Senin, 29 April 2013

Pantun Menteri Jiran


Pantun Menteri Jiran
Garin Nugroho ;  Sutradara Film
KOMPAS, 28 April 2013


Selasa, tanggal 9 April, saya diundang makan siang oleh Datuk Rais Yatim, Menteri Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia. Kami makan lauk-pauk Melayu dan ditutup teh tarik serta kue lupis. Undangan ini bukanlah bicara politik, melainkan bicara sesuatu yang menjadi minat kami berdua, yakni pantun di khazanah Melayu Nusantara. Harap mafhum, menteri yang dikenal dengan panggilan D’ Sury ini baru saja meluncurkan buku pantun bertajuk ”Pantun dan Bahasa Indah”.

Obrolan ini berujung pada kekhawatiran akan hilangnya daya hidup pantun dan maestro pantun yang kini telah berusia lanjut. Padahal, pantun adalah salah satu puncak budaya bahasa yang menjadi bagian dari tradisi tutur yang sangat penting. Simak pantun Menteri Jiran di bawah ini.
  
Orang Perak memasak inti
Diolah Inti dalam gandum
Ramai pihak tidak mengerti
Bahasa adalah kunci tamadun

Pantun sebagai bahasa tutur sesungguhnya mensyaratkan bahwa menjadi penutur di masyarakat tidaklah gampang, tidak saja hanya terampil berkomunikasi, tetapi juga berbahasa, beretika, berfilsafat hingga memahami sejarah dan ruang sosial politik masyarakat.

Pantun pada masanya, layaknya berita televisi, digunakan untuk menuturkan peristiwa, sejarah, pengumuman hingga tontonan serta upacara-upacara. Lebih jauh lagi, menuturkan alam, tata ruang maupun kebiasaan hidup masyarakat.

Namun, apakah yang terjadi dengan penutur sastra rakyat elektronik abad ini, baik itu lewat sinetron, hiburan hingga berita?

Para bijak pandai komunikasi berujar bahwa tekanan industri teknokapitalis berdampak dua wajah. Di satu sisi, bagi bangsa beradab, para penutur teknokapitalis disyaratkan memahami beragam etika, baik kode etik perlindungan anak, konsumen hingga jurnalistik. Alhasil, meski kompetisi serba massal, atas nama gaul dan selera, tetap dijaga berbasis etika komunikasi.

Kondisi ini akan melahirkan bisnis industri kreatif dengan kompetisi sehat, daya hidup tangguh dan panjang, masyarakat sipil kritis serta produktif. Pada puncaknya, bertumbuh ruang publik tontonan dan komunikasi yang beragam, memenuhi keberagaman masyarakat serta tuntutan kritis keluarga-keluarga. Yakni, seni tutur sebagai bagian pertumbuhan daya selera rasa dan karsa anggota keluarga. Haruslah dicatat, kualitas ruang publik tontonan dan komunikasi adalah cermin kualitas politik itu sendiri.

Di sisi lain, bangsa yang kalah dan menjadi pengonsumsi terbesar teknokapitalis industri, hanya mengelola budaya tutur elektronik dalam jargon pameran perhatian, atas nama ”gaul dan selera pasar” , tetapi abai pada falsafah dan etika tutur termasuk profesionalismenya. Maka, segalanya lalu digampangkan, vulgar, serba kemasan, kekerasan serta cepat jenuh dan hilang. Bahkan tumbuh menjadi bangsa yang tidak percaya kebersahajaan serta profesionalisme. Pada gilirannya melahirkan masyarakat konsumtif dan kehilangan panduan nilai kritis, cerminan situasi politiknya. Simak berita televisi kita, sungguh di luar etika, hampir 95 persen adalah kekerasan baik fisik atau simbolik.

Alhasil, pasar tidak dimuliakan, tetapi dilecehkan dan bisa jadi tumbuh menjadi bangsa yang dilecehkan.
Sewaktu pulang, di lorong kantor Dr Rais Yatim, saya masih sempat baca sebuah pantun yang ditulisnya di dinding lorong.

Rotan siput rotan belingkar
Anak itik patah kakinya
Hujan ribut gunung terbakar
Embun setitik padam apinya

Bukankah komunikasi tutur sosial politik kita tak lebih ”hujan ribut gunung terbakar”? Di manakah ”embunnya”? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar