Selasa, 28 Mei 2013

BBM dan Kurs Rupiah

BBM dan Kurs Rupiah
Farial Anwar ;  Direktur Currency Management
SUARA KARYA, 27 Mei 2013


Selama ini, nilai tukar rupiah memang sudah bergerak anomali. Pergerakannya tak sejalan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Di saat IHSG mencapai rekor level tertinggi, rupiah justru terus melemah. Demikian juga jika dibandingkan dengan mata uang lain di regional Asia.

Jika mata uang negara lain, seperti bath Thailand atau ringgit Malaysia, bisa bergerak mengikuti arus mata uang global, baik dalam sisi positif maupun negatif, maka rupiah berkecenderungan terus bergerak turun.
Sangat jelas, di dalam negeri, likuiditas dolar memang sangat kering. Supply tak sesuai dengan demand. Tak ada yang mau melepas dolarnya, semua menahan untuk menjual dolar, padahal kebutuhan valas tentu masih besar, baik untuk kebutuhan impor maupun membayar utang pokok dan bunganya.

Akhirnya pelemahan rupiah terhadap dolar AS malah kian dalam. Ditambah lagi, dolar AS kembali menjadi save heaven currency. Ini dibuktikan dengan naiknya indeks Dow Jones di Amerika Serikat (AS). Dolar pun kembali berjaya, sementara rupiah bahkan sempat hampir menyentuh kisaran Rp 9.800 per dolar AS.

Kondisi rupiah kelihatannya akan makin terancam menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), meski masih tidak jelas kapan kepastiannya. Pergerakan negatif rupiah pun tampaknya akan terus berlangsung sebelum dan sesudah terjadinya inflasi yang diperkirakan terjadi seiring kenaikan harga BBM.
Akan ada antisipasi dari pasar, akan ada yang namanya pembelian on rummor terhadap dolar (sebelum terjadi). Setelah terjadi inflasi tambahan, tentu rupiah pun dianggap tak lagi menarik, orang tak mau memegang rupiah, sehingga nilainya makin jatuh terhadap mata uang negara lain, termasuk dolar AS.

Suplier dolar saat ini praktis hanya Bank Indonesia (BI). Namun, BI tentu tak mungkin terus menahan pelemahan rupiah mengingat cadangan devisa pun sudah terus habis terkuras. Padahal, cadangan devisa bukan hanya untuk keperluan mengamankan mata uang, melainkan juga untuk kebutuhan impor.

Dengan kata lain, susah bagi kita untuk berharap bahwa nilai tukar rupiah akan kembali ke kisaran awal 2012. Saat itu rupiah ada di level Rp 9.300 per dolar AS. Saat ini, dolar bisa menyentuh Rp 9.700 saja sudah dianggap ideal untuk melakukan pembelian, terlebih akan ada tekanan negatif dari inflasi dampak kenaikan harga BBM.

Sangat disayangkan, pemerintah kita memang tak bisa mengelola nilai tukarnya dengan baik. Dibutuhkan keberanian besar untuk mengubah rezim devisa dan sistem nilai tukar kita. Rezim devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate) telah membuat rupiah kita selalu bergerak anomali.

Dengan rezim ini, sampai kapan pun akan sulit membuat rupiah stabil dan mampu bersaing dengan mata uang negara lain. Padahal, mata uang yang sehat seharusnya bisa menjamin anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang sehat pula. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar