Senin, 27 Mei 2013

Membumikan Kebijakan Fiskal


Membumikan Kebijakan Fiskal
A Prasetyantoko ;  Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 27 Mei 2013


Ada yang mengatakan, Menteri Keuangan ”mengantor” lebih lama di Senayan ketimbang di Lapangan Banteng. Begitu dilantik menjadi Menteri Keuangan, M Chatib Basri sudah harus ke DPR membicarakan revisi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013. Ada beberapa isu krusial di sana.
Pertama, target pertumbuhan sebesar 6,6-6,8 persen jelas tak bisa dipertahankan. Setelah realisasi pertumbuhan triwulan I-2013 hanya mencapai 6,02 persen, pemerintah merevisi pertumbuhan 2013 menjadi 6,2 persen. Kedua, asumsi nilai tukar sebesar Rp 9.300 per dollar AS direvisi menjadi Rp 9.600 akibat tekanan begitu besar pada neraca pembayaran. Ketiga, inflasi sebesar 4,9 persen direvisi menjadi 7,2 persen, sebagai antisipasi kenaikan harga bahan bakar minyak.

Perdebatannya tak hanya soal perubahan angka, tetapi juga asumsi dan implikasi di baliknya. Sebagai penanggung jawab fiskal, menteri keuangan harus menyinkronkan sisi pendapatan dan pengeluaran agar perekonomian tetap bertahan. Kebijakan fiskal, bersama dengan moneter, berfungsi mendinamisasi perekonomian, menahan apabila perekonomian meluncur kencang (anti-cycle), dan mendorong apabila bergerak lambat (pro-cycle).

Untuk merancang kerangka kebijakan fiskal dalam konteks situasi makro diperlukan kemampuan teknokratis. Namun, begitu menghadapi parlemen dibutuhkan kemampuan lobi layaknya politisi. Kombinasi keduanya membutuhkan ”seni” dari seorang menteri keuangan.

Pengalaman Jepang keluar dari fase deflasi panjang menarik disimak. Di bawah kepemimpinan perdana menteri baru Shinzo Abe terjadi sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter yang berorientasi pada pertumbuhan. Tentu saja, faktor kepemimpinan dari PM sangat menentukan. Namun, operasionalisasi teknis kebijakan ini juga tak boleh dilupakan. Keberhasilan Abenomics ditentukan oleh kombinasi solidnya kepemimpinan dan sinkronnya kebijakan fiskal-moneter.

Sebenarnya, tantangan perekonomian kita lebih sederhana, meski bukan berarti lebih mudah. Dari sisi fiskal ada beberapa hal penting. Pertama, penerimaan pajak diperkirakan menurun Rp 40 triliun. Kedua, besaran subsidi menjadi sesuatu yang ”problematis” karena beban politisnya lebih besar ketimbang pertimbangan ekonomis. Jika pendapatan berkurang, belanja sulit ditekan, satu-satunya cara adalah menambah utang. Jika tidak, defisit fiskal akan melampaui 3 persen, batas yang diperbolehkan oleh undang-undang. Kecuali, jika kita mau masuk pada level perdebatan yang lebih maju: apakah undang-undang tersebut masih layak dipertahankan? Dengan kata lain, apa salahnya defisit kita melebihi 3 persen?

Dengan cara berpikir business as usual, kebijakan fiskal kita akan terbelenggu oleh persoalan-persoalan klasik, seperti besaran subsidi yang tidak produktif, defisit anggaran yang membengkak, dan potensi pendapatan pajak yang tidak maksimal serta diwarnai berbagai praktik kecurangan. Persoalan ini dihadapi oleh hampir semua kebijakan fiskal di banyak negara. Kita terjebak pada kebijakan klasik yang umum (generik).

Dalam kerangka yang lebih luas, kebijakan fiskal menghadapi beberapa kendala pokok, seperti daya saing, kualitas pertumbuhan, ketimpangan dan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan sederhananya, apa yang bisa disumbangkan oleh menteri keuangan baru terhadap peningkatan kualitas kehidupan hidup sehari-hari masyarakat. Jika tidak ada transmisi yang menyambungkannya, kebijakan fiskal masih belum membumi.

Upaya membumikan kebijakan pernah dilakukan Gubernur Bank Indonesia terdahulu, Darmin Nasution. Dalam pidato perpisahannya, ia menyatakan obsesinya mengaitkan kebijakan moneter yang rumit dengan kehidupan riil masyarakat. Intinya, bagaimana kebijakan moneter bisa ”dirasakan” rakyat baik secara langsung maupun tidak. Ada banyak cara dan pendekatan, tetapi dimulai dari visi besar, dan pada akhirnya harus berani keluar dari ”pakem” kebijakan. Jadi, selain visi dan kompetensi, juga dibutuhkan ”nyali” untuk mewujudkannya.

Perlu dicari kerangka membumikan kebijakan fiskal. Tentu tidak bisa bersifat hitam-putih dan mengukur dampaknya secara langsung dan dalam jangka pendek. Namun tetap diperlukan kerangka besar tentang bagaimana skenario pencapaian kesejahteraan rakyat melalui seperangkat kebijakan fiskal yang bisa dipertanggungjawabkan.

Pertama, berangkat dari hal yang paling dasar, yaitu memperbaiki tata kelola dan sistem kerja. Terkait dengan perpajakan, masih banyak persoalan kasatmata yang sulit diberantas. Perlu ada upaya lebih progresif untuk mengamankan uang rakyat.

Kedua, jangan biarkan penerimaan negara diombang-ambingkan oleh fluktuasi ekonomi global. Begitu harga komoditas jatuh, ekspor menurun, penerimaan pajak juga surut. Kita terlalu bergantung pada komoditas primer.

Ketiga, transformasi ekonomi dari perekonomian berbasis konsumsi menjadi berbasis produksi dengan kaitan erat terhadap mata rantai produksi regional dan global perlu dilakukan. Sistem logistik nasional, proporsi penduduk berusia produktif yang berkualitas, dan birokrasi yang terampil, semuanya bisa dipengaruhi kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal memiliki implikasi yang luas dan kompleks sehingga dia tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada koordinasi dengan kementerian lain secara sistematis.

Perlu diingat pula, skala persoalan yang masif tersebut tidak bisa diselesaikan sekaligus. Apalagi ada banyak persoalan mendesak yang membutuhkan penanganan cepat. Sementara waktunya tidak banyak. Tentu itu semua tidak bisa dibebankan pada individu. Sehebat apa pun seorang menteri keuangan, apabila tidak didukung oleh sistem yang bagus, serta koordinasi dengan pihak lain, tak mungkin melakukan perubahan besar.

Meski begitu, tetap diharapkan dengan waktu yang terbatas ini menteri keuangan baru mampu menanamkan fondasi yang kokoh untuk kepemimpinan berikutnya. Dan jika terbukti berhasil, kita juga berhak berpandangan: menteri yang bagus harus dilanjutkan, siapa pun presidennya. Benar menteri adalah pembantu presiden yang dipilih sesuai hak prerogatif. Tapi, jangan lupa, presiden dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, rakyat juga berhak memberi tahu presiden mengenai para pembantunya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar