Jumat, 31 Mei 2013

Tragedi Kepiting dan Monyet

Tragedi Kepiting dan Monyet
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 31 Mei 2013


Ada cerita rakyat Jepang yang menggelikan. Di dalamnya ada penyesalan, atau ejekan, atas sebuah ironi yang memalukan. Seekor kepiting menanam pohon kesemek yang buahnya sangat banyak. 

Kepiting tak bisa memanjat pohon untuk memetik buah yang didambakannya. Dia minta tolong seekor kera. Tapi, kera memang dasar monyet, tiap buah dipetik langsung dimakannya sendiri. Kepiting yang tak berdaya, menyabarkan diri di bawah, menanti siapa tahu si monyet itu ingat bahwa dia tak memiliki jasa apa pun atas buahbuah itu sehingga dia sebenarnya tak berhak menikmatinya. Buah memang enak. Orang yang tak berjasa bisa saja memakannya dengan lahap, sambil sengaja melupakan pihak yang berjasa. Secara mencolok sekali, si monyet memakan buah matang yang manis itu sambil mengejek si kepiting yang tak berdaya. 

Tapi, tiap saat kepiting mengingatkan agar si monyet mau berbagi. Bujukan demi bujukan dan kata-kata lembut yang mengimbau agar si monyet berkenan menjatuhkan sedikit buah yang bisa dimakan si kepiting tak membawa hasil apa pun. Hewan serakah itu malah mencemooh agar si kepiting memanjat dan memetik sendiri. “Naiklah, kita makan bersama di atas pohon,” kata si monyet. “Jatuhkan sedikit untukku,” jawab si kepiting memelas. “Orang yang ingin makan buah harus memanjat,” ejek si monyet. 

“Tapi, kau memanjat buah yang bukan hasil tanamanmu sendiri. Kau persis perampok,” kata si kepiting. Si monyet yang tak tahu diri tak peduli. Buahbuah itu dipetik dan dimakan. Tapi, karena si kepiting terus saja mengimbau agar si monyet mau berbaik hati, si monyet marah. Dia memetik buah yang besar dan melemparkannya sekuat tenaga dari atas. Lemparan itu tepat mengenai tubuh si kepiting yang rentan dan hancurlah tubuh hewan lemah itu seketika. Tanpa sempat menjerit, si kepiting pun mati seketika itu juga dalam perjuangan membela haknya. Si monyet makin merajalela. 

Dia yang tak punya hak sama sekali—karena tak pernah melakukan apa pun, tapi memuaskan diri menikmati buah-buah itu—tidak tahu sama sekali bahwa di dalam tubuh kepiting itu terdapat begitu banyak telur yang telah menetas menjadi berpuluh-puluh anak kepiting yang lembut-lembut, yang segera merayap ke sana kemari, begitu tubuh induknya pecah berantakan. Mereka pun besar dalam waktu pendek. Ringkasnya, mereka berusaha menelusuri sebab kematian induknya. 

Lamalama mereka tahu, pembunuh induknya seekor monyet yang tak tahu diri. Kisah ini berakhir ketika anak-anak keping berhasil membalas dendam kepada si monyet. Balas dendam itu tidak baik. Kitatahuitu. Tapi, hidup ini masih selalu saja dipenuhi semangat balas dendam. Persis apa yang dilakukan anak-anak kepiting. Kita tak bisa berbuat apa-apa.
Hadiah, “award”, atau penghargaan pada tingkat dunia tak pernah main-main. Sebelum penghargaan itu diberikan, calon—bahkan calon-calon— penerima harus sudah ada. Tak jarang bahkan diperlukan proses “nominasi”. 

Pihak lain di suatu negara bekerja sama dengan lembaga pemberi penghargaan itu. Pihak lain itu yang menghimpun data secara teliti dan cermat mengenai jasa tokoh yang bakal “dinominasikan”. Proses ini berbelit-belit dan makan waktu lama. Jasa calon penerima harus jelas, bahkan mencolok dan besar, sehingga semua orang di negara itu tahu, dia layak “dinominasikan.” Jika sudah berhasil, kelak bahkan banyak orang akan mengatakan, yang bersangkutan memang layak menerimanya. Ini baru dilihat dari satu aspek mengenai jasajasanya yang tak diragukan. 

Hal lain mengenai aspek politik. Bagaimana sikap dan pandangan politik yang bersangkutan. Apakah dia misalnya antidiskriminasi dan matimatian berjuang membela kelompok tertindas? Apakah dia menganut ideologi multikulturalisme dan membela tegaknya kehidupan pluralitas di bidang kebudayaan demi kedamaian dalam negerinya? Pendeknya, apakah dia memang “champion” dan bisa dianggap tokoh yang unggul di bidang-bidang tersebut? Apakah dia panutan umat, bahkan panutan seluruh bangsa karena besarnya jiwa yang terpancar dalam sikap hidupnya? 

Biasanya, hal lain yang menjadi sorotan, apakah dia seorang yang tergolong “peace loving activist”, yang rela membuang banyak waktu dan rela “mengabaikan’ keluarga dan keperluan hidup pribadinya demi perdamaian umat manusia? Apakah dia punya suatu karya besar dan monumental—di bidang apa pun—yang bisa menjadi sebab datangnya “award” seperti disebut di atas. Bapak Presiden yang terhormat, kelihatannya memang menyukai aneka “award” kelas dunia. 

Dulu itu dikabarkan sudah siap dengan bahan pidato dan sudah latihan pidato untuk menerima hadiah Nobel Perdamaian. Tiba-tiba hadiah nobel di bidang itu jatuh ke pihak lain yang diketahui dunia punya kontribusi penting dan dianggap layak menerimanya. Kalau kita tak pernah ada sangkut paut dengan tindakan besar, yang mengayomi manusia- manusia lain yang tertindas, kenapa kita memimpikan “award” ? Bukankah hanya orang yang pernah “menanam” yang kelak menerima hasil “panen”? Hanya mereka yang “menabung” yang kelak memperoleh “bunga” tabungan?

 Lembaga nobel di Stockholm, saya kira, bukan lembaga ecek-ecek yang sangat mungkin keliru memberi “award” bagi mereka yang hanya berpangku tangan. Ini belum pernah terjadi meskipun lembaga itu tak mustahil berbuat kekeliruan. Kali ini Bapak Presiden disodori lagi sebuah “award” karena jasanya melindungi umat dan membangun semangat kerukunan beragama. Nanti dulu. Atas nama pribadi, yang dilakukan diam-diam, pernahkah beliau merintis jalan kerukunan macam itu? Karena pribadi sekali, tak ada yang tahu? 

Tapi, kalau tak ada yang tahu, bagaimana orang Amerika bisa tahu? Kalau itu dilakukan secara resmi, sebagai presiden? Itu bisa terjadi. Tapi, kapan beliau meluangkan sedikit waktu untuk kiprah di bidang itu? Rakyat tahu, kiprah pokoknya di bidang musik dan tembangtembang. Kenapa orang kirikanannya tak mengusahakan penghargaan di bidang yang sudah jelas ada jejaknya itu? Presiden dikelilingi orangorang yang tak bisa—atau tak bersedia—mengingatkan baikbaik agar beliau tak terpancing. Sebaliknya, orang-orang di kirikanannya malah mendorong ke arah kemungkinan keliru. 

Beliau tak ada jasanya sama sekali di bidang itu, tapi didorongdorong dengan berbagai sikap memalukan agar beliau merespons tawaran hadiah itu. Orang yang mencintai dan menghormati beliau seharusnya mengingatkan agar beliau tak dipermalukan orang. Pribadi yang tidak merdeka, takut tidak naik pangkat, kepentingan untuk memperoleh jabatan, kecenderungan sikap menjilat atasan, dan tingkah laku yang sedikit pun tak mengenal makna “zuhud”, atau asketik dalam hidup, membuka peluang menjerumuskan atasan. Tak ada orang yang betul-betul loyal pada atasan. 

Manusiamanusia itu hanya loyal pada diri mereka sendiri. Tak mengherankan mereka bukan hanya tak berbuat sesuatu, melainkan juga bisa jadi malah sebaliknya: menjerumuskan. Kalau “award’ yang sebenarnya tak begitu bergengsi itu diterimanya juga, Bapak Presiden yang terhormat dipermalukan orang. Pertama, beliau akan dianggap memetik buah dari pohon yang tak ditanamnya sendiri seperti kisah monyet dalam cerita rakyat Jepang tadi. Kedua, beliau digiring ke suatu jurusan yang memalukan. 

Daripada sesal kemudian tak berguna dan hanya menjadi permainan orangorang serakah, yang tak punya loyalitas, lebih baik Bapak Presiden yang mulia mengabaikan saja semua. Mari kita sesiteran dan tetembangan. Kita “nglaras” dan menikmati hidup. Kita tidak boleh mewakili tragedi kepiting dan monyet dalam kisah di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar