Jumat, 28 Juni 2013

Jokowi dan Tantangan PDIP

Jokowi dan Tantangan PDIP
Ridho Imawan Hanafi ;  Peneliti Politik di Soegeng Sarjadi Syndicate
KORAN TEMPO, 28 Juni 2013


Sebuah dilema bagi PDIP jika kemudian masih berpendirian kukuh untuk nantinya tetap mengusung Megawati sebagai capres, sementara terdapat kadernya yang memiliki potensi besar untuk meraih kursi presiden.
Perkabaran hasil survei dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) baru-baru ini menempatkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai figur yang memiliki tingkat elektabilitas lebih tinggi dibanding figur lainnya. Tingkat elektabilitas Jokowi sebesar 28,6 persen. Prabowo Subianto mendapat 15,6 persen. Adapun Aburizal Bakrie 7 persen, Megawati Soekarnoputri 5,4 persen, Jusuf Kalla 3,7 persen, Mahfud Md. 2,4 persen, dan Hatta Rajasa 2,2 persen. Sedangkan 28 persen responden belum memiliki pilihan.
Posisi elektabilitas seperti itu membuat Jokowi kini menjadi figur yang semakin diperhitungkan untuk diusung sebagai calon presiden. Terutama oleh partai tempat Jokowi bernaung, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Muncul bentangan tantangan PDIP: apakah Jokowi nanti akan diusung sebagai calon presiden 2014? 
Sinyal politik yang mencalonkan Jokowi memang masih belum begitu kuat denyutnya. Kalaupun ada, baru sebatas sinyalemen peluang awal tokoh-tokoh PDIP. Dari pernyataan Puan Maharani, misalnya. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP tersebut, seperti dilansir Koran Tempo (31 Mei 2013), mengisyaratkan kemungkinan pencalonan Jokowi. Dia, menurut Puan, dinilai sebagai kader partai yang elektabilitasnya terus meroket. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sendiri, kata Puan, tidak menutup peluang kader muda sebagai calon presiden.
Memang, menyangkut persoalan siapa calon presiden untuk pilpres 2014, kondisi internal PDIP ke depan akan dinamis. Ada semacam dua kamar "batiniah" yang akan mereka rasakan. Kamar pertama, kenyataan bahwa figur Jokowi memiliki elektabilitas tinggi bukan perkara mudah bagi PDIP. Kamar ini berisi arus kuat yang menyatakan bahwa pos untuk calon presiden masih tertuju pada nama Megawati. Sebagai ketua umum dengan segala wibawa kekuasaannya, Megawati adalah figur pokok. Untuk itu, ihwal siapa nama calon presiden dari PDIP, sejauh ini baru satu nama: Megawati, yang satu-satunya bisa disebut. 
Kamar ini juga didukung oleh alasan bahwa Jokowi baru saja memimpin Jakarta. Di tangannya, Jakarta diharapkan berubah. Kurang-lebih setahun memimpin, arah perubahan sudah banyak dirasakan. Hal itu juga untuk menghindari penilaian bahwa Jokowi bukan tipe figur yang mudah mengubah komitmen, sementara janji jabatannya belum selesai ditunaikan. Dengan kata lain, Jokowi akan lebih baik tetap memimpin Jakarta sehingga bisa mengawal program perubahannya, karena masih ada waktu yang lebih tepat, yakni 2019 nanti. Jika sukses memimpin Jakarta, tiket calon presiden 2019 tidak lagi terbendung. 
Kamar kedua adalah kamar yang diisi pertimbangan bahwa Jokowi memiliki modal elektabilitas paling tinggi di antara tokoh lain. Ini adalah momentum Jokowi, saat di mana pemimpin seperti Jokowi dilihat sebagai figur alternatif yang bisa menghadirkan perubahan. Dalam berbagai potret survei, sebagian besar rakyat Indonesia menginginkan figur baru dibanding figur lama. Dalam bahasa lain, muncul kondisi di mana masyarakat selama ini dihadapkan pada situasi kejenuhan terhadap figur lama yang dinilai tidak bisa memberi harapan yang lebih baik untuk perbaikan nasib bangsa. Sebaliknya, figur baru lebih dinilai akan dapat menghadirkan perubahan.
Terhadap Megawati, mereka yang menghuni kamar ini berharap Megawati menempatkan dirinya pada posisi sebagai king maker (pihak yang memiliki peranan penting terhadap terpilihnya seorang calon presiden). Megawati selama ini menjadi figur yang dijadikan rujukan. Selama ini, Megawati juga berhasil menjadi solidarity maker di partai, sehingga nyaris tidak terjadi gejolak berarti di partai selama kepemimpinannya. Tetapi, dalam menghadapi 2014 nanti, suara arus kamar ini menginginkan perlunya sebuah lompatan besar dari Megawati untuk mengajukan figur internal di luar dirinya maju sebagai calon presiden. 
Dua suasana "batiniah" seperti itu memang belum terlalu nyaring terdengar saat ini. Tetapi bukan tidak mungkin perlahan akan terus muncul ke permukaan. Jokowi sendiri sampai saat ini belum menanggapi serius ihwal peluangnya maju sebagai calon presiden. Mantan Wali Kota Surakarta tersebut masih berupaya fokus bekerja untuk Jakarta. Jokowi juga melihat wacana mengenai pemilihan presiden masih terlalu dini. Namun, melihat rekam jejaknya selama ini, Jokowi tampaknya juga akan selalu siap jika diperintahkan oleh partainya. Selain itu, Jokowi juga tidak tertarik pada segala undangan dari partai politik lain untuk mendapatkan tiket calon presiden. 
Dengan segala kepatuhan Jokowi seperti itu, di situlah posisi PDIP dan Megawati diuji. Megawati sendiri pernah mengikuti pemilihan presiden dua kali, pada 2004 dan 2009. Pada dua kompetisi tersebut, Megawati kalah oleh SBY. Sebuah dilema bagi PDIP jika kemudian masih berpendirian kukuh untuk nantinya tetap mengusung Megawati sebagai capres, sementara terdapat kadernya yang memiliki potensi besar untuk meraih kursi presiden. Tidak hanya itu, posisi elektabilitas Megawati sementara ini juga tertinggal oleh calon presiden populer lain. Jika pertimbangannya ingin meraih kursi presiden, kekuatan calon presiden dari partai lain perlu dihitung. 
PDIP barangkali masih terlalu rikuh dengan wacana siapa calon presidennya. Selain faktor Megawati, juga tampak keinginan untuk tidak mengganggu Jokowi, yang harus berkonsentrasi penuh pada Jakarta. Sebenarnya, ketika muncul suara penolakan akan pencalonan Jokowi hanya lantaran faktor dirinya baru menjabat di Jakarta, sebagian besar publik ternyata tidak mempersoalkannya. Survei CSIS juga menunjukkan bahwa 53,9 persen responden setuju Jokowi maju sebagai calon presiden meskipun masih menjabat gubernur. Dari survei tersebut bisa diartikan bahwa publik melihat kepentingan yang lebih besar, yakni memimpin sebuah negara. Psikologi publik inilah yang membuat Jokowi tidak menemui banyak resistansi. 

Yang diperlukan PDIP saat ini adalah bagaimana menjawab tantangan pertama, yakni menghadapi pemilihan legislatif 2014. Syarat mencalonkan presiden bagi partai politik adalah harus memperoleh minimal 20 persen suara. Jika PDIP memperoleh suara sebesar itu, mereka akan leluasa bermanuver dalam pilpres. Bukan hal yang sulit bagi PDIP untuk mendekati harapan tersebut. Bagi PDIP, bahkan ada semacam keyakinan politik, 2014 adalah milik mereka. Melihat semangat, kerja, dan integritas partai yang mereka rawat sejauh ini, terutama melalui pertarungan di beberapa pemilihan kepala daerah, impian 2014 memang bukan sebuah hal yang mustahil. Dan Jokowi, bukan tidak mungkin, bisa membantu PDIP meraihnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar