Jumat, 28 Juni 2013

Pencerahan Energi Masa Depan

Pencerahan Energi Masa Depan
Muamar Wicaksono ;  Alumnus Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran
SUARA KARYA, 27 Juni 2013


Disahkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2013 oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memuluskan jalan bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar 33 persen. Harga premium akhirnya naik dari Rp. 4.500 per liter menjadi Rp 6.500 per liter, sedangkan solar dari sebelumnya berharga Rp 4.500 per liter naik menjadi Rp 5.500 per liter.

Kenaikan harga BBM saat ini merupakan yang kedua kalinya dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama kurang lebih 9 tahun. Kita ingat, pada tahun 2008 harga BBM untuk premium dan solar sempat dinaikkan, namun kemudian kembali diturunkan karenan stabilnya harga minyak dunia saat itu.

Memang, kenaikan harga BBM ini dianggap menjadi momok bagi masyarakat miskin dan menengah ke bawah. Seperti dikhawatirkan jauh hari sebelumnya, kenaikan harga BBM mengakibatkan harga barang-barang kebutuhan pokok ikut melambung tinggi. Terlebih lagi, menjelang datangnya bulan Ramadhan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Dalam kondisi stabil pun, tidak ada kenaikan BBM, setiap memasuki bulan puasa menyambut Idul Fitri, harga barang-barang kebutuhan selalu naik karena tingginya permintaan. Dhus, kalau harga BBM juga naik, maka dapat dipastikan kenaikan harga kebutuhan pokok akan membubung secara signifikan.

Padahal, tujuan utama dari kenaikan harga BBM adalah untuk mengalokasikan subsidi agar tepat sasaran, sehingga tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang tergolong mampu. Selain itu, kenaikan BBM mendesak perlu dilakukan untuk mencegah jebolnya APBN akibat menanggung besarnya subsidi yang diberikan terhadap BBM. Tanpa penyelamatan melalui kenaikan harga BBM bersubsidi, perekonomian nasional terancam berada di ambang kehancuran.

Kurangi Konsumsi

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia bukan lagi menjadi negara pengeskpor minyak sejak mundurnya Indonesia dari keanggotaan Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) tahun 2008. Produksi minyak Indonesia saat ini rata-rata mencapai 930 ribu barel per hari (bph), padahal jumlah kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri rata-rata diperkirakan 1,4 juta bph. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, kita harus mengimpor BBM yang menyebabkan membengkaknya APBN.

Dengan keluarnya Indonesia dari OPEC, kita harus menyadari bahwa cadangan minyak dalam negeri sudah semakin menipis. Berdasarkan laporan Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), cadangan minyak Indonesia saat ini hanya 3,9 miliar barel dan apabila diproduksi sekitar 800-900 barel setiap hari, maka kira-kira cadangan minyak Indonesia akan habis dalam jangka waktu 12 tahun ke depan.

Oleh karenanya, salah satu cara untuk mencegah hal tersebut adalah dengan mengurangi konsumsi BBM itu sendiri, baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk keperluan industri. Pengurangan konsumsi ini dapat dilakukan dengan pembatasan pembelian BBM. Apabila hal ini tidak segera dilakukan, dapat dibayangkan, betapa banyak anggaran yang terbuang untuk mengimpor BBM seluruhnya dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, apabila cadangan minyak dalam negeri habis.

Energi Terbarukan

Subsidi BBM seharusnya dialihkan untuk membangkitkan penggunaan energi terbarukan. Harus dihindari subsidi BBM digunakan untuk bantuan yang hanya dapat dirasakan sementara manfaatnya. Energi terbarukan ini harus dijadikan pioner di masa yang akan datang. Jangan lagi menyamakan bahwa energi terbarukan sama dengan energi alternatif, karena apabila kita tetap menggunakan istilah energi alternatif, dengan kata lain, kita tetap memprioritaskan BBM sebagai energi yang utama. Mengingat menipisnya cadangan minyak di Indonesia dan kita berusaha untuk tetap menjaga cadangan minyak tersebut, pemerintah harus berupaya membangkitkan penggunaan bahan bakar nabati (biofuel), seperti biodiesel dan bioetanol, gas atau panas bumi.

Namun, dengan kenyataan bahwa biaya produksi pembuatan biofuel masih di atas BBM, membuat banyak pihak terkesan malas menggarap biofuel. Padahal, bahan bakar ini seharusnya menjadi potensi ekonomi yang sangat besar di Indonesia. Sebab, bisa diproduksi oleh rumah tangga. Biofuel bisa diproduksi dari sumber yang terbarukan mulai dari biji jarak pagar, atau jathropa, kelapa sawit, singkong, aren, hingga alga yang dengan mudah dikembangbiakkan di laut. Akan tetapi, adanya subsidi secara besar-besaran dan terus-menerus yang diberikan pemerintah membuat satu per satu produsen biofuel gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan BBM.

Rencana konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG) juga masih jalan di tempat. Konversi yang telah diwacanakan dari tahun lalu seakan-akan tidak berjalan hingga saat ini. Bila kita cermati, BBG juga lebih menguntungkan konsumen. BBG memiliki oktan 130, sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan premium yang hanya memiliki kadar oktan 88. Selain oktannya lebih tinggi, BBG juga ramah lingkungan karena tidak mengandung SO2/NOx (sulfur dioksida/nitrogen monoksida).


Oleh karena itu, alangkah baiknya dengan adanya momentum kenaikan harga BBM subsidi ini, pemerintah harus memberikan perhatian yang besar dalam pembuatan biofuel dan konversi BBM ke BBG, karena terbukti lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM dan juga dapat menjadi potensi bagi perekonomian Indonesia. Jangan sampai BBM hanya dinikmati oleh segelintir orang saja dan juga jangan kita memberikan beban besar kepada anak cucu kita kelak, dikarenakan kita salah mengelola potensi energi yang ada di bumi Pertiwi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar