Kamis, 30 Mei 2013

Dongeng Faktual Negeri Rusti

Dongeng Faktual Negeri Rusti
Agus Dermawan T ;  Penulis Buku-Buku Berbasis Seni, Sosial dan Budaya
KORAN TEMPO, 29 Mei 2013


“Serangkaian kejadian ini pernah dibongkar oleh beberapa stasiun televisi. Tapi disanggah habis-habisan oleh pejabat Direktorat Kementerian Tenaga Kerja.”
Harian Warta Kota edisi 16 Mei 2013 memuat foto headline yang rada mencengangkan. Foto itu menggambarkan seorang lelaki paruh baya sedang mengayuh sepeda di Jalan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di bagian depan sepeda terdapat keranjang berisi tumpukan barang. Di atas barang itu tampak tergeletak seorang bayi, dengan bagian atasnya ditutupi plastik.
Foto tersebut diimbuhi artikel pendek dengan judul "Anak Sakit Tak Punya Uang!". Artikel tersebut, selain menceritakan upaya si bapak mencari dokter untuk bayi, berisi kisah lelaki pengendara sepeda motor yang terharu, dan lantas memberikan sebagian uangnya untuk bapak itu.
Foto ini memperoleh respons ramai. Di kolom "Pembaca Bicara" koran edisi esoknya, muncul puluhan surat (yang tadinya dikirim sebagai surat elektronik). Hampir semua surat menanggapi foto dengan rasa miris, kasihan, dan empati mendalam. Namun, dari puluhan surat, ada dua yang bernada lain. Dua surat itu meyakini bahwa yang dilakukan si bapak adalah sebuah trik untuk mengemis, dengan cara memeras belas kasihan orang.
Apa yang dikatakan dua penulis surat di atas ternyata diterima oleh banyak orang yang saya temui. "Dia adalah bagian dari gerombolan pengemis yang setiap kali dikumpulkan di beberapa sudut kota, untuk berpraktek mengemis dengan segala cara, dari pagi sampai senja hari. Ada organisasinya, ada bosnya," kata teman yang sangat saya percaya. Ia menunjukkan puluhan foto faktual tentang hal itu.
Sambil tercenung, saya langsung membayangkan betapa dunia tipu-tipu sudah kuat berjangkit di setiap strata masyarakat. Dan mental koruptif sudah genap menyerap sampai ke level akar rumput. Lalu, dengan keterlibatan kelas akar rumput dalam lingkaran koruptif, lengkaplah struktur arsitektur korupsi di Indonesia. 
Yang level sepeda menipu pengendara sepeda motor. Sementara kita tahu pengendara sepeda motor sering main selipselapan dengan polisi kelas jalan raya. Polisi di tikungan berkedip-kedip mata dengan pengendara mobil angkutan sampai sedan. Untuk kemudian segenap pengendara mobil dikejutkan oleh ledakan skandal jenderal simulator ujian SIM. Sebuah realitas yang diam-diam menegaskan bahwa korupsi telah menjadi bagian dari kebiasaan semua lapisan. Yang kemudian (jangan-jangan) berkembang jadi "kebudayaan" dengan seribu varian.
Monster
Bahwa mental koruptif sudah sukses merusak masyarakat lapis atas sampai irisan paling bawah, tetangga saya adalah saksi aktual. Dia mempekerjakan seorang gadis sebagai pembantu rumah tangga, sebut saja Rusti namanya. Di sela pekerjaan, Rusti sembunyi-sembunyi bermain telepon seluler, dan berhubungan dengan lelaki yang tak dikenal. Dari situ, Rusti ditawari pekerjaan di tempat baru. Tergiur gaji "tinggi" yang dijanjikan, Rusti pun mau. Namun baru dua hari bekerja di tempat baru, Rusti telepon ke majikan lama. Ia bilang bahwa dia ditipu oleh lelaki itu, yang ternyata cuma calo pemorot duitnya. Rusti pun balik kerja di rumah lama dengan dompet yang kosong-melompong.
Baru tiga minggu balik kerja, seorang temannya menawari jadi TKI di luar negeri. Rusti pun pamit untuk masuk ke kamp pelatihan TKI. Untuk biaya masuk ke sana, ia harus mengutang kepada teman. Untuk sampai pintu keberangkatan, ia harus menghitung utang kepada yayasan. Sepulang dari sana, setelah dua tahun bekerja, ia dikutip monster-monster haus uang di Bandara Soekarno-Hatta. Pengutipan itu dimulai di pintu pesawat, seputar ruang imigrasi, koridor kepulangan, terminal bus dan taksi, pos porter, sampai mobil angkot yang membawanya ke desa, dengan melibatkan sopir dan kernetnya. Serangkaian kejadian ini pernah dibongkar oleh beberapa stasiun televisi, tapi disanggah habis-habisan oleh pejabat Direktorat Kementerian Tenaga Kerja.
Syahdan, Rusti, yang namanya dipanjangkan sendiri menjadi "yen keterusan yo mesti mati", kembali lagi ke majikan lama. Kepada majikan, ia berkata, "Aku ingin menulis surat kepada Presiden untuk mengadukan soal ini!" Sebuah inisiatif yang berani, tentunya. 
Pemimpin perasa
Rusti membayangkan presidennya sungguh ideal seperti presiden-presiden fiktif dalam film-film Amerika. Film yang pernah ia tonton sekali waktu, di sela-sela kehebohan sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Ia membayangkan Presiden Indonesia seperti Harrison Ford dalam film Air Force One, yang berjuang menyelamatkan orang-orang malang sampai titik darah penghabisan. Ia membayangkan presidennya seperti Morgan Freeman dalam film Deep Impact. Atau seperti Bill Pullman dalam film Independence Day, yang cepat menindak semua penyelewengan karena korupsi sekecil apa pun dianggap bisa melahirkan kekisruhan besar. Tiga karakter presiden ideal yang juga diidamkan masyarakat Amerika, sebagaimana terdata dalam hasil jajak-pendapat The Credits, yang disponsori Motion Picture of America.
Rusti juga percaya bahwa presiden sekarang adalah orang yang iso rumongso, bisa merasa (dengan segenap hati nuraninya). Bukan sekadar pemimpin yang rumongso iso (merasa bisa) lantaran tinggi pangkatnya. Rusti juga meyakini bahwa presidennya adalah manusia-perasaan, yang mampu dengan cepat memahami keluh-kesah rakyat selevel dia. Seperti Sukarno zaman dulu, yang mampu meraba gejala bahwa bangsa Indonesia bisa rusak dari bagian atas sampai bagian paling bawahnya, kalau tidak dibakar semangat character building. Ooo, ihwal Presiden Sukarno ini, Rusti pernah mendengar secuil kisahnya dari percakapan majikan dengan tamunya. 
Dalam dialog itu, si majikan terdengar mengutip kata-kata Sukarno dari buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid dua. ".... Saya sering dicemooh orang yang tidak senang kepada saya bahwa saya adalah manusia-perasaan (gevoels-mens), dan bahwa saya di dalam politik terlalu bersifat manusia-seni, terlalu bersifat artis. Alhamdulillah ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa saya dilahirkan dengan sifat-sifat gevoels-mens dan artis, dan saya bangga bahwa bangsa Indonesia pun merupakan satu bangsa-perasaan, satu gevoelsvolk, dan bangsa artis, satu artistenvolk." Tuntas kata, Rusti berharap presiden sekarang adalah manusia-perasaan seperti Sukarno dulu. 
Syahdan, surat Rusti untuk Presiden itu sudah dikirim sangat lama. Tapi krisis mental dan moral bangsa Indonesia terus menjadi-jadi saja. Rusti nyaris putus harapan, sampai suatu kali akhirnya ia tahu ihwal lapisan-lapisan kerja birokrasi ini: setelah pengaduannya lama sekali dipelajari, Presiden menyerahkan berkas Rusti kepada menteri. Setelah lama diamati, menteri menginstruksikan direktorat jenderal agar meneliti. Setelah lama diteliti, direktorat jenderal melimpahkan ke direktur institusi. Untuk kemudian direktur institusi meneruskan surat itu ke kepala bagian penanganan urusan, agar keluhan si rakyat kecil itu ditangani. 

Lantas, ini dia. Lantaran kepala bagian memilih "map-map yang tebal", map tipis pengaduan Rusti hilang di selipan! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar