Kamis, 30 Mei 2013

Deparpolisasi dan Krisis Representasi 2014

Deparpolisasi dan Krisis Representasi 2014
Wasisto Raharjo Jati ;  Analis politik di Bulaksumur Empat
Research Consulting Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 29 Mei 2013


PEMBERITAAN kasus korupsi yang dilakukan segolongan elite partai politik (parpol) di negeri ini akan menghasilkan gelombang apatisme publik pada Pemilu 2014. Masyarakat telah jemu dengan sikap para elite politik yang saban hari hanya diisi dengan kasus korupsi maupun skandal negatif lainnya. Boleh dibilang, kini banyak anggota masyarakat tidak memercayai parpol apa pun ideologi mereka, baik itu nasionalis, agamais, reformis, bahkan pragmatis sekalipun.

Adapun yang ada dalam benak masyarakat kontemporer, pemilu hanya menjadi ajang menyenangkan elite, tetapi tidak menyenangkan masyarakat. Idiom yang paling terkenal di masyarakat sekarang ini ialah memilih hanya membuat orang lain tambah kaya jika nasib sendiri tidak berubah. Adanya keterbukaan informasi yang begitu me luas menjadikan masyarakat kian peka dengan persoalan politik.

Maka, strategi klasik kampanye seperti pemberian janji populis ataupun ajang pembagian sembako gratis belum tentu akan diikuti elemen masyarakat untuk memilih figur dan parpol yang bersangkutan. Oleh karena itulah, pilihan menjadi golongan putih pada ajang Pemilu 2014 merupakan pilihan logis, sekaligus penghukuman dari masyarakat selaku pemegang mandat tertinggi kekuasaan negara terhadap para elite yang tidak peduli dengan mereka. Tidaklah mengherankan kalau stigma deparpolisasi akan secara kontinu menguat seiring dengan semakin terbukanya kasus korupsi yang dilakukan elite parpol di tahun politik ini.

Indikasi deparpolisasi menuju pilihan golongan putih kian menguat menjelang Pemilu 2014. Hal tersebut dapat disimak dengan terjadinya penurunan tingkat pemilih semenjak Pemilu 1999, dengan 93%. Pemilu 2004 berada di angka 84,9%, sedangkan di Pemilu 2009 voter turnout-nya berada di angka 70,99%. Bahkan pada Pemilu Kada Jabar 2013, tingkat voter turnout mencapai 55%. Itu bisa dibaca bahwa masyarakat kian apatis dengan pemilu serta parpol dan memilih jadi golongan pasif saja.

Kehilangan afeksi

Deparpolisasi secara harfiah dapat diartikan sebagai matinya parpol di ranah masyarakat yang disebabkan ketiadaan afiliasi massa terhadap partai dan minimnya aksesibilitas masyarakat kepada partai (Muhtadi, 2012).

Artinya masyarakat kini telah hilang rasa afeksi dan rasa afinitas kepada parpol yang dirasa semakin menjauh dari masyarakat. Minimnya kedua rasa tersebut merupakan manifestasi kegagalan parpol untuk menyeimbangkan fungsi mereka dalam tiga ranah. Fungsi ranah partai menurut Richard Katz dan Peter Mair dalam The Evolution of Party Organizations in Europe: Three Faces of Party Organization (1994) ada tiga macam; party in public office, party in the ground, dan party in the central office.

Partai bekerja dalam ranah kekuasaan publik (public office) guna memastikan berjalannya aspirasi publik yang masuk ke tubuh parpol. Partai memainkan fungsi sebagai pengejar kekuasaan (power seeker) guna menjabat sebagai pengatur jalannya pemerintahan dan kekuasaan negara. Adapun partai dalam ranah kekuasaan formal berarti menjalankan fungsi sebagai pelaksana kekuasaan legislatif dan eksekutif baik sebagai menteri, presiden, maupun anggota parlemen di tingkat nasional dan lokal.

Meski demikian, seiring dengan lamanya parpol berada dalam kekuasaan, baik kekuasaan publik (public office) maupun kekuasaan formal (central office), partai kemudian melupakan dimensi keseimbangan fungsi ranah ketiga, yakni partai dalam ranah masyarakat (party in the ground).

Kondisi tersebut menyebabkan partai terbajak oleh elite sehingga menjadikan orientasi berpartai dan berideologi untuk menyeimbangkan fungsi di ketiga ranah tersebut menjadi hilang. Pencarian menuju kekuasaan abadi menjadi nilai baru sekaligus distorsi fungsi parpol. Masyarakat pun diperlakukan sebagai objek pasif yang dicekoki janji populis dan bukan diperlakukan sebagai subjek aktif yang berperan sebagai pengawas jalannya partai menuju kekuasaan.

Modal kampanye

Harus diakui, hubungan partai dan masyarakat saat ini tidak lebih dari sekadar hubung an ekonomi belaka dan bukan didasari hubungan demokrasi. Kebijakan populis partai yang dikenal sebagai pork barrel policy seperti pemberian bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) menjelang pemilu ataupun kebijakan populis lainnya sebenarnya tidak lebih dari sekadar uang semir dari partai kepada masyarakat agar terus memilih mereka pada pemilu nanti.

Adanya logika ekonomi dalam hubungan partaimasyarakat menjadikan hukum supply-demand berlaku dalam manajemen kampanye seperti money politics yang tujuannya membeli suara dan hak masyarakat secara ekonomi pasif. Jika sudah demikian, tidaklah mengherankan kalau aspirasi masyarakat tidak lebih sekadar komoditas ekonomi bagi partai dan bukan dimaknai komoditas modal sosial yang perlu diperjuangkan parpol.

Maka menjelang Pemilu 2014 ini, pilihan menjadi golongan putih merupakan implikasi ketiadaan representasi dari masyarakat. Partai gagal menjalankan peran sebagai representasi substantif ataupun representasi deskriptif yang tujuannya menjadikan parpol bertindak dari (acts for) masyarakat.

Parpol lebih suka berperan sebagai representasi pemodal daripada rakyat. Dalam suasana kehidupan politik yang serbaekonomi-materialistis seperti saat ini, representasi masyarakat sebagai demos menjadi hilang sama sekali.
Jiwa demos dari masyarakat kini telah tergadai oleh jiwa oikos yang diberikan partai politik yang lebih memaknai hubungan partai dan masyarakat tidak lebih dari sekadar hubungan ekonomi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar