Kamis, 30 Mei 2013

Mengelola Lapangan Migas

Mengelola Lapangan Migas
Maizar Rahman ;  Mantan Gubernur OPEC
SUARA KARYA, 29 Mei 2013


Gonjang-ganjing perpanjangan kontrak lapangan migas Mahakam memang sangat perlu dikaji mengingat setelah itu, sampai tahun 2021, hampir 75 persen lapangan minyak di Indonesia habis masa kontraknya dan dikembalikan ke negara.

Benny Lubiantara dalam buku Ekonomi Migas menguraikan dengan jelas berbagai sistem kontrak migas di banyak negara produsen minyak, baik dalam kelompok OPEC maupun non-OPEC. Buku itu, yang merupakan penuangan pengalaman panjang penulis dalam riset migas internasional, juga memetakan dengan baik masalah migas di Indonesia saat ini. Itu sangat baik dipakai sebagai acuan karena berbagai pendapat "katak dalam tempurung" tentang situasi migas di negara kita dapat lebih dicerahkan.

Prinsip dasar pengelolaan sumber migas kita adalah "kedaulatan" atas sumber daya itu. Artinya, kekuasaan atas migas tetap di tangan negara. Kontraktor hanya mendapat "bagi hasil" yang besarnya telah memperhitungkan risiko besar kontraktor akibat ketidakpastian eksplorasi serta kucuran modal besar dan teknologi canggih.

Namun, lapangan migas yang sudah habis masa kontraknya, tetapi masih mampu berproduksi, boleh dikatakan tidak lagi berisiko karena jumlah migas yang tersisa sudah diketahui, perangkat produksi masih tersedia, teknologi yang diterapkan sudah dikuasai, dan sumber daya manusia (SDM) operasional masih tersedia. Karena itu, pola bagi hasil tidak layak dipakai lagi dan sudah selayaknya lapangan migas itu dikelola sendiri.

Apabila ada pertimbangan untuk memperpanjang kontrak, jangan sampai hasil yang diperoleh kontraktor melebihi keekonomian yang wajar. Sebagai acuan adalah apa yang diterapkan di Irak, yang ingin menghidupkan kembali lapangan-lapangan migas yang ditinggalkan semasa perang. Lapangan-lapangan itu masih sangat potensial dan pengelolanya tidak lagi menghadapi risiko eksplorasi. Ini analog dengan lapangan-lapangan migas Indonesia yang akan dikembalikan ke negara setelah habis masa kontrak.

Irak menerapkan "sistem upah operasional" atau service contract kepada kontraktor pengelola yang ditunjuk. Semua biaya operasi dapat dikembalikan (cost recovery). Penunjukan melalui tender dan pemenang adalah yang mengajukan upah terendah di samping harus memenuhi kualifikasi teknis, pengalaman internasional, keuangan dan kemampuan lain. Karena itu, supaya bisa menang, peserta tender berkutat menghitung keekonomian yang kompetitif.

Pertamina pernah ikut tender di Irak untuk mendapatkan lapangan West Qurna fase 2 tahun 2009. Agar menang, Pertamina mengajukan upah sangat rendah dengan pertimbangan adanya benefit lain seperti minyak mentah yang dapat dibawa ke Indonesia, pengalaman di luar negeri, peluang kontrak lain. Upah yang diminta Pertamina sebesar 1,25 dolar AS per barel merupakan "keberanian" mengingat kerasnya iklim dan masih rawannya stabilitas keamanan di kawasan tersebut. Namun, apa boleh dikata, tawaran itu masih kalah dari tawaran konsorsium Lukoil dan Statoil yang sedikit lebih rendah, yaitu $ 1,15 per barel.

Pola yang dipakai Irak dapat ditiru oleh Indonesia untuk lapangan-lapangan yang sudah dikembalikan agar diperoleh pendapatan negara secara maksimal, di samping tetap menarik bagi investor. Andai masih diperlukan perpanjangan kontrak kepada perusahaan minyak asing, sebaiknya diterapkan sistem upah agar negara lebih diuntungkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar