Rabu, 29 Mei 2013

Wakil Rakyat yang Mewakili

Wakil Rakyat yang Mewakili
Ikhsan Darmawan ;  Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SUARA KARYA, 28 Mei 2013


Pemilu 2014 hanya tinggal satu tahun lagi. Tentu kita tindak ingin momentum lima tahunan itu hanya sekedar ritual rutin masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), kemudian keluar dengan jari diwarnai tinta dan setelah itu urusan selesai. Sebaliknya, pemilu tahun depan seharusnya menjadi saat yang dinantikan seluruh pemilih di Indonesia menentukan masa depannya.

Dalam ilmu politik, ada konsep yang disebut dengan retrospective voting (Morina, 1978). Maknanya, pemilih menentukan pilihan atas calon atau partai politik (parpol) dalam sebuah pemilu dengan melihat kepada track record dari calon atau parpol tersebut sebelumnya. Apabila calon atau partai politik itu gagal, maka orang atau institusi politik itu tidak dipilih lagi dan pilihan dijatuhkan kepada calon atau parpol lain yang dinilai berhasil. Hal itu juga otomatis berlaku sebaliknya. Harapannya adalah mayoritas pemilih di Indonesia mendasari pilihannya dalam bingkai retrospective voting itu.

Minim Prestasi

Mari kita tengok apa yang sudah dilakukan para wakil rakyat di Senayan sejauh ini. Hasilnya tidak terlalu menggembirakan. Selama kurun waktu tahun 2009 sampai 2012, jumlah Undang-Undang (UU) yang diproduksi DPR hanya 102 UU saja. Jika dirata-rata, per tahunnya sekitar 25 UU tiap tahun, atau tiap bulan hanya 2 UU yang dihasilkan. Data kuantitatif ini belum ditambahkan dan dibandingkan dengan data kualitatif terkait dengan berapa banyak jumlah UU hasil pembahasan DPR di-judicial review-kan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Prestasi yang minim itu tentu saja tidak sepadan dengan gaji dan tunjangan yang diterima anggota DPR RI selama ini. Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR, jumlah take home pay anggota DPR mencapai 51, 56 juta per bulan.
Dalam hal lain, yaitu pada kasus-kasus penting tertentu yang menyentuh persoalan mendasar masyarakat, DPR dan anggotanya lebih seperti "pemadam kebakaran yang sering datang terlambat" ketimbang menjadi penjaga amanat rakyat. Misalnya, ketika kasus kenaikan harga-harga komoditas tertentu seperti bawang merah, bawang putih, dan cabai mencuat ke permukaan, DPR baru kasak-kusuk memanggil Menteri Perdagangan dan menanyakan kenapa tiga komoditas itu harganya melonjak. Padahal, sebagai lembaga yang mengawasi kinerja lembaga eksekutif, bukan hal yang sulit untuk DPR berkoordinasi dan mengawasi Presiden dan jajaran kabinetnya memantau proses seluruh komoditas masyarakat dari hulu ke hilir, sejak produksi, distribusi, sampai dengan dijual di pasaran dan dibeli oleh masyarakat.

Belum lagi, ketidakseriusan anggota DPR bekerja makin diperparah oleh makin banyaknya anggota DPR yang tersangkut kasus hukum. Trend-nya menunjukkan bahwa jumlah anggota DPR yang tersandera kasus korupsi dan sejenisnya makin hari makin bertambah.

Mewakili

Yang menggembirakan di balik muramnya wajah DPR adalah bahwa masyarakat tahu betul bahwa wakil mereka di DPR tidak perform. Hasil survei Publica Research and Consulting yang baru-baru ini dirilis menyebutkan bahwa 84,1 persen responden survei menilai anggota DPR hanya mewakili partai, dan hanya 8,4 persen responden yang menyatakan anggota DPR memang mewakili rakyat. Jawaban responden itu sejalan dengan apakah mereka telah menetapkan pilihan ataukah belum. Mayoritas dari 1.300 responden (sebanyak 59,8 persen) survei yang digelar pada 18-21 Februari 2013 ini menyatakan belum menentukan pilihannya pada Pemilu 2014. Dari jumlah itu, 25,4 persen di antaranya menjawab rahasia dan 34,4 persen menjawab belum tahu. (Kompas.com, 21/3) Artinya, karena pemilih mayoritas menilai negatif anggota DPR, maka mereka belum tahu siapa dan atau parpol apa yang akan mereka pilih nanti.

Para anggota DPR, pengurus parpol, dan calon anggota legislatif perlu memperhatikan hasil survei itu dengan seksama. Mereka semua harus berkaca pada penilaian masyarakat itu dan berbenah jika ingin menjadi pilihan masyarakat di Pemilu yang akan datang.

Pada dasarnya pemilih tidak ingin yang . Mereka hanya ingin kepentingan dan aspirasi mereka menjadi "makanan sehari-hari" wakil mereka di DPR. Di Inggris, para anggota House of Commons menempatkan aspirasi warga Inggris di atas kepentingan parpol mereka. Logikanya sangat sederhana, kalau mereka memperjuangkan aspirasi konstituen mereka, mereka yakin bahwa akan dipilih lagi di pemilu berikutnya. Sebaliknya, kalau aspirasi partai tempat mereka berada yang dinomorsatukan, mereka harus siap-siap kehilangan kursi di the Palace of Westminster.


Wakil yang ingin dipilih pemilih Indonesia pun bukan sosok yang neko-neko. Bukan artis yang rupawan, atau tokoh yang hanya mengandalkan popularitas figur, atau yang berani membagi-bagikan uang kepada mereka. Lebih dari hal itu, yang mereka inginkan hanya the good representative (Dovi, 2007), yaitu wakil rakyat yang benar-benar mewakili mereka, yang berani menjamin dan memastikan dapat membawa mereka bangkit dari kondisi sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar