Kamis, 30 Mei 2013

Menuju Sandyakalaning III Parpol

Menuju Sandyakalaning III Parpol
Sumaryoto Padmodiningrat ;  Anggota DPR
SUARA MERDEKA, 30 Mei 2013


''Kebertebaran selebriti dan pengusaha dalam daftar caleg menunjukkan kegagalan kaderisasi internal parpol''

KINERJA 560 anggotaan DPR periode 2009-2014 yang berkomposisi antara lain 18 pesohor dan 215 pengusaha, terbukti rendah. Dari 70 rancangan undang-undang (RUU) yang menjadi target DPR dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas ) 2013, hingga April tahun ini, baru 6 yang berhasil disahkan menjadi undang-undang.

Tahun 2012, RUU prioritas ditambah kumulatif terbuka yang disahkan ada 30 atau 35,7% dari total RUU. Tahun 2011, dari 91 RUU hanya 22 (22,6%) yang disahkan menjadi UU. Tahun 2010 disepakati 70 RUU masuk Prolegnas, tapi hanya 18 rancangan yang disahkan.

Selain kuantitas, kualitas UU yang dihasilkan juga kerap dipertanyakan. Tak sedikit UU diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Sedikitnya 11 UU produk DPR periode 2009-2014 diujimaterikan.
Tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat juga menurun, berkisar 60-70%, apalagi memasuki tahun politik saat ini. Ditambah dengan isu perbuatan asusila dan korupsi, integritas parlemen saat ini juga dira­gukan.

Mengapa parpol-parpol lebih memilih menca­lonkan selebriti atau pesohor dan pengusaha? Perta­ma; terkait sistem pemilu, yakni proporsional terbuka, di mana selain nomor urut, suara individu caleg juga sangat menentukan keterpilihannya. Dengan ketenarannya, pesohor relatif lebih mudah mendulang suara. Begitu pun pengusaha yang punya modal uang. Selain bisa membiayai belanja atribut kampanye, dengan uang itu pula pengusaha bisa melakukan ’’serangan fajar’’.

Kedua; kondisi keuangan parpol sangat lemah menghadapi pemilu dengan politik berbiaya tinggi. Para pengusaha muncul ketika parpol dalam kondisi lemah dan tak mandiri dengan pendanaan. Padahal, parpol butuh dana besar guna mendanai proses politik yang juga besar seperti pileg dan pilpres.

Pramono Anung dalam disertasi doktoral awal tahun ini memaparkan, untuk terpilih menjadi anggota DPR seorang pengusaha butuh modal Rp 1,8 miliar-Rp 6 miliar. Bagi aktivis atau kader parpol, modal yang diperlukan lebih sedikit. Maka Pramono memprediksi DPR periode 2014-2019 lebih banyak diisi pengusaha daripada periode sebelumnya.

Hasil penelitian sebuah lembaga survei awal tahun ini di 33 provinsi juga mengejutkan. Dari 1.200 responden yang disurvei, 60,5% memilih caleg berlatar pengusaha, sementara latar belakang anggota parpol hanya dipilih 52% responden, diikuti tokoh muda 51,3%, dan selebriti 33,3%. Aktivis juga kurang mendapat tempat karena begitu mereka masuk Senayan, perilaku mereka sama saja dengan yang lain.

Maka tidak heran bila untuk Pemilu 2014 ada 51 selebriti maju sebagai caleg, dan 90,5% incumbent (anggota DPR sekarang) pun maju lagi, sehingga diprediksi kualitas dan kinerja anggota DPR periode 2014-2019 tak akan lebih baik daripada saat ini.

Konsekuensinya, tingkat partisipasi pemilih akan menurun. Bila pada Pemilu 1999 tingkat partisipasi pemilih 93,33%, Pemilu 2004 turun jadi 84,9%, dan Pemilu 2009 tinggal 70,99%, maka Pemilu 2014 diprediksi hanya tinggal 54%, dari sekitar 191 juta pemilih dari 236 juta penduduk Indonesia tahun depan. Bandingkan dengan angka 75% yang ditargetkan KPU.

Begitu pun angka golput pada Pemilu 2014, ke­giatan yang berbiaya Rp16 triliun. Bila pada Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%, dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01% maka Pemilu 2014 angka golput diprediksi lebih besar lagi.

Kebertebaran selebriti dan pengusaha dalam daftar caleg juga menunjukkan kegagalan  kaderisasi pada internal parpol. Meskipun berkeringat, kader mudah disisihkan bila tak punya uang atau biaya politik untuk parpol. Tak ada sistem urut kacang. Tak ada reward and punishment.

Infrastruktur Demokrasi

Masa depan parpol akan suram karena kegagalan kaderisasi. Parpol mudah dibajak oleh pemilik modal. Tak ada ideologi, loyalitas, dan militansi. Yang ada hanya kepentingan, seperti adagium tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan. Yang ada adalah pragmatisme dan oportunisme. Maka fenomena kutu loncat akan merebak menjelang Pemilu 2014 dan sangat mungkin untuk pemilu-pemilu yang akan datang.

Bagi parpol sendiri, tak penting caleg itu berkualitas atau tidak, yang penting bisa menjadi vote getter (pengumpul suara). Tak penting kucing itu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus. Maka tak heran bila ada parpol peserta Pemilu 2014 dalam daftar caleg menyertakan pasangan suami istri, bapak anak, sanak saudara, bahkan dalam  jumlah belasan.

Bila sudah begitu, lonceng kematian parpol tinggal menunggu waktu berdentang. Terompet sangkakala parpol tinggal menunggu ditiup. Parpol sudah dalam fase sandyakala, mati suri karena tak ada yang mau pilih, lalu mati. Terbukti dari pemilu ke pemilu jumlah peserta terus merosot.

Bila parpol-parpol mati, demokrasi pun akan mati, karena parpol merupakan infrastruktur demokrasi. Bila parpol dan demokrasi mati, DPR pun akan mati, dan bila legislatif mati, negara demokrasi pun akan bubar. Apakah Indonesia akan berubah lagi menjadi kerajaan, kesultanan, atau kekaisaran? Sebab, salah satu dari trias politika (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sebagai syarat bagi berdirinya negara demokrasi, sudah tidak ada.


Untuk itu, pemerintah dan parlemen (DPR dan DPD) harus segera bersikap dengan memperbaiki infrastruktur demokrasi, antara lain perlu memikirkan pembiayaan parpol, menggalakkan kaderisasi anggota parpol jauh hari sebelum pemilu, memperbaiki kinerja dan reputasi parlemen periode 2014-2019,  mengubah sistem pemilu dengan mengurangi biaya politik parpol dan calon anggota parlemen. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar