Minggu, 28 April 2013

Menjaga Kebenaran Agama


Menjaga Kebenaran Agama
Masduri ;  Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 26 April 2013


Tantangan terbesar umat beragama saat ini adalah maraknya kekerasan dan korupsi. Keduanya tumbuh subur seiring kebebasan berekspresi pasca reformasi 1998. Kekerasan bak jamur di musim hujan, menjelma seperti monster kehidupan yang memporak-porandakan kedamaian hidup masyarakat.

Modusnya pun sangat beragam, ada karena agama, kesukuan, politik, ataupun ekonomi. Kekerasan agama di Sampang, konflik kesukuan di Papua, konflik tambang emas di Bima, dan konflik lahan di Lampung, merupakan sedikit contoh kekerasan yang terekspos di media massa.

Sangat banyak kekerasan yang menghantui kehidupan kebangsaan saat ini. Tetapi, lagi-lagi sebanyak apapun kekerasan yang terekspos ke media, tidak banyak yang mengambil pelajaran darinya. Sehingga kekerasan terus berkembang. Kasusnya datang silih berganti kasus baru.

Begitupun dengan korupsi, jika masa orde baru legetimasi kekuasaan begitu kuat, sehingga koruptor-koruptor negara tidak bisa tersentuh, bahkan tak jelas rimbanya. Karena, kongkalikong kekuasan waktu itu sangat besar sekali. Meskipun sebenarnya banyak sekali koruptor yang mengeruk kekayaan. Tetapi pasca reformasi 1998, kebebasan pers telah membuka segala kebobrokan pemerintah. Setiap hari masyarakat disuguhkan dengan kasus korupsi. Baru-baru ini KPK menangkap mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), karena kasus suap impor daging sapi. 

Tertangkapnya LHI menambah daftar panjang politisi yang tertangkap KPK. Tetapi, lagi-lagi tidak banyak yang mengambil pelajaran dari kasus tersebut. Setelah itu pasti ada lagi yang tersangkut kasus korupsi yang terus terjadi.

Meningkatnya kasus tersebut tentu menjadi tanda tanya besar, mengingat Indonesia adalah negara yang agamis. Hingga saat ini setidaknya sudah ada enam agama yang diakui di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dari semua agama itu tidak ada satupun yang mengajarkan kekerasan dan korupsi. Semuanya mengajarkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia, baik dalam internal keluarga, berbangsa, dan menjadi bagian dari masyarakat dunia. Kalaupun selama ini ada sebagian kelompok agama yang melakukan kekerasan atas dasar agama, kasus itu hanya bias tafsir yang keliru dalam memaknai teks agama. Sehingga mereka seolah-olah dibenarkan melakukan kekerasan.

Begitupun dalam persoalan korupsi. Banyak elit pemerintah yang notabene mengimani agama melakukan korupsi. Bahkan yang sangat parah, Kementerian Agama (Kemenag) yang mengurusi tetek bengek keberagamaan di Indonesia menjadi instansi paling korup. Tak tanggung-tanggung yang dikorupsi pun salah satunya dana haji dan pengadaan Al-Quran. Sakralitas haji dan Al-Quran menjadi hilang bagi koruptor. Karena mereka tidak lagi berpikir kebenaran. Yang terpikir di benak mereka hanya kemenangan mengeruk uang negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya. 

Bagaimana pun caranya, ketika ada kesempatan mereka melakukan koruspi, termasuk agama.
Realitas ini menjadi catatan buram keberagamaan masyarakat Indonesia. Agama yang diyakini menjanjikan masa depan pasca kematian berupa surga atau neraka, tidak lagi dihayati dengan baik. Keberagamaan masyarakat Indonesia tak lebih dari sekedar legal-formal yang tertera di KTP atau kertas yang dibumbui identitas diri.

Pada tataran praktis mereka tidak bisa mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan yang mereka yakini. Sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara hampa spiritualitas. Yang ada hanya ritualitas keberagamaan yang setiap hari terpajang di banyak tempat ibadah. Mereka melakukan rajin ritual keagamaan, tetapi penghayatan nilai-nilai agama itu tidak tampak dalam realitas sosial. Kekerasan dan korupsi terus tumbuh subur tidak terbendung.

Peristiwa inilah yang menurut Friedrich Nietzsche disebut sebagai kematian Tuhan. Kematian Tuhan di sini bukan kematian Tuhan secara fisik. Melainkan kematian nilai-nilai Ketuhanan yang diajarkan dalam agama, karena dibunuh oleh manusia sendiri yang notabene meyakini kebenaran agama. 

Agama yang sakral tak lagi menjadi sesuatu yang menjanjikan di masa depan. Mereka lebih memilih terpuruk dalam keberagamaan mereka dengan mengingkari semua ajaran kebenaran dalam agama. Sehingga untuk mengejar kebahagian sesaat mereka saling berebut kekayaan materi, baik melalui kekerasan ataupun korupsi. Meskipun pada kenyataannya, banyak pelaku kekerasan dan korupsi mendekam dalam penjara dan terkutuk menjalani penderitaan hidup. Mereka tak menemukan kebahagiaan hidup, seperti awal mula keinginan mereka melalukan kekerasan dan korupsi.

Apapun alasannya tak ada agama yang mengajarkan kekerasan, apalagi korupsi. Jika kekerasan lahir atas nama agama, itu hanya karena ketidakmampun mereka membaca kebenaran teks keagamaan, sehingga melahirkan pemahaman yang liar. Begitupun dengan korupsi, ia lahir dari ketidakmampuan seseorang dalam menghayati kebenaran agamanya. Akibatnya ritualitas agama yang mereka lakukan tidak membekas dalam kehidupan sehari-harinya. Kerusakan terjadi di mana-mana, dan kita kehilangan keadaban berbangsa-bernegara.

Kekerasan dan korupsi, apapun alasan dan bentuknya, tidak akan terjadi dalam masyarakat agamis seperti Indonesia jika pemeluknya tidak sekedar melakukan ritual keagamaan. Tetapi, mereka juga mampu menghayati pesan-pesan moral yang tersirat dibalik ritaul keagamaan. Beragama bukan hanya sebetas kesaksian lisan dan hati atas kebenaran Tuhan Yang Maha Esa, melaikan juga harus diikuti oleh kesaksian prilaku atas atas kebenaran, bahwa Tuhan maha mengetahui, maha melihat, mendengar, dan maha-Maha lainnya yang tidak dimiliki oleh manusia.

Sehingga dalam bertingkah manusia selalu hati-hati menjaga kebenaran ajaran agamanya. Kekerasan dan korupsi, adalah penodaan terhadap kebenaran agama. Karena tak satupun agama mengajarkan pemeluknya berbuat kekerasan dan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar