Kamis, 27 Juni 2013

Distribusi BLSM di Tangan Pesulap

Distribusi BLSM di Tangan Pesulap
Bambang Satriya ;   Guru besar dan Dosen Luar Biasa
Universitas Ma-Chung dan UIN Malang
MEDIA INDONESIA, 27 Juni 2013


‘UANG tidak dapat memberi Anda rumah yang penuh dengan kasih dan penghargaan dari orang-orang yang tinggal di dalamnya,' demikian pernyataan John Hagee, dalam buku Barack Obama Menerjang Harapan yang diterjemahkan dari buku The Seven Secrets (2006).

Pernyataan Hagee tersebut sejatinya mengajarkan bahwa setiap orang harus hati-hati dalam menyikapi pesona uang. Kehadiran uang bukan hanya dapat menipu, mengelabui, dan menyesatkan kita, melainkan juga dapat menggiring kita menjadi `tikus' keji yang menggerogoti (menghancurkan) kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan sesama.

Bukan hanya Hagee yang meminta kita mewaspadai uang. Barnum, anggota pendiri Sirkus Barnum & Bailey, juga mengingatkan bahwa uang merupakan hamba yang sangat baik, tetapi tuan yang sangat buruk.
Senyatanya, uang bisa digunakan sebagai alat mati (hamba) yang menggerakkan dan jadi generator yang mendinamisasi potret sejarah kehidupan manusia. Manusia memperlakukan uang sebagai mesin yang mampu membuat dirinya sebagai kekuatan jahat yang tega menghabisi dan mengani balisasi hak-hak orang lain.

Nabi Muhammad pun pernah mengingatkan, `jangan kalian menyembah uang (dinar) dan emas, karena kalian akan dihancurkannya'. Sabda ini mengingatkan kita tentang kewajiban berhati-hati dalam membaca dan menyikapi godaan uang. Uang triliunan rupiah yang dititipkan lewat diskresi BLSM barangkali memang mampu mengubah dan `merevolusi' masyarakat miskin, telantar, dan tak berdaya menjadi masyarakat yang `lumayan' sejahtera dan berdaya. Namun, jika BLSM disalahalamatkan juga bisa mengubah g masyarakat dari kon rdisi yang tak bern, daya dan miskin menjadi semakin miskin, terpuruk, dan mengenaskan.

Salah satu wilayah sosial yang sering menggoda kita dalam relasinya dengan uang adalah `proyek-proyek kemanusiaan' semacam pos-pos bantuan bencana alam, atau anggaran-anggaran yang diregulasikan negara sebagai dana penang gulangan bencana alam atau irama akselerasi syahwat pasar, khususnya yang berhubungan dengan dengan kebutuhan pokok masyarakat.

Tidak sulit menemukan masyarakat mengenai seseorang atau sekelompok orang sekelompok orang yang mencoba `menari' di atas penderitaan masyarakat atau ketidakberdayaan masyarakat (social empowerless). Ketika kebijakan BLSM diterapkan, birokrat nakal yang justru paling ribut. Mereka bereksperimen menciptakan chaos yang sejatinya untuk me nyalahalamatkan penyaluran BLSM agar ada banyak keuntungan yang bisa didapatkan.

Kecurigaan terhadap keniscayaan penyalahalamatan penyaluran BLSM itu tak bisa ditampik. Pasalnya, di negeri ini sudah demikian populer mengenai banyaknya elemen masyarakat yang gampang mengail di air keruh, juga berambisi dan serakah mendapatkan uang berlimpah atau mudah digelincirkan pesona uang. Meskipun uang yang dijadikan target merupakan hak masyarakat yang sedang sarat penderitaan atau sebagai bagian dari penyangga kebutuhan elementernya.

Kriminalisasi hak-hak masyarakat itulah yang membuat pelaku penyalahalamatan BLSM layak ditempatkan sebagai kaum penghisap. Juga sebagai akar penyebar menguatnya negeri ini menjadi pangkal pesulap-pesulap hebat, yang punya kemampuan menyulap apa saja, dan produk sulapannya diberi label `halal', berbobot kultural, dan berkekuatan legalitas de jure, atau sebagai tengkulak dan korporasi yang mengarogansikan dehumanisasi.

Jika mereka itu disandingkan dengan pesulap ternama semacam David Copperfield, pesulap kita boleh jadi masih lebih unggul kualitasnya. Pasalnya, mereka punya nalar kuat, imajinasi hebat, dan mampu menciptakan lorong-lorong atau bungker-bungker yang tepat untuk mengamankan dan bahkan meregulasi jaringan `tikus', menciptakan kekacauan pasar, atau mengubah pasar layaknya ajang pertarungan para serigala.

Sosiolog kenamaan asal UGM, Loeqman Sutrisno (almarhum), sudah pernah menempatkan jaringan `tikus' kekuasaan itu sebagai penyebab lahirnya dan menguatnya negeri ini menjadi `republik drakula' (republic of vampire). Pasalnya, dari jabatan yang paling rendah hingga yang paling tinggi, lingkaran lembaga strategis negara telah dijadikan ajang atau pesta komunitas vampir atau `tikus' yang bernafsu memperkaya diri dan memapankan jaringan penghisapan atau penggerogotannya.

Landasan moral

Perilaku `menari' atau pesta kriminalisasi dan dehumanisasi di atas penderitaan dan ketidakberdayaan masyarakat tidak boleh semakin marak. Pasalnya, di tengah kondisi demikian, praktik dehumanisasi ibarat `tsunami' yang bisa memorak-porandakan keberlanjutan hidup mereka. Masyarakat yang sudah tidak berdaya akibat diskresi penaik an harga BBM bisa dibuat semakin terpuruk ke kubangan penderitaan yang lebih dalam jika BLSM `disulap' secara sistemis.

Setidaknya ada dua hadis yang sering kali digunakan pendakwah untuk mengajak masyarakat agar saling mencintai, menyanyangi, dan memanusiakan, serta menjauhi gaya menyakiti (mengkriminalisasi) yang lainnya. Pertama, `Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian, sehingga ia mencintai saudaranya seperti apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri'. Kedua, `Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai. Maukah saya tunjukkan satu cara yang jika kalian lakukan, kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam (HR Muslim).'

Landasan moral-spiritual tersebut mendidik kita bahwa setiap manusia di muka bumi ini, apalagi yang berstatus pejabat (birokrat) tidak hanya hidup untuk dirinya, keluarganya, dan kelompok eksklusifnya. Namun, juga untuk bangsa, negara, dan sesama manusia, terlebih jika sesama manusia ini sedang diuji problem ekonomi bangsa. Mereka wajib dialienasikan dari tangan-tangan jahat yang bergerilya atau `menari' di atas penderitaannya, atau sebaliknya wajib mengobarkan prinsip kemanusiaan egaliter.

Membangun keberdayaan sosial bukan hanya menentukan kemuliaan derajat kita di sisi Tuhan, melainkan juga kemuliaan di mata sesama manusia. Ketika kemuliaan hidup gagal ditegakkan di tengah kehidupan sesama ini, kening ratan derajat di sisi-Nya gagal pula diraih. Tuhan memberi prioritas penghargaan terhadap dimensi pengabdian atau perjuangan kemanusiaan yang dilakukan dan disemaikan manusia.

Standar yang umumnya digunakan setiap manusia adalah syahwat mencintai diri sendiri atau kecenderungan manusia dalam mencintai dirinya sangatlah besar jika dibandingkan dengan mencintai orang lain. Syahwat demikian wajib dikalahkan jika berobsesi mewujudkan kebahagiaan inklusif dan egalitarian. Ketika manusia cenderung mengabsolutkan dirinya, atau bisa demikian kuat mencintai ambisi, gaya hidup, atau model pergaulannya di antara komunitasnya, Tuhan meminta rasa kecintaan pada diri sendiri dan komunitas eksklusifnya dikalahkan dengan cara ‘dilabuhkan’, didistribusikan, atau ditransfer menjadi komitmen yang membumi pada sesamanya.

Keringat rakyat yang ‘diperas’ negara dari rakyat, yang kemudian dikembalikan sedikit pada rakyat lewat BLSM, akan bias menjadi bentuk pengkhianatan terbesar yang dilakukan negara kepada rakyat ketika BLSM disalahalamatkan dalam pendistribusiannya.

Tuhan yang menuntut manusia untuk bisa ‘menyebarkan salam’ kepada manusia lain dapat ditafsirkan secara hermeneutik sebagai perintah moralhumanistik dan universalistik, bahwa tugas manusia dalam hubungannya dengan manusia atau bangsa lain adalah menghadirkan dan membangun keselamatan, kesenangan, dan kebahagiaan. Bukannya mengagregasikan dan memproduksi berbagai bentuk kriminalisasi baik berkendaraan maupun bertujuan mendapatkan untung dari BLSM. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar