Selasa, 28 Mei 2013

Iran Setelah Ahmadinejad

Iran Setelah Ahmadinejad
Mehdi Khalaji ;  Senior Fellow pada Institute for Near East Policy di Washington, DC
TEMPO.CO, 27 Mei 2013



Espandiar Rahim Mashai, orang yang diinginkan Mahmud Ahmadinejad untuk menggantikannya sebagai presiden, tidak akan maju sebagai calon presiden dalam pemilihan presiden yang akan berlangsung di Iran pada 14 Juni mendatang. Begitu juga halnya dengan mantan presiden Akbar Hashemi Rafsanjani. Didiskualifikasinya kedua orang ini membawa pesan yang kuat dari Pemimpin Agung Ayatollah Ali Hosseini Khamenei. Singkatnya, Khamenei tidak akan menoleransi setiap upaya mengurangi kekuasaannya dan bertekad menghindari setiap macam friksi yang menjadi ciri hubungannya dengan presiden-presiden terdahulu, terutama dengan Ahmadinejad.

Didiskualifikasinya Mashai dan Rafsanjani mengungkapkan, sekali lagi, perpecahan yang terjadi di jantung struktur politik Iran oleh adanya dua pemimpin eksekutif, yang masing-masing berada di tangan Pemimpin Agung dan Presiden. Ketika Khamenei secara terbuka mendukung dipilihnya kembali Ahmadinejad sebagai presiden pada 2009, tidak seorang pun memprediksi bakal terjadi ketegangan setelah itu di antara dua otoritas utama negeri tersebut.

Tapi mendukung Ahmadinejad ini ternyata merupakan keputusan yang mahal harganya bagi Khamenei—dan bagi Republik Islam Iran. Bukannya mendekatkan diri dengan Khameini—seperti yang diharapkan—Ahmadinejad justru mulai memajukan agenda yang nasionalis anti-ulama. Ahmadinejad dengan efektif memanfaatkan sumber daya yang ada pada diri Khameini untuk menantang otoritas pemimpin agung itu dan membangun jaringan ekonomi serta lingkungan pengaruhnya sendiri. Selama 4 tahun terakhir, Ahmadinejad telah berulang kali mencoba merusak pengaruh para ulama yang memerintah negeri itu dalam memutuskan suatu kebijakan.

Pada 2011, Ahmadinejad berusaha memecat Heider Moslehi—sekutu Khamenei—dari kedudukannya sebagai kepala intelijen, tapi dengan cepat dicegah Khameini. Ahmadinejad juga pernah memangkas aliran dana ke lembaga-lembaga agama, membantu lembaga-lembaga kelompoknya sendiri untuk mendirikan bank swasta dengan mengendurkan ketentuan-ketentuan peraturan, serta menantang lembaga-lembaga perekonomian dan militer yang paling berkuasa, yaitu Korps Garda Revolusioner Islam (IRGC).

Tapi, sementara perpecahan antara Khamenei dan Ahmadinejad merebak, dukungan kepada Ahmadinejad menurun dengan signifikan. Media yang dikelola negara bahkan menamakan loyalis-loyalis Ahmadinejad itu sebagai “kelompok penyeleweng”. Tidak seperti dulu pada masa jabatan pertama Ahmadinejad sebagai presiden, media-media non-negara sekarang secara terbuka mengecam agenda ekonomi dan politiknya.

Dengan akan berakhirnya masa jabatannya yang kedua dan terakhir ini, tampaknya tidak mungkin presiden yang telah menurun popularitasnya itu akan melepaskan upayanya untuk mengguncang kedudukan mereka yang berkuasa saat ini. Sebenarnya Ahmadinejad telah lama memajukan Mashai sebagai penggantinya, tapi Khamenei sekarang telah membatalkan pencalonan Mashai itu sama sekali.

Mashai adalah salah seorang tokoh paling kontroversial di Iran. Ia banyak dikecam pemimpin-pemimpin konservatif karena pandangan-pandangannya yang reformis anti-ulama. Pada 2009, setelah Khamenei menolak keputusan Ahmadinejad mengajukan Mashai sebagai penggantinya, Ahmadinejad dengan lancang mengangkatnya sebagai kepala staf kepresidenan, suatu langkah yang membuat Khamenei marah.

Ahmadinejad bukan pejabat tinggi pertama di Iran yang berani menantang Pemimpin Agung. Ayatollah Hossein Ali Montazeri—salah seorang ulama paling senior di Iran—bakal menjadi Pemimpin Agung itu sendiri andaikata ia tidak berselisih dengan Ayatollah Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran beberapa bulan sebelum wafatnya.

Montazeri, salah seorang paling berpengaruh selama dekade pertama Republik Islam Iran, membenarkan wewenang absolut di tangan Pemimpin Agung, yang dianggap bidah oleh banyak ayatullah. Tapi ia segera mulai menantang para pemimpin garis keras negeri itu—dan terus berbuat demikian sampai wafatnya pada 2009.

Montazeri, sebagai Ayatullah Agung (ulama paling senior di antara teolog-teolog muslim Syiah), memiliki wewenang yang lebih besar dalam masalah agama, daripada Khamenei, mempertanyakan kualifikasi Khamenei mengeluarkan fatwa atau menggantikan Khomeini sebagai Pemimpin Agung. Montazeri dikenai tahanan rumah selama 6 tahun; pelaku unjuk rasa yang mendukungnya ditindas, dan banyak di antara para pengikut serta teman dekat Montazeri dipenjarakan, disiksa, dibunuh, atau dipaksa meninggalkan tanah air.

Begitu juga dengan Abulhassan Banisadr, Presiden pertama Republik Islam Iran. Ia berselisih dengan Khomeini mengenai pembagian wewenang. Banisadr dimakzulkan pada 1981 setelah cuma 1 tahun menjabat presiden. Ia melarikan diri ke Prancis, di mana ia terus menetap. Bentrokan di jalan-jalan raya antara pendukung dan penentang Banisadr mengakibatkan banyak kematian di kedua belah pihak.

Dalam banyak hal, jalan hidup Ahmadinejad mirip jalan hidup Banisadr. Keduanya relatif tidak dikenal sebelum menjadi presiden. Keduanya bergantung pada backing Pemimpin Agung untuk memperoleh kedudukan; dan keduanya kehilangan dukungan sementara mereka berupaya mengurangi pengaruh hierarki ulama dan IRGC. Yang paling penting, keduanya tidak berhasil menciptakan suatu organisasi eksternal yang bisa mereka andalkan bila proteksi resmi yang mereka harapkan tidak terwujud.

Bahwa Ahmadinejad dibiarkan menyelesaikan masa jabatan yang kedua sebagai presiden—yang sering diragukan media bakal terjadi—mencerminkan pentingnya bagi Khamenei mempertahankan citra Iran yang stabil. Tapi, untuk mencapai tujuan itu, Khamenei perlu mempertanggungjawabkan langkah-langkah yang diambil Ahmadinejad yang sering tidak bisa diprediksi itu. Ahmadinejad, yang berada dalam posisi nothing to lose, bisa memutuskan untuk mengguncang stabilitas Republik Islam Iran bila dianggap perlu demi kelanjutan eksistensinya sendiri.

Karena sekarang Mashai sudah didiskualifikasi sebagai calon presiden, kegusaran Ahmadinejad mungkin bakal terwujud dalam perilaku sebelum dan sesudah pemilihan ini, seperti mengungkap korupsi di kalangan atas. Ia juga mungkin akan menentang Khamenei secara langsung, menggambarkan dirinya sebagai seorang tokoh patriotik anti-ulama. Tapi langkah seperti itu berbahaya, sehingga mungkin harus dibayar dengan kematian sendiri.

Seusai pemilihan nanti, sengketa di antara kelompok yang telah lama melumpuhkan pembuatan kebijakan di Iran kemungkinan besar terus berlangsung. Tapi pernyataan yang menyangkut kebijakan nuklir Iran bisa membawa konsekuensi yang serius. Sesungguhnya, tidak ada pemerintah yang kuat dan menyatu yang mampu membentuk konsensus menutup kemungkinan—bahkan bagi Khamenei—untuk mengubah haluan. Akibatnya, tidak ada pilihan lain bagi Iran selain daripada terus berada dalam sengketa diplomatik dengan Barat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar