Kamis, 30 Mei 2013

Melihat Kasus Indosat-IM2 secara Proporsional

Melihat Kasus Indosat-IM2 secara Proporsional
Heru Sutadi ;  Pengamat Telekomunikasi, Mantan
Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)
SUARA KARYA, 30 Mei 2013


Kasus hukum yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto menarik untuk disimak. Setelah bergulir selama beberapa bulan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kasus ini semakin menjadi jelas. Para saksi ahli yang dihadirkan di dalam persidangan mampu menjelaskan duduk perkara kasus ini secara objektif dan gamblang.

Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) menganggap telah terjadi pelanggaran hukum dari kerja sama yang dilakukan oleh PT Indosat dan anak perusahaannya, IM2 terkait dengan penggunaan frekuensi 2,1 Ghz. Menurut Kejagung, kerja sama tersebut telah melanggar minimal dua peraturan. Sebagai frekuensi primer, frekuensi 2,1 Ghz tidak boleh digunakan oleh pihak lain selain pemenang lelang dan oleh karenanya kerja sama keduanya dianggap melanggar Pasal 2 Ayat 2 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 7 Tahun 2006. Kerja sama tersebut juga dituduh melanggar Pasal 25 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 karena frekuensi primer tidak boleh dialihkan.

Sepintas dakwaan tersebut tampaknya ditujukan untuk menyelamatkan industri telekomunikasi, namun kita harus melihat dasar hukum yang dipakai dan kondisi telekomunikasi nasional yang sesungguhnya. Perlu dicermati bahwa sedari awal Kementrian Telekomunikasi dan Informasi (Kominfo) selaku regulator industri telekomunikasi sudah menyatakan kalau tidak ada peraturan yang dilanggar oleh Indosat dan IM2 dalam kerja sama keduanya. Bahkan, pihak Kominfo sudah mengirimkan surat resmi kepada Kejagung, akhir tahun lalu berkenaan dengan hal ini, yang menyatakan dengan jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Indosat dan IM2 sudah sesuai dengan UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Bisa dimengerti kalau banyak pihak, terutama kalangan awam, mengalami kesulitan dalam memahami kasus ini karena pada dasarnya industri telekomunikasi merupakan sebuah industri yang sarat akan istilah dan jargon teknis. Contoh sederhananya, misalnya, definisi 'penyedia jaringan', 'penyedia jasa' dan 'frekuensi'.

Perlu dicatat bahwasanya kerja sama bisnis antara para penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa merupakan amanah Undang-Undang sehingga efisiensi nasional tercapai, di mana jaringan telekomunikasi dapat menjangkau masyarakat secara lebih luas. Hal ini juga diungkapkan oleh para saksi ahli yang hadir di dalam persidangan. Sebuah penyelenggara jaringan, seperti Indosat, merupakan pihak yang mendapat izin dari pemerintah melalui Kominfo untuk mengelola frekuensi.

Sementara penyelenggara jasa, seperti halnya IM2, memang tidak diperbolehkan mengelola atau memiliki jaringan. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan penyelenggara jasa telekomunikasi melakukan perjanjian komersial dengan para penyelenggara jaringan sehingga layanan telekomunikasi kepada publik dapat terlaksana.

Saat ini terdapat lebih dari 280 penyelenggara jasa internet (ISP) di Indonesia, di mana mereka pada prinsipnya tidak memiliki jaringan sehingga melakukan kerja sama dengan para penyedia jaringan. Bentuk kerja sama yang dilakukan oleh Indosat dan IM2 merupakan kerja sama yang wajar dilakukan dalam industri telekomunikasi nasional, bahkan dianjurkan oleh Kominfo. Lebih lanjut, Indosat, sebagai salah satu pemenang lelang frekuensi 2,1 Ghz tahun 2006, sebenarnya tidak mengalihkan alokasi frekuensi 2,1 Ghz namun menyewakan jaringan seluler yang bekerja pada pita frekuensi 2,1 GHz dan pita frekuensi lainnya kepada IM2 dalam sebuah perjanjian kerja sama komersil. Kerja sama seperti ini sesuai dengan Undang-Undang Telekomunikasi pasal 9 ayat 2. Sementara tuduhan telah terjadinya potensi kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun dari kerja sama tersebut sudah dipatahkan. Sebelumnya, audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa telah terjadi potensi kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun akibat dari perjanjian kerja sama antara Indosat dan IM2 dalam penggunaan frekuensi 2,1 Ghz. Namun, akhirnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memutuskan kalau audit tersebut cacat hukum sehingga tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti utama di dalam persidangan.

Dalam putusannya, majelis hakim PTUN menyebutkan bahwasanya audit tersebut tidak mengikuti prosedur yang ada, yaitu tidak diawali dengan permintaan dari Kominfo, tidak ditemukannya penggunaan frekuensi bersama Indosat-IM2 sesuai fakta persidangan dan BPKP tidak pernah melakukan pemeriksaan terhadap objek audit, yakni PT Indosat Tbk dan anak usahanya IM2. Oleh karenanya, PTUN menganggap audit BPKP melanggar Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. 

Peningkatan penetrasi broadband di Tanah Air akan mendorong pencapaian pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan sesuai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Menurut hasil survei International Telecommunication Union (ITU), setiap peningkatan penetrasi broadband sebesar 10 persen akan berdampak pada penerimaan domestik bruto (PDB) di negara tersebut sebesar 1.38 persen. Sementara Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi Indonesia tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 3.2 persen terhadap PDB, jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan dampak yang diberikan sektor lain.

Oleh karena itu, kasus Indosat dan IM2 ini harus mendapatkan perhatian. Apa pun keputusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim akan mempengaruhi industri telekomunikasi nasional dan semua pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk jutaan pelanggan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar