Senin, 27 Mei 2013

Agenda Helper sang Menkeu


Agenda Helper sang Menkeu
Candra Fajri Ananda ;  Ketua Program Doktor Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
JAWA POS, 27 Mei 2013


SETELAH dilantik, menteri keuangan yang baru, Muhammad Chatib Basri, berjanji menjadi helper, bukan stopper (Jawa Pos, 22 Mei). Untuk mewujudkannya, sudah banyak pekerjaan menunggu tokoh yang masih merangkap ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal itu. 

Pekan ini dimulai pembahasan APBN 2014. Asumsi APBN perlu sering dipelototi karena perubahan ekonomi dunia yang semakin tidak menentu serta dalam negeri menjelang pilpres dan pileg. Selama ini mesin pertumbuhan didorong sektor konsumsi dan pasar domestik. Untuk itu, penguatan ekonomi dalam negeri sangatlah penting, khususnya melebarkan aktivitas ekonomi (broad based), tidak terpusat pada beberapa daerah maupun sektor tertentu saja. 

Insentif fiskal -ini cocok dalam peran sebagai helper- perlu diberikan, termasuk penyiapan pembiayaan infrastruktur, agar menggairahkan swasta. Lambatnya penambahan infrastruktur ini memerlukan kebijakan yang lebih progresif. Termasuk mendorong public private partnership, yang bagus di konsep tetapi ternyata terkendala dalam implementasi. 

Pekerjaan mendesak lainnya adalah antisipasi dampak kebijakan BBM. Belajar pada pengurangan subsidi BBM 2008, pemda dilibatkan mengantisipasi dampak kebijakan ini. Pada 2009, Pemprov Jatim, di awal kepemimpinan Gubernur Soekarwo, mengenalkan kebijakan PAM DKB (Program Aksi Menanggulangi Dampak Kenaikan BBM). Tujuannya melindungi masyarakat lemah (buruh, penganggur, dan miskin) untuk selalu terlibat di dalam kegiatan ekonomi. Ada bantuan langsung tunai, ada bantuan modal, ada penciptaan pasar, serta pelatihan bagi pengusaha baru. Mereka harus tetap punya daya beli, bahkan menciptakan pasar tertentu (captive market). Sangat penting untuk Kemenkeu dan Bappenas bersama-sama daerah memikirkan dampak kenaikan BBM ini. 

Di sisi lain, terkait berkurangnya subsidi BBM, beberapa belanja terikat (mandatory spending) akan naik. Misal, Kemendikbud akan menikmati tambahan anggaran karena jumlah penerimaan negara naik (karena belanja subsidi berkurang). Karena itu, 20 persen alokasi anggaran pendidikan juga akan naik. Begitu juga dana transfer ke daerah, misalnya DAU (dana alokasi umum) juga akan meningkat karena 26 persen dari penerimaan negara untuk DAU. 

Tantangan selanjutnya adalah menjaga kesinambungan fiskal (fiscal sustainability). Defisit anggaran wajib tetap terkontrol di bawah 3 persen (sesuai dengan amanat UU Keuangan Negara). Saat ini, defisit anggaran Indonesia 2013 melebar. RAPBN menyebut defisit anggaran semula Rp 150,2 triliun menjadi Rp 153,3 triliun atau dari 1,62 persen menjadi 1,65 persen dari PDB pada 2013. 

Salah satu jalan mengontrol defisit itu adalah mewujudkan target penerimaan sekaligus mengontrol belanja inefisien. Perlu dijaga ruang fiskal (fiscal space) yang cukup. Ruang fiskal 23 persen saat ini tidak mampu membiayai infrastruktur yang sangat mendesak saat ini. Bila pengurangan subsidi BBM meningkatkan ruang fiskal, akan cukup baik. 

Perlu juga mengontrol belanja, khususnya belanja terikat (mandatory spending) seperti belanja pegawai. Reformasi birokrasi wajib dilakukan terus untuk menemukan ukuran yang tepat bagi besaran organisasi publik (right size). Kementerian keuangan bersama dengan KemenPAN dan RB, serta Kemendagri perlu meyakinkan DPR untuk merealisasikan reformasi birokrasi dari sekadar wacana dan diskusi. Ini semua demi meningkatkan layanan publik. 

Yang tak kalah penting adalah agenda perpajakan. Total ABPN 2012 sebesar Rp 1.507,7 triliun menjadi Rp 1.529,7 triliun pada 2013. Penerimaan pajak sekitar 70 persen. Sementara itu, tax ratio terhadap PDB kita tidak pernah mengalami perubahan yang signifikan, berkisar 12-13 persen (Thailand 17 persen). Penyebabnya termasuk masih lemahnya sistem administrasi perpajakan, sehingga basis datanya sangat lemah. Sebagai ilustrasi, ada berita dari 117 angkatan kerja, hanya sekitar seperlima yang punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 

Secara politis, negara yang dibangun dari uang pembayar pajak, juga menuntut demokratisasi atas pengelolaanya. Tuntutan transparansi, akuntabilitas serta partisipasi perlu kian kuat ditampilkan dalam SOP (Standard Operating Procedure) pengelolaan pajak. Berita pegawai pajak nakal, tentu sangat menganggu Kemenkeu meningkatkan tax ratio dan merealisasikan target penerimaan. Terobosan dari menkeu yang baru sangat ditunggu. 

Pekerjaan krusial lainnya adalah desentralisasi fiskal. Satu dekade lebih, pelaksanaan desentralisasi fiskal belum bermanfaat maksimal bagi daerah seperti janji buku teks otoda. Fenomena pemekaran daerah, maupun tuntutan kekhususan daerah, perlu direspon dengan insrtrumen desentralisasi fiskal yang lebih rasional. Kriteria DAU, DAK (Dana Alokasi Khusus) serta DBH (Dana Bagi Hasil) yang selama ini menjadi instrumen penting dalam desentralisasi fiskal belum mampu menjawab tuntutan, misalnya, berkurangnya ketimpangan antardaerah, pertumbuhan ekonomi, serta meningkatnya kualitas layanan publik. Sebagai pintu strategis, revisi perundang-undangan otoda, UU nomor 32 dan 33/2004 perlu difasilitasi dengan cepat untuk efektivitas kebijakan desentralisasi fiskal.

Agenda mendesak Pak Chatib Basri memang banyak untuk masa jabatan yang tinggal sekitar 17 bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar