Kamis, 27 Juni 2013

Kebebasan Berserikat

Kebebasan Berserikat
Hendardi ;    Ketua Setara Institute
SUARA KARYA, 26 Juni 2013


Aspirasi publik dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan organisasi keagamaan dalam sepekan terakhir ini telah menggerakkan langkah fraksi-fraksi di DPR RI menunda dalam sepekan pengesahan Rancangan Undang-Undang Organisasi Massa (RUU Ormas). Pilihan itu menjadi pertanda baik bahwa ada kehendak untuk memperbaiki draf RUU atau bahkan membatalkan sama sekali RUU itu dan menggantinya dengan usulan dari berbagai masyarakat sipil yang nyatanya membutuhkan keberadaan RUU Perkumpulan dan revisi beberapa pasal UU Yayasan.

Dalam perspektif hak asasi manusia, kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi adalah hak sipil politik setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi RI, UU HAM, dan tentu saja instrumen internasional tentang kovenan hak sipil dan politik. Sebagai hak sipil politik (negative rights), maka penjaminan atas kebebasan tersebut ditakar dengan seberapa jauh negara menghindar dari urusan-urusan sipil politik. Makin menjauh negara dari urusan hak sipil politik, maka derajat penghormatan terhadap HAM makin tinggi. Sementara, jika negara makin intervensi pada urusan sipil politik, maka negara dianggap tidak menghormati kebebasan itu. Dan pada titik tertentu, negara dapat dikualifikasi sebagai pelanggar HAM, karena merampas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi.

RUU Ormas, sebagaimana draf yang hari ini tersedia, jelas merupakan instrumen negara merasuk ke wilayah yang paling privat dari kebebasan berserikat, berkumpul, dan berorganisasi, karena dalam draf RUU tersebut, negara menjadi penentu dapat tidaknya seseorang untuk berserikat. Termasuk penentu keberlangsungan organisasi dengan penyeragaman ideologi, kontrol, kewajiban pelaporan, dan lain-lain. Paradigma RUU Ormas jelas bertentangan dengan paradigma hak asasi manusia, yang menuntut jaminan kebebasan berserikat tanpa intervensi negara.

Dalam mengatur hak-hak negatif semacam kebebasan berserikat itu, negara dimungkinkan mengatur pada batas-batas yang tidak mengurangi hakikat jaminan kebebasan berserikat tersebut, misalnya hanya pada soal administrasi badan hukum, sehingga kepentingan publik juga dapat dilindungi. Pada saat yang bersamaan, negara juga dapat menyusun kebijakan kriminal untuk mengkriminalisasi organisasi yang melakukan tindak kejahatan.

Dalam soal ini negara seharusnya tidak perlu membentuk RUU Ormas, tetapi cukup merevisi UU Yayasan dan membentuk UU tentang Perkumpulan sebagai bentuk administrasi badan hukum yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk membentuk organisasi. Sementara untuk menindak organisasi yang potensial melakukan kejahatan, revisi KUHP yang telah menyempurnakan tanggung jawab korporasi (termasuk di dalamnya organisasi) yang melakukan perbuatan pidana, sudah cukup baik menjadi dasar penindakan yang menyempurnakan ketentuan yang ada dalam KUHP saat ini.

Perlu diingat bahwa dunia internasional, melalui independent expert Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menunjukkan kecemasan dan kekecewaannya atas pembahasan RUU Ormas. Di mata mereka, RUU Ormas menunjukkan kemunduran serius demokratisasi dan pemajuan HAM di Indonesia. Daripada membentuk RUU yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan useless plus mempersulit diri dalam diplomasi hak asasi manusia di forum internasional, maka sebaiknya penundaan pengesahan RUU Ormas bukanlah keputusan sementara, tetapi untuk selamanya.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar