Kamis, 30 Mei 2013

Menyikapi Globalisasi

Menyikapi Globalisasi
Meistra Budiasa ;  Pemerhati Kebudayaan Media,
Alumnus Kajian Budaya dan Media UGM, Yogyakarta
SUARA KARYA, 30 Mei 2013


Globalisasi menjadi kata yang mampu menghipnotis semua orang di seluruh dunia. Setiap manusia ketika mendengar kata itu sudah memiliki beragam pendapat yang ujungnya melahirkan berbagai wacana utopis mengenai menyatunya dunia. Bagi sebagian orang, globalisasi seperti alat pemersatu dunia yang selama ini terpisah baik secara geografis maupun berbagai aturan.

Namun, sebagian menganggap bahwa sebagai proses penyebaran unsur-unsur baru yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik, globalisasi dapat mengancam tatanan kehidupan masyarakat karena khawatir akan hilangnya nilai-nilai suatu identitas. Kedua perbedaan pendapat ini sejak lama menjadi bahan perbincangan di berbagai forum diskusi dan melahirkan wacana publik yang dinamis. Perbedaan pendapat mengenai globalisasi di Indonesia terbagi atas dua kelompok, yakni kelompok optimis dan pesimis.

Secara umum globalisasi dapat diartikan sebagai sebuah tatanan sistem global yang saling berjaringan dan berhubungan berkat dukungan teknologi informasi, perdagangan, budaya, politik dan ekonomi. Roland Robetson (1992), seorang sosiolog globalis menyatakan bahwa globalisasi dapat dimaknai sebagai sebuah konsep yang mengacu kepada tindakan yang mendunia dan secara intens memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa dunia ini saling memiliki ketergantungan.

Tatanan ketergantungan ini akan membawa dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat maupun negara, di mana secara umum perubahan akan sangat dirasa dalam berbagai ranah institusi. Masyarakat Indonesia tentunya harus siap menghadapi sistem ini karena dari kacamata ekonomi sudah terikat melalui perjanjian internasional, yang kian marak. Dhus, perdebatan serius antara kelompok optimis vs dinamis pun akan terus terjadi.

Kelompok Optimis memandang globalisasi ini dari sudut pandang ekonomi. Di mana, secara sistematis bangsa Indonesia akan mendapatkan keuntungan dari berbagai perjanjian perdagangan dunia. Bagaimanapun kompetisi global merupakan kesempatan bagi negara untuk terus memacu tingkat pertumbuhan ekonominya agar posisi bangsa dapat sejajar dengan negara maju.

Pandangan ini kemudian tertanam di kalangan birokrat pemerintahan untuk mengikuti ritme dari perjanjian internasional itu dengan mengakomodir kepentingan investor luar negeri yang menjanjikan dan menguntungkan. Kelompok optimis melihat bahwa bergabungnya Indonesia di berbagai forum dan kelompok ekonomi internasional merupakan sebuah prestasi serta kesempatan guna mewujudkan kemajuan ekonomi bangsa.

Bagi masyarakat umum yang optimis beranggapan bahwa saat ini adalah momentum untuk dapat merasakan ikon, label, ataupun budaya global khususnya Barat yang secara deras memasuki pangsa pasar Indonesia. Berbagai fasilitas pendukung situasi tersebut marak khususnya di perkotaan seperti mal-mal, yang ditata dengan konsep dunia dan modern, waralaba internasional, perangkat teknologi versi terbaru, hingga pendidikan bertaraf internasional mulai dari TK sampai universitas. Semua fasilitas itu adalah untuk menunjang Indonesia agar sejajar dengan suasana dunia yang dikonstruksikan modern, maju, serta praktis. 

Sementara kelompok pesimis memandang globalisasi sebagai ancaman bagi kedaulatan negara, dapat menghancurkan moralitas bangsa, dan menghilangkan identitas lokal. Sebagai monopoli negara adidaya, globalisasi dianggap dapat merusak sistem tatanan negara yang telah diperjuangkan oleh para pemikir bangsa dan para pejuang kemerdekaan. Kelompok ini memandang identitas nasional dan lokal akan tergerus oleh kebudayaan Barat yang secara perlahan merusak nilai-nilai kebangsaan apabila paham globalisasi dibiarkan mengalir deras masuk ke dalam tatanan masyarakat.

Kelompok ini membahasakan globalisasi dengan kacamata teori konspirasi dan terkadang Chauvinistik, yang menguatkan tradisi feodal, serta mengkultuskan kejayaan raja-raja Nusantara. Kebetulan argumen ini selalu dikuatkan oleh mereka sehingga kita terjebak dengan perdebatan yang tak kunjung selesai. Kelompok pesimis melihat bahwa sumber daya manusia (SDM) di Indonesia tidaklah mendukung hadirnya globalisasi karena kalah bersaing dengan manusia-manusia dunia dan selalu membandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia atau Singapura yang sumber dayanya sudah lebih maju.

Meski secara umum pandangan mereka terhadap sistem ini dan negara Barat sangat pesimistis namun ketika melihat negara Timur kelompok ini masih bertoleransi, banyak yang berkiblat kepada negara Cina dan India untuk melihat bagaimana negara berhasil mengalahkan dominasi Barat. Esensi dari globalisasi kemudian menjadi pertentangan antara Barat dan Timur ataupun.

Sebagai sebuah sistem yang berlaku dan berjalan tanpa batas teritorial negara yang implementasinya dapat berupa ekonomi, politik, budaya, sosial dan lain sebagainya, globalisasi telah menjadi fenomena abad ini dengan berbagai makna interpretasi. Perdebatan mengenai globalisasi tentu harus berdasar dengan tidak menjadikan sebuah disiplin ilmu sebagai sesuatu yang ajeg, karena sistem ini berjalan secara dinamis dan mengalir di berbagai bidang.


Dengan konsep itu, kita harus menyikapinya dengan cerdas dan terukur, karena globalisasi hanyalah sebuah simbol dari ketergantungan antarnegara dan masyarakat yang mencari titik penyatuan melalui berbagai pemikiran, ideologi, dan kepentingan. Sistem ini harus disikapi juga dengan tidak melupakan identitas kita sebagai manusia yang humanis dan berpandangan terbuka. Ini penting, karena kebanyakan di antara kita terkadang salah dalam menyikapinya dan bahkan terjebak dengan narasi-narasi besar yang menyempitkan pandangan kita. Namun juga harus berhati-hati karena ketergantungan antar bangsa dan masyarakat yang dikemas dalam ide Globalisasi ini dapat saja saling merugikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar