masyarakat yang sifatnya personal. Kebijakan subsidi harus menukik pada kegiatan ekonomi riil. Misalnya bantuan modal usaha, beasiswa, subsidi kesehatan dan skim subsidi yang sifatnya memacu produktivitas.

Subsidi seperti ini akan lebih efektif sebab tepat sasaran. Memperkuat akses ekonomi dan daya beli masyarakat. Standar ekonomi dan produktivitas dinaikkan, sehingga berapapaun harga BBM, TDL dan berbagai kebutuhan sehari-hari bisa terjangkau. Ini juga akan mengembalikan APBN pada track yang sebenarnya. Yaitu, sebagai instrumen fiskal yang menstimulus perekonomian, bukan komoditas politik penguasa.

Jika mempertahankan pola subsidi energi yang diterapkan saat ini, bakal terus menjebak APBN pada satu lingkaran setan. Logika subsidi yang mengikuti deret ukur ekonomi masyarakat berubah menjadi candu sehingga berakibat komplikasi untuk jangka waktu yang lama. Masyarakat juga akan semakin boros menggunakan energi bersubsidi. Padahal cadangan bahan bakar minyak, hanya tersisa untuk 12 tahun lagi. 
Karena itu, dibutuhkan political will pemerintah untuk mengubah pola subsidi energi.

Efek perubahan kebijakan itu tentu saja tidak bisa dihindari. Risiko berubah pasti ada. Misalnya, bakal menimbulkan kejutan bagi mayarakat yang telah lama menikmati subsidi. Pada titik inilah leadership pemerintah, khususnya Presiden sebagai pengambil kebijakan tertinggi, diuji. Berani mengambil risiko untuk kemaslahatan jangka panjang atau justru mengedepankan popularitas yang tidak berarti apa-apa bagi rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar