Kamis, 27 Juni 2013

Pencucian Uang Bisnis Narkoba

Pencucian Uang Bisnis Narkoba
Kunarto Marzuki ;  Lulusan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Penegak Hukum Internasional, Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC)
SUARA MERDEKA, 26 Juni 2013


"Aparat penegak hukum bisa menggunakan alat bukti data elektronik guna merangkai sel terputus pengedar narkoba"

HARI ini masyarakat memperingati Hari Antinarkotika Internasional. Dewasa ini, peredaran gelap narkoba makin mengkhawatirkan. Penelitian oleh Pusat Penelitian Kesehatan (Puslitkes) Universitas Indonesia berkerja sama dengan Pusat Penelitian Data dan Informasi (Puslitdatin) Badan Narkotika Nasional/ BNN 2011 menyebutkan, kerugian negara akibat peredaran ilegal narkoba mencapai Rp 48,275 triliun.

Angka ini naik drastis karena tahun 2008 angka itu baru Rp 32,443 triliun. Nilai itu belum mencakup kerugian sosial yang secara imaterial sulit terukur. Bagaimana sebetulnya operasional sindikat narkoba sehingga menimbulkan kerugian ekonomi sekaligus sosial sedemikian parah?
Sebagaimana kejahatan serius lain, tindak pidana narkoba memiliki kejahatan ikutan berupa pencucian uang. Tapi dengan pengundangan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, aparat penegak hukum wajib mengembangkan penyidikan tindak pidana narkoba ke pencucian uang (money laundering).

Pemberian kewenangan itu untuk memutus mata rantai bisnis haram itu dan memiskinkan jaringan pengedar narkoba. Bandar tak akan berhenti beroperasi sebelum modal mereka habis disita. Hal ini bisa dibuktikan bahwa sekalipun sudah divonis berat, bahkan tinggal menunggu eksekusi, mereka masih mengendalikan bisnis haram itu dari dalam LP karena masih punya banyak modal (aset).

Modus Bandar

Bandar narkoba biasanya menempuh tiga langkah menumpuk modal lewat cara pencucian uang. Pertama; menempatkan uang dan aset hasil dari bisnis narkoba ke rekeningnya atau ke rekening orang lain. Ini langkah paling awal dalam pencucian uang tapi  paling mudah dideteksi aparat penegak hukum.

Kedua; layering, yaitu menempatkan kekayaan atau aset hasil dari bisnis narkoba ke rekening beberapa orang (berlapis) supaya sulit dideteksi oleh aparat. Biasanya setelah menempatkan secara berapis ke rekening beberapa orang, bandar hanya membuka satu rekening (bisa miliknya, keluarga, atau orang terdekat) untuk menampung muara dari berbagai rekening pelapis itu, yang sesungguhnya berisi kekayaannya.

Modus kedua ini lebih sulit diungkap oleh aparat karena seolah-olah bandar tidak memiliki banyak aset setelah dititipkan secara berlapis ke beberapa rekening. Langkah yang harus dilakukan aparat adalah dengan menelusuri (trace) secara teliti tiap rekening yang berhubungan dengan rekening bandar tersebut.

Ketiga; integrasi (integration), yaitu bandar mencampurkan uang dari bisnis narkoba dengan uang dari sektor lain dan diinvestasikan dalam usaha yang benar-benar legal. Modus ini paling sulit dilacak oleh aparat mengingat lokasi pendirian unit usaha bandar narkoba bisa lintas daerah, bahkan lintas negara.

Untuk menelusuri modus pencucian uang hasil kejahatan narkotika, aparat penegak hukum harus memiliki paradigma baru. Pertama; mengubah cara pandang follow the suspect (ikuti terus tersangka) menuju cara pandang baru, yaitu follow the money and (ikuti aliran uang dan aset tersangka).

Dengan cara pandang baru tersebut, tiap kali mengungkap kasus narkoba, aparat harus menyelidiki berapa jumlah aset bandar narkoba dan disimpan di mana saja. Dengan demikian, bisa mengembangkannya ke ranah tindak pidana pencucian uang dan kemudian menyitanya untuk negara.

Kedua; aparat penegak hukum tak boleh berpikir konvensional dalam melakukan penyidikan, penuntutan, dan peradilan kasus pencucian uang narkoba. Modus kejahatan narkoba makin canggih, dan lazim menggunakan pola ìsel terputusî sehingga sulit memutus secara menyeluruh.

Untuk itu, aparat harus menggunakan alat bukti data elektronik guna merangkai ìsel terputusî tersebut sehingga kejahatan narkotika dan pencucian uangnya tetap bisa diendus. KPK adalah salah satu lembaga penegak hukum yang sudah menggunakan bukti data elektronik dalam proses penyidikan, penuntutan, dan proses peradilan.

Ketiga; aparat penegak hukum harus menyamakan persepsi tentang pentingnya penanganan kasus pencucian uang narkoba. Tak bisa dimungkiri saat ini masih terjadi perbedaan cara pandang antara penyidik, penuntut, dan pengadil (hakim) dalam menangani kasus pencucian uang bisnis narkoba sehingga penanganan kasus itu belum efektif.

BNN adalah salah satu lembaga penegak hukum yang sering menyertakan pasal pencucian uang dalam penanganan kasus narkoba. Kasus menonjol yang ditangani adalah penangkapan Faisal, bandar ja-ringan Aceh pada Maret 2013. Dari tangannya, disita aset Rp 38 miliar, terdiri atas uang tunai, tabungan, mobil mewah, rumah, tanah, hotel, SPBU dan mal tersebar di Jakarta dan Aceh.

Di samping itu, perlu meningkatkan peran serta masyarakat supaya mereka cepat menginformasikan tiap ada dugaan peredaran narkoba di lingkungannya. Masyarakat juga harus menjadikan diri mereka kebal terhadap pengaruh narkoba yang sudah merajalela. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar