Selasa, 30 April 2013

Perlambatan Versus Kualitas Ekonomi


Perlambatan Versus Kualitas Ekonomi
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 29 April 2013


Perlambatan ekonomi Indonesia tampaknya tak bisa dihindari. Beberapa indikator mulai mengarah ke sana. Impor barang modal terus turun. Pada Oktober 2012, impor barang modal (capital goods) masih 3,3 miliar dollar AS. Pelan tapi pasti angkanya susut menjadi 3,26 miliar dollar AS (November), 3,01 miliar dollar AS (Desember 2012), 2,63 miliar dollar AS (Januari 2013), dan 2,56 miliar dollar AS (Februari 2013). Penurunan impor positif jika itu terjadi pada impor barang konsumsi. Namun, negatif jika pada impor barang modal.

Sebabnya, barang modal (mesin-mesin) diimpor untuk memperbesar kapasitas produksi. Jadi, jika impor barang modal berkurang, kemampuan produksi industri juga melambat. Karena itu, benar yang dikatakan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal M Chatib Basri bahwa penurunan ini akan berdampak pada melemahnya investasi pada beberapa bulan mendatang. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi bakal melambat pada tahun ini.

Tanda perlambatan juga tecermin dari kinerja industri perbankan pada triwulan I-2013. Penghimpunan dana masyarakat atau pihak ketiga (DPK) cenderung stagnan. Rendahnya suku bunga simpanan diduga menyebabkan dana mengalir dari bank ke pasar modal. Inilah salah satu faktor yang bisa menjelaskan kenapa IHSG kita menembus level psikologis baru, 5.000. Padahal, tidak ada perubahan signifikan pada kinerja emiten ataupun perekonomian Indonesia.

Jadi, tidak selamanya penurunan suku bunga bank akan berdampak positif menaikkan konsumsi dan gairah investasi. Di titik tertentu, para penabung akan jenuh dan memilih portofolio investasi di lahan lain yang menjanjikan imbal hasil yang lebih tinggi. Kejadian ini dialami AS pada dasawarsa 1990-an. Keberhasilan Gubernur Bank Sentral Alan Greenspan menurunkan suku bunga memicu migrasi dana dari perbankan komersial ke pasar modal. Akibatnya, harga saham dan surat berharga naik dramatis, yang kemudian menimbulkan ”gelembung” finansial. Investor tidak cuma memburu saham bagus, tetapi obligasi yang kurang bagus pun (junk bonds) laris. Siklus berikutnya, ada gelembung yang membesar. Gelembung ini akhirnya meletus pada September 2008 dalam peristiwa subprime mortgage.

Di Indonesia, koreksi kecil-kecil bisa terjadi tanpa harus menyebabkan krisis atau krisis mini. Koreksi bisa terjadi di sektor moneter dan riil. Dari sektor riil, kemungkinan besar pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei 2013. Asumsinya, pada Juni, Juli, dan Agustus lebih rawan inflasi karena ada liburan sekolah, puasa, dan Lebaran. Apa pun skema yang ditempuh, menerapkan dua harga BBM (harga untuk mobil pribadi dan sepeda motor serta angkutan umum) ataukah hanya satu harga BBM, semuanya berisiko inflasi.

Kenaikan harga BBM bersubsidi berpotensi mendorong inflasi sekitar 1 persen. Ini perkiraan moderat. Secara ekonomi teknis, tambahan inflasi bisa ditekan di bawah 1 persen. Namun, agak sulit mengisolasi sentimen negatif dari kenaikan harga BBM. Ada potensi pelaku ekonomi berusaha menaikkan harga produknya di atas kalkulasi teknis. Inflasi bisa menjadi lebih tinggi.

Taruhlah ekspektasi inflasi 2013 menjadi 6,5 persen, maka BI Rate akan 6,75 persen. Target pertumbuhan kredit industri perbankan bakal terkoreksi. Namun, BI masih berharap kredit perbankan akan tumbuh 20 persen hingga akhir tahun ini. Pertumbuhan kredit 20 persen bisa mendukung pertumbuhan ekonomi 6-6,2 persen.

Meski tahun 2013 baru empat bulan, secara realistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak akan mungkin 6,8 persen sesuai target awal pemerintah, atau 6,5 persen seperti proyeksi BI. Pertumbuhan 6-6,2 persen merupakan proyeksi terbaru yang paling rasional. Kini saatnya mengambil posisi bahwa pertumbuhan ekonomi melambat tidak apa-apa asal diikuti dengan kualitas perekonomian yang membaik.

Sebagai ilustrasi, China juga sedang menghadapi substansi masalah serupa. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2013 cuma 7,7 persen. Ekspektasi terbaru pertumbuhan ekonomi 2013 maksimal 8 persen. hal itu rendah untuk ukuran mereka. China cenderung ingin mengerem ekonominya, yang penting efisien dan menyerap tenaga kerja. Ini kematangan sebuah perekonomian. Jika hukum ini diingkari, dikhawatirkan malah menyulut inflasi besar (The Economist, 20-26 April 2013). Inflasi China kini 4,3 persen dan tingkat pengangguran 4,1 persen. Tahun 2010, pengangguran masih 9 persen.

Indonesia juga di persimpangan jalan seperti ini. Pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan. Tahun lalu 6,23 persen, tahun ini mungkin 6,2 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi tahun lalu sebenarnya ”ditolong” oleh inflasi 4,3 persen. Inflasi rendah ini tidak murni karena ditopang subsidi energi Rp 300 triliun dari APBN 2012.

Situasi ini tidak sehat dan tidak boleh dilanjutkan. Subsidi mengalami misalokasi sehingga tidak efisien dan tidak berkeadilan. Karena itu, demi mengejar kualitas fiskal yang lebih baik, momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi tinggi harus sedikit dilonggarkan. Tidak ada gunanya berkorban subsidi BBM diberikan besar-besaran hanya untuk mengejar inflasi 4,5 persen dan pertumbuhan ekonomi 6,5 persen. Lebih baik sedikit berkorban inflasi 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi 6,2 persen, tetapi kualitas fiskal terjaga, berkelanjutan, dan menumbuhkan kepercayaan para investor.

Hasil penghematan subsidi energi bisa dialokasikan ke stimulus fiskal yang produktif dan menjanjikan angka pengganda (multiplier effect) yang besar, seperti infrastruktur. Pembangunan jalan tol sepanjang 12 kilometer di atas laut di Bali, misalnya, sungguh mengesankan. Biayanya hanya Rp 2,5 triliun. Ini mendemonstrasikan betapa efisien dan produktifnya investasi ini kelak.

Ditambah revitalisasi Bandara Ngurah Rai, memberikan dorongan keyakinan bahwa masih banyak hal kreatif yang bisa dilakukan bangsa ini untuk menyiasati perekonomiannya. Di tengah kepenatan ekonomi saat ini, masih ada asa yang tersisa sepanjang kita mau bekerja keras dan kaya kreativitas. Bukan cuma bisa mengeluh dan minta dikasihani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar